Sabtu, 23 Maret 2019


           TATA SUSILA

           1. Pengertian Tata Susila, Etika dan Moral
            Dalam Bahasa Jawa Kuno dan Jawa Baru kata Tata berarti aturan  sedangkan kata Susila berasal dari kosa kata bahasa Sanskerta dari kata suśîla yang merupakan gabungan partikel su yang berarti baik, atau menunjukkan kebaikan, misalnya sudharma, berarti dharma yang baik suthirta, berarti tirtha yang baik, sutapa, bertapa yang baik dalam bahasa sedangkan kata sila berarti tingkah laku yang baik. Bedakan kata śila(dibaca syiila) yang berarti tingkah laku yang baik dengan kata sila yang berarti dasar atau batu. Di dalam Kitab Wŗhaspati Tattwa 26 dinyatakan arti kata śila ngaranya angraksa acara rahayu atau perbuatan yang baik. Kata sila digabungkan dengan partikel su, berarti perbuatan atau tingkah laku yang sangat baik. Dalam bahasa sansekerta kata sila (ditulis dengan i panjang) berarti tabiat atau tingkah laku. Mendapat awalan s berfungsi menyatakan sesuatu yang bersifat baik, maka kata susila berarti tabiat atau tingkah laku yang baik. Dari uraian tersebut diatas kata Tata Susila berarti peraturan – peraturan tentang tingkah laku yang baik dan mulya.
Sebagai peraturan/ajaran Tata Susila memuat kaidah – kaidah yang berisi larangan – larangan dan ajaran – ajaran untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam ajaran Tata Susila kita akan mendapatkan ajaran -ajaran tentang perbuatan baik yang merupakan anjuran agar diamalkan, dan perbuatan – perbuatan yang tidak baik supaya dihindari.
Selanjutnya kita bahas pengertian tentang Etika. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita dapatkan keterangan tentang Etika sebagai berikut:
1)      Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
2)      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3)      Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dari ketiga keterangan tersebut, yang pertama dan kedua pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian Tata Susila, hanya pada keterangan yang ketiga terdapat pembatasan bahwa ada Etika yang berlaku atau dianut oleh kelompok masyarakat. Contohnya etika bisnis berlaku di kalangan pebisnis, demikian juga kode etik wartawan berlaku di kalangan wartawan saja, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos, dijelaskan dalam tiga arti, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. K. Berten dalam bukunya Etika (Seri Filsafat Atmajaya: 15/1997: 6), mempertajam rumusan makna dalam kamus tersebut di atas, menyatakan pertama: pertama kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok. Misalnya, jika orang berbicara “ etika suku-suku Indian”    , “etika agama Budha”, “etika Protestan”, maka tidak dimaksudkan sebagai “ilmu”, melainkan arti pertama tadi. Secara singkat arti ini bisa juga dirumuskan sebagai “system nilai” dan boleh dicatat lagi, system nilai itu bisa berfungsi dalam hidup perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik, seperti “ Etika Rumah Sakit Indonesia (1986), Ketiga, etika mempunyai arti “ ilmu tentang yang baik atau buruk.
Kata etika sangat dekat maknanya dengan kata moral. Kata moral berasal dari kosa kata bahasa Latin (berasal dari kata mos bentuk singular, mores bentuk jamak). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) disamakan maknanya dengan kata etika. Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.. Kita mengatakan, misalnya bahwa tingkah lakunya tidak bermoral. Dengan itu kita dimaksudkan bahwa kita menganggap orang itu melanggar nilai-nila dan etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik. Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang  pada dasarnya sama dengan moral, hanya terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik buruk (K. Berten, 1997:7)
 Bila kita cermati istilah Tata Susila dan etika dalam praktek bahasa masyarakat dalam kehidupan sehari-hari diartikan sama, yaitu tata cara pengendalian diri, karena kalau diperhatikan isinya memang ajaran tentang pengendalian diri agar mampu berbuat baik.

1.2.      Pedoman Dasar Tata Susila
               Ajaran agama merupakan dasar Tata Susila yang kokoh dan kekal, ibarat landasan yang kuat dimana suatu bangunan harus berdiri. Jika landasan itu kurang kuat tentu mudah benar bangunan itu akan roboh. Demikian pula ajaran tata susila bila tidak berlandaskan ajaran agama sebagai dasar yang kokoh dan kekal, maka ajaran tata susila itu tidak akan mendalam dan tidak merasuk kedalam hati nurani dan diri pribadi manusia.Atharvaveda XII. 1.1 memuat tentang enam unsur yang harus menjadi pedoman dalam hidup yang berkaitan dengan ajaran pengendalian diri. Yaitu :
              
         Om, Satyam bŗhd ŗtam ugra diksã
          tapo brahma yajñah pŗthivim dharayanti

Artinya :
         Kebenaran/kejujuran yang agung, hokum-hukum alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri, tapo(pengendalian diri) pengetahuan dan persembahan yang menopang bumi.

               Lalu dalam  Upanisad, memulai dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa jiwatman yaitu roh yang menghidupkan setiap makhluk dan Parama atma adalah tunggal. Parama atma disebut juga brahma atau Parama Ciwa. Dalam Upanisad terdapat suatu keterangan sebagai berikut: “Brahma atma aikyam” artinya “Brahma dan Atma adalah Tunggal”. Selanjutnya dalam Chandogya Upanisad juga terdapat suatu dalil yang memberikan keterangan serupa sebagai berikut: “Tat Twam Asi” artinya “Engkau adalah Aku, semua makhluk adalah engkau” uraian ini mengandung makna bahwa Brahma adalah asal Roh (jiwatma) dan zat (prakriti) semua makhluk.
               Oleh karena jiwatma semua makhluk tunggal dengan Brahma dan Brahma adalah sumber jiwatma semua makhluk pada hakekatnya adalah sama, demikian pula jiwatma yang bersemayam pada setiap manusia dengan demikian setiap manusia pada hakekatnya adalah sama.
            Dengan renungan kebijaksanaan yang mendalam orang – orang arif bijaksana terutama para Maharsi dapat merasakan langsung bahwa kita sebenarnya satu dan sama dengan makhluk lainnya.
         Dari kesadaran bahwa setiap manusia pada hakekatnya sama lahir suatu pengertian bahwa setiap perbuatan baik ataupun perbuatan yang tidak baik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lainnya pada hakekatnya adalah perbuatan baik atau perbuatan yang tidak baik terhadap dirinya sendiri. Inilah hakekat dasar Tata susila Hindu.
               Oleh karena manusia jarang mau menyadari kebenaran ini maka perlu ada aturan Tata Susila untuk menuntun manusia agar berbuat baik dan benar. Para maharesi sangat mengetahui dan menyadari hakekat kebenaran yang utama ini, mereka mengajarkan dan mengembangkan tuntutan Tata Susila seperti dalam Veda sebagai ajaran kebenaran yang mutlak.
               Pedoman dasar ajaran Tata Susila Hindu adalah kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah perbuatan baik dan perbuatan buruk. Dalam ajaran Hindu perbuatan baik disebut subha karma dan perbuatan buruk disebut asubha karma. Sang Hyang Widhi Wasa menuntun dunia ini melalui ajaran yang benar, segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa dalam ajaran agama adalah benar dan sebaliknya segala sesuatu yang menghalangi jalan ini adalah salah.
            Ajaran Tata Susila adalah untuk menuntun umat manusia agar mampu menempuh jalan yang sudah ditentukan oleh Sang Hyang Widhi wasa. Hambatan dan pertolongan agar mampu menempuh jalan ini datang dari kecendrungan-kecendrungan sifat manusia dibedakan menjadi dua macam, yaitu Daivi Sampad dan Asuri Sampad.
            Daiwi Sampad adalah kecendrungan kedewataan, menunjukan sifat- sifat mulia yang mengantarkan manusia untuk menjadi manusia yang berbudi luhur, sedangkan Asuri Sampad merupakan kecendrungan keraksasaan. Kecendrungan keraksasaan adalah kecendrungan naluri rendah yang menyebabkan manusia condong pada perbuatan yang tidak baik. Daivi Sampad mengantarkan mencapai kerahayuan, Asuri Sampad mengantarkan manusia jatuh ke jurang neraka.
            Kedua kecendrungan itu ada pada diri setiap orang hanya kadarnya yang berbeda-beda, itulah sebabnya seseorang dapat membawakan penampilan yang berbeda.Sesuatu saat ia tampil dengan sifat-sifat baiknya tampaklah ia sebagai manusia yang manis berbudi luhur, disaat yang lain mungkin dalam kondisi yang tidak baik ia tampil sebagai pribadi yang menjengkelkan, seakan-akan binatang berwajah manusia.
               Pustaka Sarasamuscaya menyebutkan bahwa hanya manusia yang mempunyai kemampuan dengan mengenal perbuatan baik dan buruk, salah dan benar, serta mampu melebur yang buruk itu supaya menjadi baik, kemampuan ini sebagai salah satu kelebihan manusia yang diberikan oleh Sang Hyang widhi Wasa.

1.3.   Tujuan Tata susila  
            Telah dijelaskan bahwa agama merupakan dasar ajaran Tata Susila Hindu, karena itu Tata Susila merupakan bagian dari ajaran agama. Sebagai bagian dari ajaran agama maka tujuan Tata Susila juga merupakan tujuan agama. Tujuan agama Hindu adalah mengantarkan untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini, dan kebahagiaan yang kekal abadi di akhirat nanti sebagaimana dirumuskan dalam maha wakya ”Moshartham Jagadhita ya ca iti dharma”. Kesejahteraan hanya dapat dicapai apabila ada keselarasan, keserasian dan keseimbangan di dunia.
               Tujuan Tata Susila untuk membina hubungan yang selaras antara manusia dengan sesamanya, antara sesama anggota masyarakat, suatu bangsa dan sebagainya menyebabkan hidup aman tentram damai dan selamat sejahtera, sedangkan kehidupan yang tidak rukun atau tidak selaras akan mengundang kekacauan, mala petaka dan kesengsaraan.
               Tata Susila agama mengajarkan untuk berbuat baik dan berbudi luhur, takut berbuat dosa, yakin bahwa Brahman maha mengetahui sehingga tidak ada perbuatan yang luput dari pengamatanNya, kapan dan dimanapun perbuatan itu dilakukan. Perbuatan baik yang disebut subha karma mengantarkan pada tujuan untuk mencapai moksa, kebahagiaan yang kekal di akhirat, perbuatan buruk mengantar masuk neraka.
Tata Susila, maka moral seseorang dinilai atas dasar ajaran Tata Susila agama.

1.4.     Perilaku bermoral
            Perilaku atau perbuatan adalah implementasi dari kehendak yang didorong oleh pertimbangan-pertimbangan rasa dan putusan akal. Perbuatan dapat dinilai bermoral jika kehendak dan perasaan serta akal dalam melaksanakan fungsinya berdasarkan atas nilai moral atau nilai Tata Susila. Ada nilai relatif tentang moral misalnya sesuatu dianggap benar atau baik belum tentu benar atau baik di tempat lain misalnya berciuman antara pria dan wanita, mungkin ada yang menganggap biasa, atau lebih dilakukan di tempat umum.





2. TATA SUSILA DAN FILSAFAT                                                      Pertemuan 2
 







2.1.      Pengertian Filsafat
         Dalam kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Purwadarminta terdapat keterangan tentang filsafat sebagai berikut:
a.  Pengetahuan dan pendidikan dengan kekal abadi
b. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan
c.   Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology.
            Pokok permasalahan yang ditelaah oleh filsafat adalah logika, etika dan estetika. Filsafat berusaha menjelaskan pernyataan ini sejelas mungkin, logika membahas tentang benar atau salah, etika membahas baik atau buruk, sedang estetika membahas tentang keindahan.
                         Logika: suatu penarikan kesimpulan dianggap teknik (valid) bahan penarikan    kesimpulan itu dilakukan dengan cara benar. Cara penarikan kesimpulan yang benar disebut logika, yaitu bila pangkajian dilakukan dengan berpikir menggunakan akal sehat yang hasilnya menyatakan benar atau salah.
            Logika Deduktif: penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum ditarik menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.
Contoh:  Semua makhluk hidup bernafas (…)
Ayam adalah makhluk hidup (permiminan) jadi ayam bernafas (silogisme).
            Logika Induktif: Penarikan kesimpulan dari kasus – kasus khusus nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
Contoh:  kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, ayam mempunyai mata (khusus) kambing, gajah dan ayam binatang jadi semua binatang mempunyai mata.

2.2       Etika (Tata Susila) sebagai bagian filsafat
               Teori Etika (Tata Susila) secara umum membahas tentang prinsip   moral dasar, sedang secara khusus Tata Susila membahas tentang tatasusila individual dan tata susila sosial yang menentukan berbagai kewajiban dan tanggung jawab. Tata Susila sebagai filsafat moral mengajarkan dan memiliki pandangan diantaranya:
            Socrates beranggapan bahwa menderita selalu lebih baik daripada berbuat jahat sebagai prinsip batin.
            Aristoteles menyatakan tujuan hidup manusia ialah kebahagiaan atau  kedamaian berupa kesejahteraan dan ketentraman.
            Immanuel Kant membangun teori etika berdasarkan prinsip yang muncul dari  ide hukum dan menuju imperative kategoris dan praktis.
                                 Tata susila berhubungan dengan kehidupan nyata, oleh karena itu tata susila bermanfaat bagi perkembangan hidup individu dan masyarakat. Sebagai pandangan moral tata susila mengingatkan, mempertimbangkan baik dan buruknya suatu tindakan dan keputusan untuk melakukan sesuatu, misalnya tentang cloning pada manusia, abortus, cara berpakaian, dan lain – lain.
                                 Setiap manusia mesti memainkan perannya demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia dengan melakukan tindakan yang dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai dengan batasan dharma (kebenaran), tugas moral dan hukum sosial, sehingga dalam hal ini terdapat empat tujuan prinsip hidup manusia yaitu: dharma, artha, kama dan moksa. Dharma adalah yang pertama, yang mendakan bahwa ketiganya tidak dapat dipenuhi tanpa memenuhi kewajiban dharma, Moksa adalah tujuan yang terakhir karena keterikatan adalah memungkinkan ketika dari ketiga bagian lain adalah terpenuhi. Walaupun dharma memuliki arti yang berbeda dari sudut pandang etika, tapi dharma adalah sistem moral dan nilai etika. Hindu dharma menyadari adanya tujuh faktor yang membuat seseorang menyimpang dari jalan dharma atau mengarah untuk berbuat dosa, yaitu: penderitaan (tresna), kemarahan (krodha), ketamakan (loba), kebingunngan/keterikatan (moha), rasa bangga (mada), kecemburuan (matsarya), dan egoisme (ahangkara).
                                 Untuk menghindari manusia tidak menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut, maka di dalam filsafat Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan ”Dharma Laksana” yang terdapat di dalam Kitab ”Manu Smrti”  yaitu sebagai berikut:
1.   Akrodha (tidak marah)
      Kemarahan yang menutupi alasan, menghasilkan perbedaan antara benar dan salah, serta kebajikan dan keburukan, Ketika pikiran yang dapat membedakan itu dirusak, maka orang tersebut akan kehilangan identitas diri. Seseorang yang marah akan menyakiti diri sendiri dan orang lain, dengan tiga cara yang berbeda secara fisik (melalui kekerasan), secara verbal (melalui kata-kata), dan secara mental ( melalui keinginan yang buruk). Pengendalian kemarahan dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran yang baik dalam diri.
2.   Asteya (tidak mencuri)
            Secara umum mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil dengan paksa atau dengan tidak adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika Hindu, mencuri juga termasuk di dalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain dan diatas kebutuhan legitimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau mengambil kesempatan mereka dengan memiliki sesuatu  melalui maksud yang ilegal. Kurangnya pengendalian indra dan ketamakan seseorang biasanya menimbulkan suatu keinginan untuk mencuri. Seseorang yang memegang teguh asteya akan bebas dari ketamakan dan tidak memiliki keinginan untuk mencuri.
3.   Atma Vinigraha ( Pengendalian Pikiran)
            Pikiran yang terganggu tidak akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah atau kebaikan dengan keburukan. Konsentrasi dalam memberikan kebijaksanaan dan kasih yang mendalam dapat meningkatkan kekuatan pikiran.
4.  Dama (pengendalian diri atau pengendalian indera)
             Indera haruslah dapat dikendalikan melalui pikiran, karena indera merupakan pintu gerbang masuknya segala sesuatu ke dalam diri manusia.
5   Dhi (kemurnian pikiran)
            Kemurnian pikiran dan intelek adalah lebih penting daripada kecerdasan. Seseorang manusia yang memiliki kemurnian intelek akan bebas dari rasa sakit, tempramen yang tidak baik, perasaan yang buruk, dan keinginan yang tidak dapat diduga. Para Maha Rst Hindu berpendapat bahwa kecerdasan sangat dianjurkan untuk pengajaran pada Kitab agar melakukan perbuatan yang baik agar pikiran yang mulia serta meditasi yang teratur.
                  6.   Dhrti (Ketetapan dan Konsistence)
                        Seseorang harus tetap pada pendirian, untuk dapat menemukan kebenaran, pikiran yang terus selalu beriak, tidak akan dapat menemukan kebenaran hidup  yang benar sangat dimungkin hanya dengan komitmen seseorang untuk menjalankan kehidupannya.

7.  Ksama (Pengampunan, kesabaran)
            Pengampunan adalah kebaikan yang utama dari moral dan etika hidup. Pengampunan dapat mempertahankan kesucian pikiran bahkan situasi yang provokatif dalam kehidupan seseorang.
            8.  Satya (Kebenran)
                        Satya tidak berarti semata-mata berkata yang benar, perkataan dan perbuatan, dan dalam hubungan  kita dengan orang lain. Untuk menjalankan kehidupan yang bermoral dan hidup yang beretika, maka seseorang harus melakukan kebenaran. Konsep dari moralitas dpat berubah setiap waktu, namun kebenaran Tuhan tidak akan pernah berubah. Tidak ada seorangpun yang dapat menyembunyikan kebenaran secara terus menerus.
            9.  Sauca (Kemurnian tubuh dan pikiran)
                        Kemurnian itu terbagi dalam dua jenis yaitu fisik dan mental. Kemurnian fisik berarti menjaga tubuh seseorang bersih dari luar maupun dalam. Kebersihan diri dari dalam dapat diperoleh dengan menjalankan hukum kesehatan yang baik dan memakan makanan yang ”sattvika” (makanan yang menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan, panjang umur, dan yang bergizi serta mengandung nutrisi). Kebersihan luar artinya mengenakan pakaian yang bersih dan menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian mental berarti bebas dari pemikiran yang negatif dari nafsu, ketamakan, kemarahan, kebencian, rasa bangga, kecemburuan, dan lain-lain.
            10. Vidya ( pengetahuan): kitab Hindu menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis yaitu pengetahuan yang lebih rendah (apara-vidya) dan pengetahuan yang lebih tinggi (para-vidya). Pengetahuan yang lebih rendah artinya pengetahuan yang bersifat keduniawian dalam bidang ilmu dan pengetahuan yang sangat diperlukan untuk kehidupan di dunia. Sedangkan pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan spiritual yang mengajarkan cara untuk dapat mengatasi kesengsaraan yang tidak diharapkan, menggapai tujuan yang bukan halangan, serta mencapai kekuatan mental dan spiritual untuk dapat mengatasi perjuangan hidup. Pengetahuan spiritual dapat diperoleh melalui belajar kitab yang berhubungan dengan orang suci, dan dengan melakukan perbuatan yang tidak mementingkan diri(niskama). Pengetahuan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk menjalankan kehidupan yang berarti, yang menguntungkan secara sosial. Tujuan pengetahuan spiritual ini adalah untuk mencapai penyatuan yang mutlak dengan Tuhan.

2.3.   Estetika
            Estetika merupakan cabang filsafat, yaitu filsafat keindahan yang membahas tentang seni dan keindahan dan tanggapan manusia terhadapnya. Pendekatan pada estetika ada dua, pertama pada obyek benda, pada karya seni atau alam yang indah. Kedua pada pengalaman manusia yang mengalami dan kontemplasi yang melahirkan pengalaman estetik atau apresiasi. Persoalan estetika sangat tergantung pada dimana, kondisi dan posisi serta perspektif siapa yang memandang sesuatu menjadi indah.
                 




3. OBYEK TATA SUSILA                                                             Pertemuan 3
 
 


3.1. Tindakan Manusia
          Dalam pandangan Hindu, manusia adalah makhluk panunggalan antara purusa dan pradana, purusa adalah atma yang menghidupkan, pradana adalah badan kasar ini yang sifatnya dasarnya adalah pasif. Manunggalnya purusa dan pradana melahirkan idep, bayu dan sabda (tri pramana). Idep artinya kemampuan akan pikiran, bayu kemampuan untuk berbuat berupa tenaga, dan sabda adalah kemampuan untuk berbicara.
         Bersama dengan itu lahir pula tri Guna yaitu tiga guna atau sifat yang mempengaruhi semua tindakan manusia yaitu, Satyam, Rajas, dan Tamas, guna sattvam adalah sifat-sifat yang cendrung pada kebenaran, kebaikan, dan sifat – sifat dharma, guna rajas cendrung pada sifat-sifat aktif cepat, reaktif, marah dan aktivitas-aktivitas emosional lainnya. Sedangkan guna Tamas adalah kecendrungan-kecendrungan pasif, diam, pemalas, suka tidur dan sifat-sifat atau tindakan tanpa gairah atau lesu.
         Aktivitas Tri Pramana selalu dipengaruhi oleh Tri Guna sehingga menimbulkan berbagai tindakan yang bersumber dari pikiran, perkataan dan perbuatan menjadi tindakan yang baik atau tidak baik. Tata Susila mengarahkan pada tindakan manusia agar menjadi tindakan yang baik dengan:
a.  Mengarahkan setiap pikiran (manah, idep) menjadi manacika  yaitu semua pikiran yang berorientasi pada kebaikan,
b. Mengarahkan perkataan (wak, sabda) menjadi wacika yaitu semua perkataan yang mengarah pada kebaikan,
c. Mengarahkan semua perbuatan (kaya, bayu) menjadi perbuatan atau tindakan-tindakan yang mengarah pada kebaikan.

3.2.  Dorongan untuk bertindak
          Dalam keadaan sadar orang selalu menerima rangsangan dari luar dirinya, dalam hubungan ini badan jasmani mempunyai kemampuan untuk mengadakan reaksi terhadap rangsangan itu. Rangsangan itu mula-mula menyentuh indriya yang kemudian dilanjutkan ke otak melalui system syaraf, dan rangsangan itu dianalisa. Reaksi tiap orang mungkin berbeda-beda, mungkin tenang, mungkin  emosional karena sebab yang berbeda-beda pula. Menurut Maharesi Patanjali komponen yang menggerakkan yaitu :
a.    Manah adalah bagian dari pikiran yang mempunyai kemampuan merekam kesan-kesan dari luar yang merangsang dan diterima oleh indriya,
b.      Ahamkara adalah Ego, rasa aku yang selalu mengklaim kesan-kesan itu sebagai miliknya. Rasa ego inilah yang mendorong untuk melakukan reaksi terhadap aksi yang diterima.
Contoh :
Manah merangkap sinyal bahwa ada benda besar hitam bergerak cepat mendekat, Budhi mendapat laporan dan langsung melakukan analisis. “Seekor kerbau sedang mengamuk, marah beringas dan menyerang dengan ganas sekali” Ahamkara memekik, kerbau itu menyerang dengan cepat. Ahamkara beraksi “Lari” untuk menyelamatkan diri.
Untuk latihan Mahasiswa dapat memberi contoh-contoh lain yang sejenis untuk memperdalam pemahaman tentang proses rekasi diri.
















4. OBYEK TATA SUSILA (LANJUTAN)                                                          Pertemuan 4

 
4.1.   Kehendak Bebas
                     Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia bebas berbuat sekehendak hatinya, namun sebagai makhluk sosial ia harus bertindak memperhatikan lingkungan sosialnya artinya ia harus memperhatikan norma – norma, aturan – aturan yang berlaku.
             Karena manusia makhluk terbatas, maka tindakannya untuk memilih itupun terbatas pula pada kemanusiaannya. Ini berarti bahwa ia tidak dapat memilih sebebas – bebasnya. Dalam pada itu agama Hindu mengajarkan bahwa pada dasarnya hakekat manusia itu adalah baik. Sang Hyang Atma yang menjadi inti hidup itu adalah suci, jujur dan tak mau mengakui yang buruk itu baik. Maka dalam memilih, orang supaya mengikuti bisikan Sang Hyang Atma bisikan kata hatinya yang jujur itu. Nilai atas pilihannya pada yang baik dan benar itulah yang akan menentukan martabat dan  nilai pribadi seseorang, bukan karena kekayaan, kepandaian atau keturunan. Hal ini diterangkan oleh sloka- sloka kitab Sarasamuscaya sebagai berikut:   

                  Jyãyãmsamapi cîlena vihînam naiva pûjayet, api
                  Sûdram tu dharmajñam sadvrttam cãpi pûjayet.

                  Yadyapi brãhmana tuha tuwi, yan duccila, tan yogya
                  Katwangana, mon sûdra tuwi, dhãrmika, susîla pujan
                  Katwangana jugeka, ling sang hyang aji.
                                                                (S.S. 161)
            Terjemahan:
            Meski Brahmana yang berusia lanjut sekalipun, jika
            Perilakunya tidak susila, tidak patut disegani, biar orang
            Sudra sekalipun, jika perilakunya berpegang pada
            Dharma dan kesusilaan, patutlah ia dihormati dan di
            segani juga.
            Demikian kata sastra suci.


            Vrttena raksyate dharmo vidyã yogena raksyate,
            Mrjayã raksyate rúpam kulam cilema raksyate.

            Prawrtti rahayu kta sãdhana ning rumaksang dharma, yapwan
            Sanghyang aji, jñana pageh ekatana sudhana ri karaksanira,
            Kunang ikang rúpa, siradin pangraksa irika, yapwan kasujanman,
            Kasusilaan sadhãna ning rumaksa ika.
                                                            (S.S. 162)
            Terjemahan :
            Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma,
            sastra suci, pikiran yang tetap teguh dan bulat saja
            merupakan upaya untuk menjunjungnya, adapun keindahan
            paras adalah keberhasilan pemeliharaannya, mengenai kelahiran
            mulia, maka budhi susila yang menegakkannya.

4.2.   Aturan-aturan yang mengatur
                         Manusia tidak dapat hidup menyendiri tanpa komunikasi dengan orang lain, sebagai mahluk social ia selalu memerlukan kelompok (komunitas). Dalam hubungan kelompok selalu ada aturan-aturan yang mengatur hubungan antara yang satu dengan lainnya.
            Manusia memerlukan ketenangan dan kedamaian dalam hidup untuk itu harus  ada keharmonisan hubungan. Untuk menjamin hubungan agar tetap harmonis ada norma-norma yang berlaku, ada pula adat istiadat dan hukum yang mengatur.
            Kepatuhan, walaupun sudah ada norma-norma adat istiadat dan hukum, namun yang paling menentukan adalah kepatuhan dari setiap anggotanya, kepatuhan adalah sikap mental yang ditumbuhkan dari dalam diri sendiri atau dasar keimanan dan kesadaran.
                                                                                                                                          
     



5. KATA HATI                                                                            Pertemuan 5

 
 

5.1              Kesadaran Etis
            Kata hati sebagai suara kejujuran. Kata hati adalah bisikan hati nurani yang paling dalam yang merupakan suara kejujuran yang menyuarakan kebenaran, disebut juga suara atman sebagai bisikan hati nurani secara hati sesungguhnya tidak dapat dibohongi. Kata hati belajar dari pengalaman setiap pengalaman mempunyai kesan yang tersimpan dalam kesadaran yang paling dalam, sehingga tidak dapat diubah atau dibohongi.

                            Kesadaran Etis, apa yang disebut baik dan apa yang disebut buruk itu, berbohong, mencuri, menipu adalah buruk, menolong dalam kesusahan memberi petunjuk pada orang yang sesat adalah baik kesadaran akan adanya baik buruk, benar salah disebut dengan kesadaran etis.

5.2    Kelemahan Kata hati
            Pengaruh Tri Guna adalah Sattvam, Rajas, Tamas. Sattvam adalah sifat-sifat kebenaran, rajas adalah sifat berani tetapi sombong, Tamas sifat pemalas dan pengecut. Tri guna menimbulkan kejujuran disamping juga dapat bohong, malu terutama saat mempertahankan harga diri didepan orang banyak.

              Membohongi kata hati, karena ada dalam hati kata hati dapat dibohongi, ditekan sehingga menentang suara kejujuran manusia dapat bertindak demikian karena pengaruh sifat indriya seperti Sadripu yang meliputi kma, krodha, loba, mada, moha dan matsarya.

Kama artinya kecintaan, karena cinta orang berani berbohong bahkan berani membela agama dengan nyawa.
Krodha artinya kemarahan, bila mana berkuasa orang dapat lupa diri, karena lupa diri kesadaran hilang.
   Loba artinya rakus, selalu ingin dapat lebih banyak, karena rakus orang tidak takut menghaki orang lain.
Mada artinya mabuk, kemabukan dapat timbul dari kepinteran, kekayaan dan minuman keras, orang mabuk umumnya berperilaku tidak baik.
Moha artinya kesombongan, banyak hal dapat menimbulkan kesombongan, kesombongan dapat membuat orang tinggi hati sehingga mengecilkan dan merendahkan orang lain.
Matsarya artinya iri hati, banyak hal dapat menyebabkan timbulnya rasa iri, seperti melihat orang lain berhasil, karena iri hati dapat berbuat culas.

                        Menekan kata hati, karena diliputi rasa malu orang dapat menekan kata hati, dengan mengatakan berbeda dari tuntutan hati nurani. Hal seperti ini dapat terjadi karena ada kepentingan lain atau juga karena ada tekanan, dan orang tidak berani melawan atau menentang.























6. BAIK DAN BURUK                                                                    Pertemuan 6
 
6.1. Hubungan baik dan buruk
                       Rwabhineda adalah siklus baik dan buruk benar salah yang selalu berhubungan tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam hidupnya manusia selalu berbuat dan bertindak sesuai dorongan hatinya. Kehidupan tidak dapat dipisahkan dari kerja, karena kerja diatur oleh hukum alam seperti dijelaskan dalam Bhagavadgita:

Na hi kaścit ksanam api, jatu tisthaty akarma krit
Karyate hy avasah karma sarwah prakŗti-jaih gunaih
                                                                (Bhagavadgita, III.5)
            Artinya :
Tidak seorangpun tidak bekerja, walaupun untuk
sesaat saja karena dengan tidak berdaya manusia
dibuat bertindak oleh hukum alam.

Manusia mampu berbuat baik dan berbuat buruk sekaligus,
Bhagawan Wararuci yang menghimpun sari-sari Asta dasa Parwa dalam pustaka sarasamuccaya diantaranya menulis dalam sloka 2:

      Mãnusah sarva bhũtesu, varttate vai cubhãcubhe,
      acubhesu samavistam cubhesvevãvakãrayet


Artinya :
Diantara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan sebagai manusia saja yang dapat melaksanakan perbuatan baik atau buruk, menjadi perbuatan baik itulah tujuannya lahir sebagai manusia.

            Hanya manusia saja yang mampu berbuat seperti itu karena mempunyai kemampuan berpikir, berkata dan berbuat. Makhluk lain tidak dapat berbuat seperti itu.

      Upabhogaih parityaktam natmanamavasãdayet,
      Candalatvepi mãnusyam sarvvathã tãta durlabham
                                                         (Sarasamuccaya, 3)
Artinya:
Oleh karena itu janganlah sekali – kali bersedih hati sekalipun hidupmu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu hendaklah menjadikan kamu berbesar hati sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun.

6.2     Indriya
            Indriya menjerumuskan manusia pada perbedaan asubha karma (perbuatan buruk), disebut juga raga atau nafsu. Nafsu inilah yang selalu mendorong untuk berbuat buruk.
Ragadi musuh maparo, rihatya tonggawanya
Tan madoh ring awak, yeka hana ring sira
                                                (Ramayana Sarga 1.4)
Nafsu (indriya) adalah musuh manusia yang paling dekat dengan hati. Tempatnya tidak jauh dari badan. Ia ada dalam diri setiap manusia.

             Sadripu, musuh dalam diri manusia ada enam disebut sadripu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat baik atau buruk
·         Kama adalah keinginan tentang adanya seksual
·         Kroda adalah nafsu kemarahan
·         Loba adalah nafsu serakah atau rakus
·         Mada adalah nafsu kemabukan
·         Matsarya adalah nafsu iri hati
·         Moha adalah nafsu takabur atau sombong

Baik atau buruk ada pada setiap orang, selalu tarik menarik dalam setiap tindakan manusia. Hanya mereka yang mampu mengendalikan diri dapat mengatasi.



7.1. Ukuran – ukuran Baik dan Buruk
            Pengendalian indriya. Baik – buruk, benar dan salah perbuatan timbul dari pikiran (indriya). Oleh karena itu pikiran harus dikendalikan paling dahulu.

            Mano hi mũlam sarvesãmindrayãnam pravartate,
            cubhacubhasvavasthãsu kãryam tat suvyavasthitam.
                                                                                    (Sarasamuccaya, 80)
            Artinya :
            Sebab yang disebut pikiran itu adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakan perbuatan baik atau buruk oleh karena itu pikiranlah yang segera patut diusahakan pengekangannya/pengendaliannya.

         Ukuran baik dan buruk. Apa yang disebut baik dan apa yang disebut buruk sesungguhnya bukan untuk merumuskannya. Namun demikian manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, karena berdasarkan pengalamannya manusia dapat membedakannya.

Apan ikang dharma, satya maryãda yukti,
Kacaktin, cri kinaniccayam ika, cila hetunyan hana          
                                                (Sarasamuccaya, 158)
Artinya :
Karena kebajikan, kebenaran, palaksanaan cara hidup yang layak (sopan santun), kasaktian, kebahagiaan dan keteguhan itu sila menyebabkannya ada.

7.2   Tri Pramana
          Tri pramana merupakan ukuran yang dapat menjadi pedoman tingkah laku manusia sehari – hari.
Desa, Kala dan Patra, ukuran untuk dapat menentukan salah, benar, baik dan buruk. Desa artinya tempat, suatu yang benar di suatu tempat belum tentu benar pada tempat lainnya. Misalnya, memakai pakaian renang di pantai adalah baik dan benar, tetapi menjadi buruk dan salah apabila dipakai di tempat pembelanjaan seperti pasar atau toko. Kala artinya waktu, suatu yang baik pada waktu tertentu bisa jadi buruk pada saat yang lain. Misalnya, menghidupkan radio keras – keras pada saat siang hari orang istirahat adalah baik. Akan menjadi salah dan dianggap buruk apabila dilakukan pada waktu malam hari saat orang sedang tidur.
Patra artinya keadaan. Tidak pada setiap keadaan sesuatu itu dapat dilakukan dengan baik. Misalnya saat orang sedih berduka cita tentu tidak dapat ketawa lepas, tepat dilakukan pada saat suka dan bersenda gurau.
            Pratyaksa, Anumana, Agama
Benar salahnya sesuatu, baik atau buruk dapat pula dipertimbangkan dengan pratyaksa, anumana dan agama. Pratyaksa adalah pertimbangan pengalaman, anumana atas dasar pertimbangan pikiran, agama atas dasar pertimbangan sastra agama..
Sastratah, Gurutah dan swatah. Baik, buruk, benar, salah dapat dipertimbangkan dari sastra agama, wejangan – wejangan dari para guru (gurutah) dan juga atas dasar pertimbangan sendiri (swatah).





9.1. Pengertian Tata Susila Hindu
                        Tata susila adalah peraturan tingkah laku. Tingkah laku yang baik dan mulia harus menjadi pedoman hidup manusia karena tujuan tata susila adalah untuk membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antara seseorang dengan makhluk hidup lainnya, hubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Telah menjadi kenyataan bahwa hubungan yang selaras antara manusia cengan makhluk sesamanya, antara anggota – anggota suatu masyarakat, suatu bangsa, manusia dan sebagainya menyebabkan hidup yang aman dan sentosa.

9.2. Peranan Tata Susila
                        Tata susila membina watak manusia. Menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpikiran mulia, dan untuk mencapai hidup yang bahagia, tata susila yang membimbingnya. Selain daripada itu, tata susila pula menuntun manusia untuk bersatu dengan sesamanya dan akhirnya menuntun mereka untuk mencapai kesatuan jivatma (rohnya) dengan paramatma (Hyang Widhi wasa Brahman).
            Tata susila menuntun mencapai kebahagiaan mutlak dan abadi. Kebahagiaan abadi hanya dapat dinikmati bilamana atma dapat mencapai kesatuan dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Hanya penyatuan itu yang dapat memulai kebahagiaan yang abadi yang dalam Bahasa sansekerta disebut Ananda.

                        Yatro paramate cittam, nirudaham yoga sewaji
                        Yatro caiwa atmanatmanam pasyanat mani tusyati

                        Artinya:
                  Bilamana hati seseorang merasa bahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga, dimana ia melihat Hyang Widhi dengan pengamatan rohnya maka ia menikmati kebahagiaan rohani.

                  Sukham atyantikam yat lad, budhigrahyam atindriyam
                  Witsi yatra na ca iwayam, sthitacca lati tattivatah
                  Artinya:
                  Pada waktu ia menikmati kebahagiaan rohani yang tiada tandingnya, yang hanya dapat dicapai dengan budhi yang lebih tinggi dari indriya, ia tetap menikmati kebahagiaan itu, tiada akan jauh dari yang mutlak.

Ajaran tata susila Hindu mengantarkan umatnya untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi yang disebut moksa.

























10. TATA SUSILA HINDU (LANJUTAN)                                 Pertemuan 10
 
 


10.1. Sumber – sumber ajaran tata Susila Hindu
                  .     Kitab – kita suci. Sumber utama ajaran tata susila Hindu adalah kitab – kitab Veda atau kitab – kitab suci. Veda terdiri dari  empat himpunan Veda (samhita).
a.       Regveda, Veda yang paling pertama dan utama.
b.      Yajurveda, Veda kedua yang memuat tentang tata cara melakukan yajnya upacara.
c.       Samaveda, adalah himpunan Veda yang memuat mantram – mantram pemujaan dan kidung – kidung suci.
d.      Atharvaveda, adalah Veda yang memuat mantram – mantram suci untuk berbagai keperluan dan merupakan Veda yang termuda.
                        Kitab – kitab Smerti. Kitab smerti banyak jumlahnya, salah satu karya Bhagawan Manu yang disebut Kitab Manawa Dharma Sastra. Kitab ini memuat berbagai ajaran dari tata susila, hukum, politik, kemasyarakatan dan lain – lain.
            Kitab-kitab Purana. Kitab – kitab purana berbentuk cerita yang menceritakan sejarah masa – masa lalu yang amat tua. Juga memuat cerita-cerita tentang kejadian – kejadian, bahkan seakan – akan ceritera dongeng. Kalau disimak isinya bermacam – macam.
            Lontar – Lontar. Banyak sekali ada lontar-lontar atau sastra. Sastra tradisional lokal yang merupakan warisan dari zaman nenek moyang. Dari lontar-lontar dan sastra-sastra local tersebut banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan tuntunan-tuntunan hidup berupa ajaran-ajaran tata susila

10.2. Cerita Rakyat
                        Cerita-cerita rakyat. Banyak sekali cerita-cerita rakyat yang merupakan warisan dari para orang tua. Sumber cerita itu seiring tidak dapat diketahui lagi. Adapun cerita-cerita tentang binatang yang pada hakekatnya adalah ajaran tata susila. Ajaran agama dikemas dalam cerita-cerita tersebut.
            Relief. Pada hiasan dinding atau tembok candi maupun pura banyak pahatan yang melukiskan cerita-cerita rakyat, baik bersumber pada kitab Tantri Kamandaka, maupun lainnya. Seperti cerita-cerita local

11.MANUSIA DENGAN SIFAT BAIK DAN BURUKNYA                           Pertemuan 11
 
 


11.1. Pengertian Triguna
            Walaupun sastra-sastra Hindu ada yang menyatakan, bahwa perilaku manusia itu dapat terbentuk oleh lingkungan, tetapi sastra-sastra tersebut sebagian besar memandang perilaku manusia ditentukan oleh faktor dalam, yaitu faktor jiwa manusia itu yang harus kita perhatikan. Faktor yang sifatnya garang harus dijinakan dengan jalan yang ditunjuk oleh sastra-sastra Hindu. Oleh karena sastra tersebut adalah sastra agama, maka jalan yang ditunjukan itu pun jalan agama yang bersifat filosofis.
            Kecendrungan perilaku manusia bersumber pada Triguna, yaitu tiga sifat yang dibawa sejak lahir. Adapun yang termasuk Tri Guna adalah Sattwam, Rajas dan Tamas.
Dalam Kitab Wrhaspati Tattwa sloka 15 kita dapati keterangan tentang Tri Guna itu sebagai berikut:

         Ikang cittamahangan mãwa, yeka sattwa ngaranya,
         Ikang madêrês molah, yeka rajah ngaranya,
         Ikang abwat pêtêng, yeka tamah ngaranya.

   Artinya:
Pikiran yang ringan dan tenang itu sattwam namanya, yang bergerak cepat itu rajah namanya, yang berat dan gelap itu tamah namanya.

11.2. Pengaruh Triguna
            Guna Sattwam
Yan sattwa prakasarumaket irikang citta, yeka prajna widagdha, wruh ri yogya, lawan tan yogya, akamulyan denya mawambek. Ahadyan tagen, tan turagada, tan babakujar, bhakti tonen duga-duga, asih taya ring kasyasih, anumoda rihina dina, tuning sungsut, satya bhakti, arumpoting halanya, saumya wacananya, aten ta ya ngucap sastra, kamuni wacananya, utsahangusi ngguna pangawruh kasamnyajnan, tan pamali nghela, tan jneng sungsut, kewala bungan patinghalanya, sapolahnyamang mangdadyaken trpti paritusta ri citta ni para, tatan ahangkara, tan moha denyamawa prawrtti, kewala bungah sastalilang, ahning nirawarana tan patalutuh, atah pinaka jnananya, asri pahimpahalanya, yeka wyakti nikang citta sattwa, nahan laksana nikang citta satwa, an rumaket irikang citta

Artinya:
Bila sattwa terang bercahaya melekati alam pikiran, ia akan menjadi orang yang bijaksana tahu akan apa yang disebut patut dan apa yang disebut tidak patut, baik caranya bertingkah laku, meskipun ia bertenaga, tiadalah ia kasar, tidak berkata asal berkata, bersikap hormat, kelihatan lurus hati; ia menaruh kasih sayang kepada orang yang menderita, menghibur orang yang hina dina, jarang bersedih hati, setia dan bhakti, lembut kata-katanya, sungguh-sungguh ia melaksanakan ajaran sastra, dan apa yang disebutkannya, berusaha mengejar sifat yang baik, tiada mengenal lelah, tiada berhati sedih apa saja gerak-geriknya menjadikan senang orang yang melihatnya, luhur budinya, menyebabkan tenang dan mengembirakan orang banyak, tiada serakah, dan bersedia mengalah, tidak egoistis, tidak sesat olehnya bertingkah laku, tetapi girang senang dan terang bersih tak bernoda saja yang menjadi batinnya, manis wajahnya, itu hakekat citta sattwa.

11.3.    Guna Rajas
Nihan laksana nikang citta rajah, an rumaket irikang citta, cancala, adresmolah, asighra, panas bharan, aglisbangga irsya, salah hasa sahana, capala, wawang tka sahasa, tuning asih, tuning wlasih kumalwiaken awak guna, gong hati, krodanya gong, gong sungsut, ahangkara, lobha, dambha, krura, taratakut, kabhinawa sapolahnya, mangdadyaken resning tuminghal, sabdanya mangdadyaken karma sula ring sang mangrengo, alanggya ruhur pambekanya, mangdadyaken, ewa ning citta ning para, tan angga korurwa, tan angga sor ring abhipraya yeka wyakti nikang citta, rajah, an rumaket irikang citta.

            Artinya:
Inilah tanda-tanda citta rajah, bila melekati pikiran orang, goncang, bergerak cepat, tergesa-gesa, panas hati, cepat, congkak, iri hati, cepat tersinggung, kesal, usil, cepat timbul kekerasan dan kurang menaruh kasih sayang, mengagung-agungkan diri pandai, angkuh, amat pemarah, sedih, egois, loba, tamak, bengis, tidak mengenal takut, seram segala geriknya, menyebabkan takut hati orang yang memandangnya, menentang mengatasi sifatnya menybabkan jengkelnya hati orang, tidak mau diatasi, tidak rendah cita-citanya. Demikianlah hakekat citta rajah bila melekati alam pikiran manusia.
 
11.4     Guna Tamas
            Demikian pula citta tamah dalam Tattwajnana 9, disebutkan dalam terjemahannya sebagai berikut:
“Inilah tanda-tanda citta tamah bila melekati alam pikiran, berat, enggan, rahasia, malas, kotor, tak puas-puasnya makan, dingin, mengantuk, kuat tidur, amat dungu, besar birahinya, amat beriri hati, keras keinginannya, amat bernafsu, doyan dengan senggama, campur tidur dengan anak istrinya. Demikianlah hakikat citta tamah dan demikianlah tanda-tandanya, bila melekati alam pikiran.

            Dari uraian yang panjang lebar tadi, dapat disimpulkan bahwa, sattwa itu adalah sifat tenang, rajas adalah sifat dinamis, dan tamah adalah sifat malas.
Bagaimana pertautan kerjasama antara ketiga guna itu, kita dapati dalam  uraian Tattwajnana 10 yang terjemahannya sebagai berikut:
 “Bila sattwa bertemu dengan rajah, terang bercahaya citta itu. Itulah menyebabkan Atma dapat datang dari Surga, karena sattwa inginlah ia berbuat baik, maka rajahlah yang melaksanakannya sampai berhasil semua kehendak sattwa itu. Demikianlah hakikat kebenaran rajah itu ikut serta berbadan Surga, terbawa oleh sattwa. Bila sattwa bertemu dengan rajah tamah, terang bercahaya citta itu dan itulah penyebabnya atma menjadi manusia, karena sattwa, rajah dan tamah tidak berjalan dengan kehendaknya. Berbuat yang baik, melaksanakan dharma , berderma, berbuat jasa, demikianlah kata sattwa. Keras dan marah aku, demikianlah rajah. Sembunyi, enggan, makan dan tidur saja kata tamah. Demikianlah kehendak sattwa, rajah dan tamah, tidak sejalan namun bertentangan. Itulah sebabnya, tidak akan ada perilaku yang baik ataupun buruk yang terjadi hanya oleh salah satu daripadanya”. 


12 MANUSIA DENGAN SIFAT BAIK DAN BURUKNYA                                      Pertemuan 12
     (LANJUTAN)                                                                                                                                




               






 
 


12.1 Suri Sampad (Daivi Sampad)
            Daivi Sampad adalah sifat-sifat kedewataan. Sifat-sifat yang mulya mengutamakan ajaran dharma. Uraian tentang sifat-sifat baik ini terdapat dalam Lontar tattwajnana Sloka 16 :
·     Bila ada budhi sattwa, kuat pada makna kebijaksanaan, asyik dengan sastra, melakukan kasnyagjnana, maka kelahiran Sanghyang Tri Purusa sattwa yang demikian,
·      Bila ada budhi sattwa, kuat pada hakekatnya brata, tapa yoga, Samadhi, maka kelahiran Panca Resi sattwa yang demikian itu,
·      Bila ada budhi sattwa, kuat pada hakekat puja astawa, japa mantra dan pujian kepada Hyang Widhi, maka kelakuan Sapta Resi, sattwa yang demikian,
·      Bila ada budhi sattwa, tidal memperdulikan apakah itu baik atau buruk, namun selalu kasih sayang kepada semua mahluk, maka kelakuan Dewa Resi sattwa yang demikian itu,
·      Bila ada budhi sattwa, kuat dalam ajaran dharma, kirtti, yasa, kebajikan, kelahiran Dewa sattwa yang demikian itu.

12.2    Suri Sampad
            Asuri sampad adalah sifat-sifat keraksaan, yang biasanya, pemarah, rakus, tamak dan selalu mengikuti keinginan indriya. Sifat-sifat ini sangat jauh dari sifat-sifat dharma atau sifat-sifat kedewataan. Umumnya emosi, bual, sombong dan angkuh. Demikian pula ada uraian lain tentang rajah itu disebutkan sebagai berikut :
·    Ada budhi rajah, diberikan kata-kata yang tak layak, timbul marahnya, maka ia tidak akan berdiam diri, seketika itu menjauh dan berkata, katanya : “paling hebatlah seharusnya aku ini. Dapat ia menyampaikan kata yang tak layak padaku. Seperti manusia penakutlah apa yang ia ingini. Aku tak seganlah berkata-kata. Aku harus melindungi keselamatanku” Kelahiran datya rajah yang demikian.
·     Ada budhi rajah, diberikan kata-kata tak layak, marah bergetar seluruh tubuhnya, seketika ia bersikap bermusuhan, berlaku kasar dengan kata-kata, berlaku kasar dengan kepala, berlaku kasar dengan tangan, menjerit seperti suara singa, mengeluarkan kata-kata semuanya saja, tidak dapat menahan diri, kata orang kelahiran raksasa rajah yang demikian.
        
            Selanjutnya mengenai guna tamas diuraikan sebagai berikut :
·      Budhi tamah yang akan diceritakan, ada budhi tamah tidaklah ia resah akan apa yang dimakan. Ia merasa kenyang dengan secabik sayur, sekepal nasi, seteguk air, seteguk tuak, maka puaslah hatinya, dengan demikian kelahiran bhuta yaksa tamah yang demikian.
·      Bila ada budhi tamah, memilih-milih apa yang dimakan, bukan emas yang diinginkannya, yaitu yang paling tidak ditolaknya, apa saja yang gemerlapan tidak diinginkannya, tidak masuk di hatinya. Namun bila ia menemukan makanan maka sejuklah hatinya. Kelahiran bhuta dengan tamah yang demikian.
·      Bila ada buhdi tamah, mau saja ia makan yang tidak enak, yang menyebabkan kemudian resah gelisah. Ke barat, ke timur, tidak mengenal letih, maka sadarlah ia tertipu banyak orang, mengakibatkan ia menjadi masgul dan lesu, namun masih tergila-gila, dipasangnya juga telinganya, bila mendengar ada makanan, kelahiran bhuta pisaca tamah yang demikian.














13.1 Sifat-sifat Indriya
                         Kecendrungan-kecendrungan sifat manusia, baik kecendrungan
            kedewataan maupun kecendrungan keraksasaan dalam realitas awalnya adalah dalam bentuk keinginan atau dalam bentuk nafsu.
                        Sesungguhnya keinginan atau nafsu itu sangat penting dalam hidup ini. Tanpan keinginan atau nafsu, tidak akan ada sesuatu yang bisa dikerjakan oleh seseorang di dalam hidupnya. Keinginan atau nafsu itu menimbulkan suatu karya, suatu kreativitas yang menjadi dharma bagi setiap orang. Bila nafsu atau  keinginan itu hilang, maka tidak ada suatu kegiatan apapun yang terjadi dalam hidup ini. Identitas akan lenyap. Oleh karena itu keinginan atau nafsu itu adalah motor penggerak di dalam hidup ini yang membawa kegairahan dan prestasi terhadap seseorang.
                        Dalam kitab-kitab agama Hindu disebutkan adanya dua macam indriya, yaitu Panca Budhi Indriya dan Panca Karma Indriya. Panca Bhudi Indriya berfungsi sebagai penghubung pikiran dengan alam dunia. Panca Budhi Indriya dirumuskan sebagai lima indriya penyadar yang menyebabkan orang dapat mengetahui dan merasakan sesuatu. Sedangkan Panca Karma Indriya adalah lima indriya penggerak. Jadi sifat-sifat indriya adalah menyadarkan dan menggerakkan dibawah kendali pikiran (manah).
13.2. Panca Budhindriya
                        Panca Budhindriya yang dirumuskan sebagai lima indriya penyadar yang menyebabkan dapat mengetahui dan menyadarkan sesuatu, secara terurai  masing-masing fungsi sebagai berikut :
a. Caksu indriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat melihat, terletak dimata,
b.Srota indriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat mendengar melalui telinga,
c. Grana indriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat mencium melalui hidung,
d.      Jihwa indriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat mengecap sesuatu melalui lidah,
e. Twak indriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat merasakan sentuhan, panas, dingin, melalui kulit.
13.3. Panca Karmendriya
                        Demikian pulalah Panca karmendriya, yang dirumuskan sebagai lima indriya penggerak atau pekerja, secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Wak indriya ialah penggerak mulut yang menyebabkan orang dapat berkata-kata atau berbicara,
b.Pani indriya, ialah indriya penggerak tangan, yang menyebabkan orang dapat memegang, mengambil, dan lain sebagainya,
c. Pada indriya, ialah penggerak kaki, yang menyebabkan orang bisa berjalan, menendang,
d.      Payu indriya, ialah penggerak pelepasan yang menyebabkan orang bisa kentut atau berak,
e. Upastha indriya, ialah penggerak kemaluan atau kelamin laki-laki (bhagendriya, penggerak kelamin wanita), yang dapat menyebabkan orang dapat bersenggama.
            Berdasarkan uraian tadi, dapatlah disimpulkan bahwa keinginan itu timbul dari indriya. Indriya merupakan pintu gerbang dalam pemikiran dengan keduniawian yang dapat menimbulkan berbagai interaksi, yang kemudian menjadi aspek-aspek kehidupan manusia.
            Oleh karena itu dalam memenuhi pemuasan indriya-indriya tersebut, memerlukan suatu pengawasan yang ketat, sehingga dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan, kalau tidak demikian ia akan dapat menjerumuskan kedalam penderitaan. Itu bukan berarti kita harus mengekang segala apa yang timbul dari indriya tersebut, karena tanpa adanya indriya-indriya itu tidak ada suatu karya, tidak akan ada suatu kegiatan ataupun aktivitas yang timbul dalam kehidupan ini. Hendaknya disadari, bahwa membunuh keinginan itu tidak mungkin, hal itu tidaklah benar. Karena Tuhan menciptakan dan memberikan indriya-indriya tersebut kepada ciptaanNya, justru untuk kesempurnaan ciptaanNya itu. Hanya saja kita harus mempergunakan dan tahu mengendalikannya. Tidaklah baik kalau kita diperbudak oleh indriya-indriya tersebut, karena ia dapat menjerumuskan ke lembah nista. Sebaliknya, jika kita dapat menguasainya, maka perjalanan hidup ini akan berjalan dengan penuh kedamaian dan penuh kebahagiaan.

14. INDRIYA (LANJUTAN)                                                         pertemuan 14
 
                                   
14.1. Pengendalian Indriya
                        Sepuluh indriya yang ada pada dri manusia, merupakan bagian dari alam pikirannya untuk mengenal, merasakan dan melaksanakan sesuatu. Dari indriya inilah timbul keinginan-keinginan dan melalui indriya itu pula kita mendapatkan kepuasan, kesenangan atau kesusahan. Kesepuluh indriya itu di dalam tubuh manusia masing-masing memiliki fungsi-fungsi tertentu. Di dalam Manava Dharma Sastra II.92 dinyatakan ada indriya kesebelas.

                        Ekadasam manojneyam svaguneno bhyatmakam,
                        Yasmin jithe jitawetau bhavatah pancakau gunau

         Artinya :
            Alat yang kesebelas adalah pikiran, alat bagian yang paling dalam karena sifat kedua kelompok alat itu merupakan bagian dari padanya kalau masing-masing dari kelima jenis alat itu tetap ditundukkan.
                 
                        Indriya yang kesebelas adalah manah atau pikiran, yang mengendalikan kesepuluh indriya tadi, oleh karena itu indriya disebut rajanya indriya (rajendriya).

14.2. Pengendalian indriya menurut Upanisad
                        Indriya menghubungkan pikiran dengan dunia ini. Sentuhan dengan dunia ini menimbulkan bermacam-macam fenomena kejiwaan dan bermacam-macam peristiwa perbuatan manusia. Dunia ini demikian menariknya, demikian indahnya sehingga pikiran manusia dininabobokkan melalui indriyanya. Karena terikat oleh dunia fana ini, menyebabkan dia lupa pada hakekat kemanusiaannya. Maka itulah indriya harus dikendalikan agar tidak dikuasai oleh dunia ini, namun sebaliknya kitalah yang harus menguasai dunia ini.
            Dalam Katha Upanisad, kita dapatkan suatu variabel kereta dan kuda sebagai badan dan indriya dan pengendaliannya.


                  Atmanam rathinem vidhi,
                  Sariram rathamtu,
                  Budhim tu saradem vidhi,
                  Manah pragraham eva ca.                      (Katha Upanisad I.3)
         Artinya :
                  Ketahuilah bahwa sang pribadi adalah tuannya kreta, badan adalah kreta. Ketahuliah bahwa kebijaksanaan itu adalah kusir, dan pikiran adalah tali kekangnya.

                  Indriyani haya ahur visayams
                  Tesu gocaran, atmanendrya
                  Mano yuktam, bhoktety ahur
                  Mamisinah                                                                                                           (Katha Upanisad I.4)
         Artinya :
                  Indriya, mereka menyebut, adalah kuda, sasaran indriya adalah jalan. Sang oribadi duhubungkan dengan badan, indriya dan pikiran, ialah yang menikmati. Demikianlah orang pandai menerangkannya.

                  Yas to avijnanavan bhavaty,
                  Ayuktena manasa sada,
                  Tasyendriyany avasyani
                  Dustava iva saratheh.                   (Katha Upanisad I.5)

         Artinya :
                  Dia yang tidak memiliki kesadaran, yang pikirannya tidak terkendali, yang indriyanya tidak dapat diawasi, semua itu adalah laksana kuda-kuda banal bagi si kusir.
                 
                  Yas tu vijnanavan bhavanti
                  Yuktena manasa sada
                  Tasyendriyani vasyani
                  sadasva iva saratheh
                                                                        (Katha Upanisad 1.6)
         Artinya:
         Dia yang memiliki kesadaran, Yang pikirannya selalu terkendali, Yang indriyanya selalu dapat dikuasai, Semua itu laksana kuda-kuda yang bagus untuk si kusir

         Yas tu avijnanavan bhavaty
         amanskas sada sucih
         na sa tat padam apnoti
         samsaram cadhigacchati
                                                               (Katha Upanisad 1.7)
Artinya:
         Dia yang tidak memiliki kesadaran, Yang tidak kuasa atas pikirannya yang tidak suci, Ia tidak akan sampai pada tujuan hidupnya, bahkan akan kembali kepada kesengsaraan.

         Yas tu vijnanavan bhavaty
         samanaskas sada sucih
         sat u tat padam apnoti
         yasmat bhuyo na jayate
                                                               (Katha Upanisad 1.8)

        Artinya:
         Ia yang memiliki kesadaran, yang kuasa atas pikirannya yang senantiasa suci bersih, akan mencapai tujuan hidupnya dan  karena itu ia tidak akan dilahirkan ke dunia ini lagi.

         Vijnana sarathir yastu manah
         Pragrahavan na rah,
         Sodhvanah param apnoti
         Tad visnoh paramam padam
                                                               (Katha Upanisad 1.9)



Artinya:
         Ia yang memiliki kesadaran akan kusir kereta itu dan mengendalikan tali kekang pikiran, ia mencapai akhir dari perjalanan itu yaitu alam tertinggi, alamnya ia yang meresapi segala.

                      Kutipan-kutipan tadi menekankan pengendalian indriya itu yang diumpamakan sebagai kuda. Bila indriya itu dapat dikendalikan, maka ia dapat menjadi kuda-kuda yang bagus yang mengantar penunggangnya sampai ke tempat tujuannya. Namun jika sebaliknya, maka indriya itu diibaratkan kuda binal yang mengantar penunggangnya jatuh kepada kesengsaraan. Dengan demikian jelaslah bahwa pengendalian terhadap indriya itu serta menguasai atas geraknya pikiran akan membawa manusia pada keselamatan di dunia dan akhirat kelak.

14.3. Pengendalian Indriya dalam Sarasamuccaya
                       Dengan mengendalikan indriya, maka keinginan yang muncul darinya dapat diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat guna tercapainya kebahagiaan lahir batin. Indriya itu sendiri adalah jalan menuju sorga dan sekaligus jalan menuju neraka. Karena itu indriya merupakan sumber kebahagiaan dan juga sumber derita. Bila indriya itu dapat dikendalikan maka kita akan memperoleh kebahagiaan dan sorga pahalanya, tapi sebaliknya bila indriya itu tidak dapat dikendalikan dan membabi buta maka seseorang akan terseret ke lembah derita dan nerakalah pahalanya. Hal ini ditegaskan dalam kitab Sarasamuccaya Sloka 71, sebagai berikut:

                  Indriyãnyeva tat sarvam
                  Yat svarganarakãvubhau,
                  Nigŗhitanissrstãni svargaya narakãya ca.

         Artinya:
         Yang diajarkan lagi, sesungguhnya (panca) indriya itu dianggap surga (dan) naraka, hakikatnya, kalau dapat mengendalikannya, itulah yang disebut laksana surga, apabila tidak sanggup mengendalikannya itulah laksana neraka.
      Manah (pikiran) sebagai rajanya indriya mempengaruhi Panca Buddhindriya (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit) dan Panca Karmendriya (tangan, kaki, perut, kemaluan, dubur). Misalnya mata memandang sesuatu yang menggiurkan nafsu, maka melalui caksu indriya mempengaruhi alam pikiran, dan dari pkiran ini dipertimbangkan, apakah yang dilihat tadi ada hasrat (keinginan) untuk memilikinya. Jika pertimbangan alam pikiran kalang kabut, maka akan timbul usaha-usaha tercela untuk mendapatkannya. Namun bila alam pikiran itu sehat, maka usaha-usaha untuk mendapatkannya ditempuh dengan cara-cara yang baik. Dengan demikian semua tuntutan indriya haruslah disaring terlebih dahulu melalui manah dan hasilnya lalu dipertimbangkan baik-baik. Ia harus dikendalikan agar dapat membawa manfaat dalam hidup ini dan sekaligus dapat terhindar dari berbagai macam mala petaka.
                     Oleh karena nafsu atau keinginan itu muncul dari indriya, maka indriya tersebut patut dikendalikan agar ia dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan bebas dari segala kesengsaraan. Mengendalikan indriya tidak berarti bahwa kita harus  membunuh  indriya itu sendiri, tetapi kita  jangan sampai  dapat diperbudak olehnya, melainkan  manusialah yang harus dapat menguasai indriya itu. Tanpa nafsu atau keinginan atau juga tanpa indriya, manisia tidak bisa hidup. Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) telah menganugrahkan nafsu atau keinginan dan juga indriya adalah justru untuk kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan demikian dalam hidupnya manusia harus selalu mengendalikan diri dengan selalu mengarahkan nafsu-nafsu indriyanya kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA

Awanita, Made BA cs. 1992. Sila dan Etika Hindu, Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
Efendy, Eddy Fauzi, 2008. Hand Out Filsafat Ilmu, Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Kajeng, dkk. 1976, Sarasamuccaya, Jakarta: Dirjen Bimas Hindu Departemen Agama RI.
Mantra, Ida Bagus, 1989, Tata Susila Hindu Dharma, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi
Pendit, Nyoman  S. 1967, Bhagavadgita, Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
Puja, I Gde dan Tjok Rai Sudharta, 1997, Manawa Dharma Sastra, Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
Putra, I.G.A.H. dan Wayan Sadya, 1988, Wrhaspati Tattwa, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi
Sura, I Gede, 1970, Sila dan Etika Hindu, Denpasar: Upada Sastra
Titib I Made, 2003, Menumbuhkembangkan Pendidikan  Budhi Pekerti Anak (Perspektif Agama Hindu), Jakarta, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.

                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar