TATA SUSILA
1. Pengertian Tata Susila, Etika dan Moral
Dalam Bahasa Jawa Kuno dan Jawa Baru
kata Tata
berarti aturan sedangkan kata Susila
berasal dari kosa kata bahasa Sanskerta dari kata suśîla yang merupakan
gabungan partikel su yang berarti baik, atau menunjukkan kebaikan, misalnya sudharma,
berarti dharma yang baik suthirta, berarti tirtha yang baik, sutapa,
bertapa yang baik dalam bahasa sedangkan kata sila berarti tingkah laku
yang baik. Bedakan kata śila(dibaca syiila) yang berarti tingkah
laku yang baik dengan kata sila yang berarti dasar atau batu. Di dalam Kitab Wŗhaspati
Tattwa 26 dinyatakan arti kata śila ngaranya
angraksa acara rahayu atau perbuatan yang baik. Kata sila digabungkan
dengan partikel su, berarti perbuatan atau tingkah laku yang sangat baik. Dalam
bahasa sansekerta kata sila (ditulis dengan i panjang) berarti tabiat atau
tingkah laku. Mendapat awalan s berfungsi menyatakan sesuatu yang bersifat
baik, maka kata susila berarti tabiat atau tingkah laku yang baik. Dari uraian
tersebut diatas kata Tata Susila berarti peraturan – peraturan tentang tingkah
laku yang baik dan mulya.
Sebagai
peraturan/ajaran Tata Susila memuat kaidah – kaidah yang berisi larangan –
larangan dan ajaran – ajaran untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam
ajaran Tata Susila kita akan mendapatkan ajaran -ajaran tentang perbuatan baik
yang merupakan anjuran agar diamalkan, dan perbuatan – perbuatan yang tidak
baik supaya dihindari.
Selanjutnya
kita bahas pengertian tentang Etika.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita dapatkan
keterangan tentang Etika sebagai berikut:
1) Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak.
3) Nilai mengenai benar atau salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.
Dari ketiga
keterangan tersebut, yang pertama dan kedua pada dasarnya tidak berbeda dengan
pengertian Tata Susila, hanya pada keterangan yang ketiga terdapat pembatasan
bahwa ada Etika yang berlaku atau dianut oleh kelompok masyarakat. Contohnya
etika bisnis berlaku di kalangan pebisnis, demikian juga kode etik wartawan
berlaku di kalangan wartawan saja, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) kata etika berasal dari bahasa
Yunani ethos, dijelaskan dalam tiga arti, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan
buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang
dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. K. Berten dalam bukunya Etika (Seri
Filsafat Atmajaya: 15/1997: 6), mempertajam rumusan makna dalam kamus
tersebut di atas, menyatakan pertama: pertama kata etika bisa dipakai dalam
arti: nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang
atau suatu kelompok. Misalnya,
jika orang berbicara “ etika suku-suku Indian” , “etika agama Budha”, “etika Protestan”,
maka tidak dimaksudkan sebagai “ilmu”, melainkan arti pertama tadi. Secara
singkat arti ini bisa juga dirumuskan sebagai “system nilai” dan boleh dicatat
lagi, system nilai itu bisa berfungsi dalam hidup perorangan maupun pada taraf
sosial. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud
di sini adalah kode etik, seperti “ Etika Rumah Sakit Indonesia (1986), Ketiga,
etika mempunyai arti “ ilmu tentang yang baik atau buruk.
Kata etika
sangat dekat maknanya dengan kata moral. Kata moral berasal dari kosa
kata bahasa Latin (berasal dari kata mos bentuk singular, mores bentuk jamak).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) disamakan maknanya dengan kata etika.
Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa
artinya sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.. Kita mengatakan, misalnya bahwa tingkah lakunya
tidak bermoral. Dengan itu kita dimaksudkan bahwa kita menganggap orang itu
melanggar nilai-nila dan etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan
bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka
berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik. Moralitas (dari
kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya
terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu
perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
buruk (K. Berten, 1997:7)
Bila kita cermati istilah Tata Susila dan
etika dalam praktek bahasa masyarakat dalam kehidupan sehari-hari diartikan
sama, yaitu tata cara pengendalian diri, karena kalau diperhatikan isinya
memang ajaran tentang pengendalian diri agar mampu berbuat baik.
1.2. Pedoman Dasar Tata Susila
Ajaran agama merupakan dasar Tata Susila
yang kokoh dan kekal, ibarat landasan yang kuat dimana suatu bangunan harus
berdiri. Jika landasan itu kurang kuat tentu mudah benar bangunan itu akan
roboh. Demikian pula ajaran tata susila bila tidak berlandaskan ajaran agama
sebagai dasar yang kokoh dan kekal, maka ajaran tata susila itu tidak akan
mendalam dan tidak merasuk kedalam hati nurani dan diri pribadi manusia.Atharvaveda
XII. 1.1 memuat tentang enam unsur yang harus menjadi pedoman dalam
hidup yang berkaitan dengan ajaran pengendalian diri. Yaitu :
Om, Satyam bŗhd ŗtam ugra diksã
tapo brahma yajñah pŗthivim dharayanti
Artinya
:
Kebenaran/kejujuran yang
agung, hokum-hukum alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri, tapo(pengendalian
diri) pengetahuan dan persembahan yang menopang bumi.
Lalu
dalam Upanisad, memulai dengan
dalil-dalil yang menyatakan bahwa jiwatman yaitu roh yang menghidupkan setiap
makhluk dan Parama atma adalah tunggal. Parama atma disebut juga brahma atau
Parama Ciwa. Dalam Upanisad terdapat suatu keterangan sebagai berikut: “Brahma
atma aikyam” artinya “Brahma dan Atma adalah Tunggal”. Selanjutnya dalam Chandogya
Upanisad juga terdapat suatu dalil yang memberikan keterangan serupa
sebagai berikut: “Tat Twam Asi” artinya “Engkau adalah Aku, semua makhluk adalah
engkau” uraian ini mengandung makna bahwa Brahma adalah asal Roh (jiwatma) dan
zat (prakriti) semua makhluk.
Oleh
karena jiwatma semua makhluk tunggal dengan Brahma dan Brahma adalah sumber jiwatma
semua makhluk pada hakekatnya adalah sama, demikian pula jiwatma yang
bersemayam pada setiap manusia dengan demikian setiap manusia pada hakekatnya
adalah sama.
Dengan
renungan kebijaksanaan yang mendalam orang – orang arif bijaksana terutama para
Maharsi dapat merasakan langsung bahwa kita sebenarnya satu dan sama dengan
makhluk lainnya.
Dari
kesadaran bahwa setiap manusia pada hakekatnya sama lahir suatu pengertian
bahwa setiap perbuatan baik ataupun perbuatan yang tidak baik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lainnya pada hakekatnya adalah perbuatan baik atau
perbuatan yang tidak baik terhadap dirinya sendiri. Inilah hakekat dasar Tata susila Hindu.
Oleh
karena manusia jarang mau menyadari kebenaran ini maka perlu ada aturan Tata Susila
untuk menuntun manusia agar berbuat baik dan benar. Para maharesi sangat mengetahui dan menyadari
hakekat kebenaran yang utama ini, mereka mengajarkan dan mengembangkan tuntutan
Tata Susila seperti dalam Veda sebagai ajaran kebenaran yang mutlak.
Pedoman dasar ajaran Tata Susila Hindu adalah kemampuan untuk membedakan antara
benar dan salah perbuatan baik dan perbuatan buruk. Dalam ajaran
Hindu perbuatan baik disebut subha karma dan perbuatan buruk
disebut asubha karma. Sang Hyang Widhi Wasa menuntun dunia ini melalui
ajaran yang benar, segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan
yang telah ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa dalam ajaran agama adalah
benar dan sebaliknya segala sesuatu yang menghalangi jalan ini adalah salah.
Ajaran
Tata Susila adalah untuk menuntun umat manusia agar mampu menempuh jalan yang
sudah ditentukan oleh Sang Hyang Widhi wasa. Hambatan dan pertolongan agar
mampu menempuh jalan ini datang dari kecendrungan-kecendrungan sifat manusia
dibedakan menjadi dua macam, yaitu Daivi Sampad dan Asuri Sampad.
Daiwi
Sampad adalah kecendrungan kedewataan, menunjukan sifat- sifat mulia yang
mengantarkan manusia untuk menjadi manusia yang berbudi luhur, sedangkan Asuri
Sampad merupakan kecendrungan keraksasaan. Kecendrungan keraksasaan adalah
kecendrungan naluri rendah yang menyebabkan manusia condong pada perbuatan yang
tidak baik. Daivi Sampad mengantarkan mencapai kerahayuan, Asuri Sampad
mengantarkan manusia jatuh ke jurang neraka.
Kedua
kecendrungan itu ada pada diri setiap orang hanya kadarnya yang berbeda-beda,
itulah sebabnya seseorang dapat membawakan penampilan yang berbeda.Sesuatu saat
ia tampil dengan sifat-sifat baiknya tampaklah ia sebagai manusia yang manis
berbudi luhur, disaat yang lain mungkin dalam kondisi yang tidak baik ia tampil
sebagai pribadi yang menjengkelkan, seakan-akan binatang berwajah manusia.
Pustaka
Sarasamuscaya
menyebutkan bahwa hanya manusia yang mempunyai kemampuan dengan mengenal
perbuatan baik dan buruk, salah dan benar, serta mampu melebur yang buruk itu
supaya menjadi baik, kemampuan ini sebagai salah satu kelebihan manusia yang
diberikan oleh Sang Hyang widhi Wasa.
1.3. Tujuan Tata susila
Telah dijelaskan bahwa agama merupakan
dasar ajaran Tata Susila Hindu, karena itu Tata Susila merupakan bagian dari
ajaran agama. Sebagai bagian dari ajaran agama maka tujuan Tata Susila juga
merupakan tujuan agama. Tujuan agama Hindu adalah mengantarkan untuk mencapai
kesejahteraan hidup di dunia ini, dan kebahagiaan yang kekal abadi di akhirat
nanti sebagaimana dirumuskan dalam maha wakya ”Moshartham Jagadhita ya ca iti
dharma”. Kesejahteraan hanya dapat dicapai apabila ada keselarasan,
keserasian dan keseimbangan di dunia.
Tujuan Tata Susila untuk membina
hubungan yang selaras antara manusia dengan sesamanya, antara sesama anggota
masyarakat, suatu bangsa dan sebagainya menyebabkan hidup aman tentram damai
dan selamat sejahtera, sedangkan kehidupan yang tidak rukun atau tidak selaras
akan mengundang kekacauan, mala petaka dan kesengsaraan.
Tata Susila agama mengajarkan untuk
berbuat baik dan berbudi luhur, takut berbuat dosa, yakin bahwa Brahman maha
mengetahui sehingga tidak ada perbuatan yang luput dari pengamatanNya, kapan
dan dimanapun perbuatan itu dilakukan. Perbuatan baik yang disebut subha karma
mengantarkan pada tujuan untuk mencapai moksa, kebahagiaan yang kekal di
akhirat, perbuatan buruk mengantar masuk neraka.
Tata Susila,
maka moral seseorang dinilai atas dasar ajaran Tata Susila agama.
1.4.
Perilaku bermoral
Perilaku atau perbuatan adalah
implementasi dari kehendak yang didorong oleh pertimbangan-pertimbangan rasa
dan putusan akal. Perbuatan dapat dinilai bermoral jika kehendak dan perasaan
serta akal dalam melaksanakan fungsinya berdasarkan atas nilai moral atau nilai
Tata Susila. Ada nilai relatif tentang moral misalnya sesuatu dianggap benar
atau baik belum tentu benar atau baik di tempat lain misalnya berciuman antara
pria dan wanita, mungkin ada yang menganggap biasa, atau lebih dilakukan di
tempat umum.
|
2.1. Pengertian Filsafat
Dalam kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Purwadarminta
terdapat keterangan tentang filsafat sebagai berikut:
a. Pengetahuan dan pendidikan dengan kekal abadi
b. Teori yang mendasari alam pikiran atau
suatu kegiatan
c. Ilmu
yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology.
Pokok
permasalahan yang ditelaah oleh filsafat adalah logika, etika dan estetika.
Filsafat berusaha menjelaskan pernyataan ini sejelas mungkin, logika membahas
tentang benar atau salah, etika membahas baik atau buruk, sedang estetika
membahas tentang keindahan.
Logika: suatu penarikan kesimpulan dianggap
teknik (valid) bahan penarikan
kesimpulan itu dilakukan dengan cara benar. Cara penarikan kesimpulan
yang benar disebut logika, yaitu bila pangkajian dilakukan dengan berpikir
menggunakan akal sehat yang hasilnya menyatakan benar atau salah.
Logika Deduktif: penarikan kesimpulan dari
pernyataan yang bersifat umum ditarik menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.
Contoh:
Semua makhluk hidup bernafas (…)
Ayam adalah makhluk hidup (permiminan) jadi ayam
bernafas (silogisme).
Logika Induktif: Penarikan kesimpulan dari
kasus – kasus khusus nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
Contoh: kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata,
ayam mempunyai mata (khusus) kambing, gajah dan ayam binatang jadi semua
binatang mempunyai mata.
2.2
Etika (Tata Susila) sebagai bagian
filsafat
Teori Etika (Tata Susila) secara umum membahas tentang prinsip moral dasar, sedang secara khusus Tata Susila
membahas tentang tatasusila individual dan tata susila sosial yang menentukan
berbagai kewajiban dan tanggung jawab. Tata Susila sebagai filsafat moral
mengajarkan dan memiliki pandangan diantaranya:
Socrates beranggapan bahwa menderita selalu lebih
baik daripada berbuat jahat sebagai prinsip batin.
Aristoteles menyatakan tujuan hidup manusia ialah kebahagiaan
atau kedamaian berupa kesejahteraan dan
ketentraman.
Immanuel Kant membangun teori etika berdasarkan prinsip yang
muncul dari ide hukum dan menuju
imperative kategoris dan praktis.
Tata susila berhubungan dengan kehidupan
nyata, oleh karena itu tata susila bermanfaat bagi perkembangan hidup individu
dan masyarakat. Sebagai pandangan moral tata susila mengingatkan,
mempertimbangkan baik dan buruknya suatu tindakan dan keputusan untuk melakukan
sesuatu, misalnya tentang cloning pada manusia, abortus, cara berpakaian, dan
lain – lain.
Setiap manusia mesti memainkan perannya
demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia dengan melakukan tindakan yang
dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai dengan batasan dharma
(kebenaran), tugas moral dan hukum sosial, sehingga dalam hal ini terdapat
empat tujuan prinsip hidup manusia yaitu: dharma, artha, kama dan moksa. Dharma
adalah yang pertama, yang mendakan bahwa ketiganya tidak dapat dipenuhi tanpa
memenuhi kewajiban dharma, Moksa adalah tujuan yang terakhir karena keterikatan
adalah memungkinkan ketika dari ketiga bagian lain adalah terpenuhi. Walaupun
dharma memuliki arti yang berbeda dari sudut pandang etika, tapi dharma adalah
sistem moral dan nilai etika. Hindu dharma menyadari adanya tujuh faktor yang
membuat seseorang menyimpang dari jalan dharma atau mengarah untuk berbuat
dosa, yaitu: penderitaan (tresna), kemarahan (krodha), ketamakan (loba),
kebingunngan/keterikatan (moha), rasa bangga (mada), kecemburuan (matsarya),
dan egoisme (ahangkara).
Untuk
menghindari manusia tidak menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut,
maka di dalam filsafat Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan ”Dharma
Laksana” yang terdapat di dalam Kitab ”Manu Smrti” yaitu sebagai berikut:
1. Akrodha (tidak marah)
Kemarahan yang menutupi alasan,
menghasilkan perbedaan antara benar dan salah, serta kebajikan dan keburukan,
Ketika pikiran yang dapat membedakan itu dirusak, maka orang tersebut akan
kehilangan identitas diri. Seseorang yang marah akan menyakiti diri sendiri dan
orang lain, dengan tiga cara yang berbeda secara fisik (melalui kekerasan),
secara verbal (melalui kata-kata), dan secara mental ( melalui keinginan yang
buruk). Pengendalian kemarahan dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran yang
baik dalam diri.
2. Asteya (tidak mencuri)
Secara
umum mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil dengan paksa atau dengan
tidak adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika Hindu, mencuri juga
termasuk di dalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain dan diatas
kebutuhan legitimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau mengambil
kesempatan mereka dengan memiliki sesuatu
melalui maksud yang ilegal. Kurangnya pengendalian indra dan ketamakan
seseorang biasanya menimbulkan suatu keinginan untuk mencuri. Seseorang yang
memegang teguh asteya akan bebas dari ketamakan dan tidak memiliki keinginan
untuk mencuri.
3. Atma
Vinigraha ( Pengendalian Pikiran)
Pikiran yang terganggu
tidak akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah atau kebaikan
dengan keburukan. Konsentrasi dalam memberikan kebijaksanaan dan kasih yang
mendalam dapat meningkatkan kekuatan pikiran.
4. Dama (pengendalian diri atau
pengendalian indera)
Indera haruslah dapat dikendalikan melalui
pikiran, karena indera merupakan pintu gerbang masuknya segala sesuatu ke dalam
diri manusia.
5 Dhi
(kemurnian pikiran)
Kemurnian
pikiran dan intelek adalah lebih penting daripada kecerdasan. Seseorang manusia
yang memiliki kemurnian intelek akan bebas dari rasa sakit, tempramen yang
tidak baik, perasaan yang buruk, dan keinginan yang tidak dapat diduga. Para
Maha Rst Hindu berpendapat bahwa kecerdasan sangat dianjurkan untuk pengajaran
pada Kitab agar melakukan perbuatan yang baik agar pikiran yang mulia serta
meditasi yang teratur.
6.
Dhrti (Ketetapan dan Konsistence)
Seseorang
harus tetap pada pendirian, untuk dapat menemukan kebenaran, pikiran yang terus
selalu beriak, tidak akan dapat menemukan kebenaran hidup yang benar sangat dimungkin hanya dengan
komitmen seseorang untuk menjalankan kehidupannya.
7. Ksama (Pengampunan, kesabaran)
Pengampunan adalah
kebaikan yang utama dari moral dan etika hidup. Pengampunan dapat
mempertahankan kesucian pikiran bahkan situasi yang provokatif dalam kehidupan
seseorang.
8. Satya (Kebenran)
Satya
tidak berarti semata-mata berkata yang benar, perkataan dan perbuatan, dan
dalam hubungan kita dengan orang lain.
Untuk menjalankan kehidupan yang bermoral dan hidup yang beretika, maka
seseorang harus melakukan kebenaran. Konsep dari moralitas dpat berubah setiap
waktu, namun kebenaran Tuhan tidak akan pernah berubah. Tidak ada seorangpun
yang dapat menyembunyikan kebenaran secara terus menerus.
9.
Sauca (Kemurnian tubuh dan pikiran)
Kemurnian
itu terbagi dalam dua jenis yaitu fisik dan mental. Kemurnian fisik berarti
menjaga tubuh seseorang bersih dari luar maupun dalam. Kebersihan diri dari
dalam dapat diperoleh dengan menjalankan hukum kesehatan yang baik dan memakan
makanan yang ”sattvika” (makanan yang menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan,
panjang umur, dan yang bergizi serta mengandung nutrisi). Kebersihan luar
artinya mengenakan pakaian yang bersih dan menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian
mental berarti bebas dari pemikiran yang negatif dari nafsu, ketamakan,
kemarahan, kebencian, rasa bangga, kecemburuan, dan lain-lain.
10.
Vidya ( pengetahuan): kitab Hindu menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua
jenis yaitu pengetahuan yang lebih rendah (apara-vidya) dan pengetahuan yang
lebih tinggi (para-vidya). Pengetahuan yang lebih rendah artinya pengetahuan
yang bersifat keduniawian dalam bidang ilmu dan pengetahuan yang sangat
diperlukan untuk kehidupan di dunia. Sedangkan pengetahuan yang lebih tinggi
adalah pengetahuan spiritual yang mengajarkan cara untuk dapat mengatasi
kesengsaraan yang tidak diharapkan, menggapai tujuan yang bukan halangan, serta
mencapai kekuatan mental dan spiritual untuk dapat mengatasi perjuangan hidup.
Pengetahuan spiritual dapat diperoleh melalui belajar kitab yang berhubungan
dengan orang suci, dan dengan melakukan perbuatan yang tidak mementingkan
diri(niskama). Pengetahuan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk
menjalankan kehidupan yang berarti, yang menguntungkan secara sosial. Tujuan
pengetahuan spiritual ini adalah untuk mencapai penyatuan yang mutlak dengan
Tuhan.
2.3. Estetika
Estetika merupakan cabang filsafat, yaitu filsafat keindahan yang membahas
tentang seni dan keindahan dan tanggapan manusia terhadapnya. Pendekatan pada estetika ada dua, pertama pada obyek benda, pada karya seni
atau alam yang indah. Kedua pada pengalaman
manusia yang mengalami dan kontemplasi yang melahirkan pengalaman estetik atau
apresiasi. Persoalan
estetika sangat tergantung pada dimana, kondisi dan posisi serta perspektif
siapa yang memandang sesuatu menjadi indah.
|
3.1. Tindakan Manusia
Dalam pandangan Hindu, manusia adalah
makhluk panunggalan antara purusa dan pradana, purusa adalah atma yang
menghidupkan, pradana adalah badan kasar ini yang sifatnya dasarnya adalah
pasif. Manunggalnya purusa dan pradana melahirkan idep, bayu dan sabda (tri
pramana). Idep artinya kemampuan akan pikiran, bayu kemampuan untuk
berbuat berupa tenaga, dan sabda adalah kemampuan untuk berbicara.
Bersama dengan itu lahir pula tri
Guna yaitu tiga guna atau sifat yang mempengaruhi semua tindakan
manusia yaitu, Satyam, Rajas, dan Tamas, guna sattvam adalah sifat-sifat yang
cendrung pada kebenaran, kebaikan, dan sifat – sifat dharma, guna rajas
cendrung pada sifat-sifat aktif cepat, reaktif, marah dan aktivitas-aktivitas
emosional lainnya. Sedangkan guna Tamas adalah kecendrungan-kecendrungan pasif,
diam, pemalas, suka tidur dan sifat-sifat atau tindakan tanpa gairah atau lesu.
Aktivitas
Tri Pramana selalu dipengaruhi oleh Tri Guna sehingga menimbulkan berbagai
tindakan yang bersumber dari pikiran, perkataan dan perbuatan menjadi tindakan
yang baik atau tidak baik. Tata Susila mengarahkan pada tindakan manusia agar
menjadi tindakan yang baik dengan:
a. Mengarahkan setiap pikiran (manah, idep)
menjadi manacika yaitu semua pikiran
yang berorientasi pada kebaikan,
b. Mengarahkan perkataan (wak,
sabda) menjadi wacika yaitu semua perkataan yang mengarah pada kebaikan,
c. Mengarahkan semua perbuatan
(kaya, bayu) menjadi perbuatan atau tindakan-tindakan yang mengarah pada
kebaikan.
3.2. Dorongan untuk bertindak
Dalam
keadaan sadar orang selalu menerima rangsangan dari luar dirinya, dalam
hubungan ini badan jasmani mempunyai kemampuan untuk mengadakan reaksi terhadap
rangsangan itu. Rangsangan
itu mula-mula menyentuh indriya yang kemudian dilanjutkan ke otak melalui
system syaraf, dan rangsangan itu dianalisa. Reaksi tiap orang mungkin berbeda-beda,
mungkin tenang, mungkin emosional karena
sebab yang berbeda-beda pula. Menurut Maharesi
Patanjali komponen yang menggerakkan yaitu :
a.
Manah
adalah bagian dari pikiran yang mempunyai kemampuan merekam kesan-kesan dari
luar yang merangsang dan diterima oleh indriya,
b. Ahamkara adalah Ego, rasa aku yang selalu mengklaim kesan-kesan itu
sebagai miliknya. Rasa
ego inilah yang mendorong untuk melakukan reaksi terhadap aksi yang diterima.
Contoh :
Manah merangkap sinyal bahwa ada benda besar hitam
bergerak cepat mendekat, Budhi mendapat laporan dan langsung melakukan
analisis. “Seekor kerbau sedang mengamuk, marah beringas dan menyerang dengan
ganas sekali” Ahamkara memekik, kerbau itu menyerang dengan cepat. Ahamkara
beraksi “Lari” untuk menyelamatkan diri.
Untuk latihan Mahasiswa dapat memberi contoh-contoh lain
yang sejenis untuk memperdalam pemahaman tentang proses rekasi diri.
|
4. OBYEK TATA SUSILA (LANJUTAN) Pertemuan 4
|
4.1. Kehendak Bebas
Manusia
adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu
ia bebas berbuat sekehendak hatinya, namun sebagai makhluk sosial ia harus
bertindak memperhatikan lingkungan sosialnya artinya ia harus memperhatikan
norma – norma, aturan – aturan yang berlaku.
Karena
manusia makhluk terbatas, maka tindakannya untuk memilih itupun terbatas pula
pada kemanusiaannya. Ini berarti bahwa ia tidak dapat memilih sebebas –
bebasnya. Dalam pada itu agama Hindu mengajarkan bahwa pada dasarnya hakekat
manusia itu adalah baik. Sang Hyang Atma yang menjadi inti hidup itu adalah
suci, jujur dan tak mau mengakui yang buruk itu baik. Maka dalam memilih, orang
supaya mengikuti bisikan Sang Hyang Atma bisikan kata hatinya yang jujur itu.
Nilai atas pilihannya pada yang baik dan benar itulah yang akan menentukan
martabat dan nilai pribadi seseorang,
bukan karena kekayaan, kepandaian atau keturunan. Hal ini diterangkan oleh
sloka- sloka kitab Sarasamuscaya
sebagai berikut:
Jyãyãmsamapi cîlena vihînam naiva pûjayet,
api
Sûdram tu
dharmajñam sadvrttam cãpi pûjayet.
Yadyapi
brãhmana tuha tuwi, yan duccila, tan yogya
Katwangana, mon
sûdra tuwi, dhãrmika, susîla pujan
Katwangana jugeka, ling sang hyang aji.
(S.S. 161)
Terjemahan:
Meski
Brahmana yang berusia lanjut sekalipun, jika
Perilakunya
tidak susila, tidak patut disegani, biar orang
Sudra
sekalipun, jika perilakunya berpegang pada
Dharma
dan kesusilaan, patutlah ia dihormati dan di
segani
juga.
Demikian
kata sastra suci.
Vrttena
raksyate dharmo vidyã yogena raksyate,
Mrjayã raksyate rúpam
kulam cilema raksyate.
Prawrtti
rahayu kta sãdhana ning rumaksang dharma, yapwan
Sanghyang aji, jñana
pageh ekatana sudhana ri karaksanira,
Kunang ikang rúpa, siradin pangraksa irika,
yapwan kasujanman,
Kasusilaan sadhãna ning rumaksa ika.
(S.S.
162)
Terjemahan
:
Tingkah
laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma,
sastra
suci, pikiran yang tetap teguh dan bulat saja
merupakan
upaya untuk menjunjungnya, adapun keindahan
paras
adalah keberhasilan pemeliharaannya, mengenai kelahiran
mulia,
maka budhi susila yang menegakkannya.
4.2. Aturan-aturan yang mengatur
Manusia tidak dapat hidup menyendiri tanpa
komunikasi dengan orang lain, sebagai mahluk social ia selalu memerlukan
kelompok (komunitas). Dalam hubungan kelompok selalu ada
aturan-aturan yang mengatur hubungan antara yang satu dengan lainnya.
Manusia
memerlukan ketenangan dan kedamaian dalam hidup untuk itu harus ada keharmonisan hubungan. Untuk menjamin
hubungan agar tetap harmonis ada norma-norma yang berlaku, ada pula adat
istiadat dan hukum yang mengatur.
Kepatuhan,
walaupun sudah ada norma-norma adat istiadat dan hukum, namun yang paling
menentukan adalah kepatuhan dari setiap anggotanya, kepatuhan adalah sikap
mental yang ditumbuhkan dari dalam diri sendiri atau dasar keimanan dan
kesadaran.
|
5.1
Kesadaran Etis
Kata hati sebagai suara
kejujuran. Kata hati adalah bisikan hati nurani yang paling
dalam yang merupakan suara kejujuran yang menyuarakan kebenaran, disebut juga
suara atman sebagai bisikan hati nurani secara hati sesungguhnya tidak dapat
dibohongi. Kata hati belajar dari pengalaman setiap pengalaman mempunyai kesan
yang tersimpan dalam kesadaran yang paling dalam, sehingga tidak dapat diubah
atau dibohongi.
Kesadaran
Etis, apa yang disebut baik dan apa yang disebut buruk itu, berbohong,
mencuri, menipu adalah buruk, menolong dalam kesusahan memberi petunjuk pada
orang yang sesat adalah baik kesadaran akan adanya baik buruk, benar salah
disebut dengan kesadaran etis.
5.2 Kelemahan Kata hati
Pengaruh Tri Guna adalah Sattvam, Rajas, Tamas. Sattvam
adalah sifat-sifat kebenaran, rajas adalah sifat berani tetapi sombong, Tamas
sifat pemalas dan pengecut. Tri guna menimbulkan kejujuran disamping juga dapat
bohong, malu terutama saat mempertahankan harga diri didepan orang banyak.
Membohongi kata hati, karena
ada dalam hati kata hati dapat dibohongi, ditekan sehingga menentang suara kejujuran
manusia dapat bertindak demikian karena pengaruh sifat indriya seperti Sadripu yang meliputi kma, krodha,
loba, mada, moha dan matsarya.
Kama artinya
kecintaan, karena cinta orang berani berbohong bahkan berani membela agama
dengan nyawa.
Krodha artinya
kemarahan, bila mana berkuasa orang dapat lupa diri, karena lupa diri kesadaran
hilang.
Loba artinya rakus,
selalu ingin dapat lebih banyak, karena rakus orang tidak takut menghaki orang
lain.
Mada artinya mabuk,
kemabukan dapat timbul dari kepinteran, kekayaan dan minuman keras, orang mabuk
umumnya berperilaku tidak baik.
Moha artinya
kesombongan, banyak hal dapat menimbulkan kesombongan, kesombongan dapat
membuat orang tinggi hati sehingga mengecilkan dan merendahkan orang lain.
Matsarya artinya iri
hati, banyak hal dapat menyebabkan timbulnya rasa iri, seperti melihat orang
lain berhasil, karena iri hati dapat berbuat culas.
Menekan
kata hati, karena diliputi rasa malu orang dapat menekan kata hati, dengan
mengatakan berbeda dari tuntutan hati nurani. Hal seperti ini dapat terjadi
karena ada kepentingan lain atau juga karena ada tekanan, dan orang tidak
berani melawan atau menentang.
|
6.1. Hubungan baik
dan buruk
Rwabhineda
adalah siklus baik dan buruk benar salah yang selalu berhubungan tidak
terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam hidupnya manusia selalu berbuat dan
bertindak sesuai dorongan hatinya. Kehidupan tidak dapat dipisahkan dari
kerja, karena kerja diatur oleh hukum alam seperti dijelaskan dalam
Bhagavadgita:
Na hi kaścit ksanam api,
jatu tisthaty akarma krit
Karyate hy avasah karma sarwah
prakŗti-jaih gunaih
(Bhagavadgita, III .5)
Artinya
:
Tidak seorangpun tidak bekerja, walaupun untuk
sesaat saja karena dengan tidak berdaya manusia
dibuat bertindak oleh hukum alam.
Manusia mampu berbuat baik dan berbuat
buruk sekaligus,
Bhagawan Wararuci yang menghimpun sari-sari Asta dasa
Parwa dalam pustaka sarasamuccaya diantaranya menulis dalam sloka 2:
Mãnusah sarva bhũtesu, varttate
vai cubhãcubhe,
acubhesu samavistam cubhesvevãvakãrayet
Artinya :
Diantara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan
sebagai manusia saja yang dapat melaksanakan perbuatan baik atau buruk, menjadi
perbuatan baik itulah tujuannya lahir sebagai manusia.
Hanya manusia saja yang mampu berbuat
seperti itu karena mempunyai kemampuan berpikir, berkata dan berbuat. Makhluk
lain tidak dapat berbuat seperti itu.
Upabhogaih parityaktam natmanamavasãdayet,
Candalatvepi mãnusyam sarvvathã
tãta durlabham
(Sarasamuccaya, 3)
Artinya:
Oleh karena itu janganlah sekali – kali bersedih
hati sekalipun hidupmu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu hendaklah
menjadikan kamu berbesar hati sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi
manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun.
6.2 Indriya
Indriya menjerumuskan manusia pada
perbedaan asubha karma (perbuatan buruk), disebut juga raga atau nafsu. Nafsu
inilah yang selalu mendorong untuk berbuat buruk.
Ragadi
musuh maparo, rihatya tonggawanya
Tan madoh ring awak, yeka hana ring sira
(Ramayana
Sarga 1.4)
Nafsu (indriya) adalah musuh manusia yang paling
dekat dengan hati. Tempatnya tidak jauh dari badan. Ia ada dalam diri setiap
manusia.
Sadripu, musuh dalam diri manusia ada enam disebut sadripu yang selalu
menggoda manusia untuk berbuat baik atau buruk
·
Kama adalah keinginan tentang adanya seksual
·
Kroda adalah
nafsu kemarahan
·
Loba adalah nafsu serakah atau rakus
·
Mada adalah
nafsu kemabukan
·
Matsarya adalah
nafsu iri hati
·
Moha adalah nafsu takabur atau
sombong
Baik atau buruk ada pada setiap
orang, selalu tarik menarik dalam setiap tindakan manusia. Hanya mereka
yang mampu mengendalikan diri dapat mengatasi.
7.1. Ukuran – ukuran
Baik dan Buruk
Pengendalian indriya. Baik – buruk, benar
dan salah perbuatan timbul dari pikiran (indriya). Oleh karena itu pikiran
harus dikendalikan paling dahulu.
Mano
hi mũlam sarvesãmindrayãnam pravartate,
cubhacubhasvavasthãsu kãryam tat suvyavasthitam.
(Sarasamuccaya, 80)
Artinya :
Sebab yang disebut pikiran itu
adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakan perbuatan baik atau buruk oleh
karena itu pikiranlah yang segera patut diusahakan
pengekangannya/pengendaliannya.
Ukuran baik dan buruk. Apa yang disebut baik
dan apa yang disebut buruk sesungguhnya bukan untuk merumuskannya. Namun
demikian manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, karena
berdasarkan pengalamannya manusia dapat membedakannya.
Apan ikang dharma, satya maryãda yukti,
Kacaktin, cri kinaniccayam ika, cila
hetunyan hana
(Sarasamuccaya,
158)
Artinya :
Karena kebajikan, kebenaran, palaksanaan
cara hidup yang layak (sopan santun), kasaktian, kebahagiaan dan keteguhan itu
sila menyebabkannya ada.
7.2 Tri
Pramana
Tri pramana
merupakan ukuran yang dapat menjadi pedoman tingkah laku manusia sehari – hari.
Desa, Kala dan Patra, ukuran untuk dapat menentukan salah,
benar, baik dan buruk. Desa artinya tempat, suatu yang benar di suatu tempat
belum tentu benar pada tempat lainnya. Misalnya, memakai pakaian renang di
pantai adalah baik dan benar, tetapi menjadi buruk dan salah apabila dipakai di
tempat pembelanjaan seperti pasar atau toko. Kala artinya waktu, suatu yang
baik pada waktu tertentu bisa jadi buruk pada saat yang lain. Misalnya,
menghidupkan radio keras – keras pada saat siang hari orang istirahat adalah
baik. Akan menjadi salah dan dianggap buruk apabila dilakukan pada waktu malam
hari saat orang sedang tidur.
Patra artinya
keadaan. Tidak pada setiap keadaan sesuatu itu dapat dilakukan dengan baik.
Misalnya saat orang sedih berduka cita tentu tidak dapat ketawa lepas, tepat
dilakukan pada saat suka dan bersenda gurau.
Pratyaksa,
Anumana, Agama
Benar salahnya sesuatu, baik atau buruk
dapat pula dipertimbangkan dengan pratyaksa, anumana dan agama. Pratyaksa
adalah pertimbangan pengalaman, anumana atas dasar pertimbangan pikiran, agama
atas dasar pertimbangan sastra agama..
Sastratah, Gurutah dan swatah. Baik, buruk, benar, salah dapat dipertimbangkan
dari sastra agama, wejangan – wejangan dari para guru (gurutah) dan juga atas
dasar pertimbangan sendiri (swatah).
9.1. Pengertian Tata Susila Hindu
Tata susila adalah peraturan tingkah laku. Tingkah laku yang
baik dan mulia harus menjadi pedoman hidup manusia karena tujuan tata susila
adalah untuk membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antara
seseorang dengan makhluk hidup lainnya, hubungan yang selaras antara keluarga
yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa
dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Telah menjadi
kenyataan bahwa hubungan yang selaras antara manusia cengan makhluk sesamanya,
antara anggota – anggota suatu masyarakat, suatu bangsa, manusia dan sebagainya
menyebabkan hidup yang aman dan sentosa.
9.2. Peranan Tata Susila
Tata
susila membina watak manusia. Menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat yang
baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpikiran mulia, dan untuk
mencapai hidup yang bahagia, tata susila yang membimbingnya. Selain daripada
itu, tata susila pula menuntun manusia untuk bersatu dengan sesamanya dan
akhirnya menuntun mereka untuk mencapai kesatuan jivatma (rohnya) dengan
paramatma (Hyang Widhi wasa Brahman).
Tata
susila menuntun mencapai kebahagiaan mutlak dan abadi. Kebahagiaan abadi hanya
dapat dinikmati bilamana atma dapat mencapai kesatuan dengan Sang Hyang Widhi
Wasa. Hanya penyatuan itu yang dapat memulai kebahagiaan yang abadi yang dalam
Bahasa sansekerta disebut Ananda.
Yatro paramate cittam, nirudaham
yoga sewaji
Yatro caiwa atmanatmanam
pasyanat mani tusyati
Artinya:
Bilamana
hati seseorang merasa bahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga, dimana ia
melihat Hyang Widhi dengan pengamatan rohnya maka ia menikmati kebahagiaan
rohani.
Sukham
atyantikam yat lad, budhigrahyam atindriyam
Witsi yatra na ca iwayam,
sthitacca lati tattivatah
Artinya:
Pada waktu ia menikmati
kebahagiaan rohani yang tiada tandingnya, yang hanya dapat dicapai dengan budhi
yang lebih tinggi dari indriya, ia tetap menikmati kebahagiaan itu, tiada akan
jauh dari yang mutlak.
Ajaran tata susila
Hindu mengantarkan umatnya untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi yang
disebut moksa.
|
10.1. Sumber – sumber ajaran tata Susila Hindu
. Kitab – kita suci. Sumber utama ajaran tata
susila Hindu adalah kitab – kitab Veda atau kitab – kitab suci. Veda terdiri
dari empat himpunan Veda (samhita).
a.
Regveda, Veda yang paling pertama dan utama.
b.
Yajurveda, Veda kedua yang memuat tentang tata cara
melakukan yajnya upacara.
c.
Samaveda, adalah himpunan Veda yang memuat mantram –
mantram pemujaan dan kidung – kidung suci.
d.
Atharvaveda, adalah Veda yang memuat mantram – mantram suci
untuk berbagai keperluan dan merupakan Veda yang termuda.
Kitab
– kitab Smerti. Kitab smerti banyak jumlahnya, salah satu karya Bhagawan Manu yang disebut Kitab Manawa Dharma Sastra. Kitab ini memuat
berbagai ajaran dari tata susila, hukum, politik, kemasyarakatan dan lain –
lain.
Kitab-kitab
Purana. Kitab – kitab purana
berbentuk cerita yang menceritakan sejarah masa – masa lalu yang amat tua. Juga memuat
cerita-cerita tentang kejadian – kejadian, bahkan seakan – akan ceritera
dongeng. Kalau disimak isinya bermacam – macam.
Lontar
– Lontar. Banyak sekali ada lontar-lontar atau sastra. Sastra
tradisional lokal yang merupakan warisan dari zaman nenek moyang. Dari
lontar-lontar dan sastra-sastra local tersebut banyak sekali hal-hal yang
berkaitan dengan tuntunan-tuntunan hidup berupa ajaran-ajaran tata susila
10.2. Cerita Rakyat
Cerita-cerita rakyat. Banyak sekali cerita-cerita
rakyat yang merupakan warisan dari para orang tua. Sumber cerita itu seiring
tidak dapat diketahui lagi. Adapun cerita-cerita tentang
binatang yang pada hakekatnya adalah ajaran tata susila. Ajaran agama dikemas
dalam cerita-cerita tersebut.
Relief. Pada hiasan dinding atau tembok candi
maupun pura banyak pahatan yang melukiskan cerita-cerita rakyat, baik bersumber
pada kitab Tantri Kamandaka, maupun lainnya. Seperti cerita-cerita local
|
11.1. Pengertian
Triguna
Walaupun
sastra-sastra Hindu ada yang menyatakan, bahwa perilaku manusia itu dapat
terbentuk oleh lingkungan, tetapi sastra-sastra tersebut sebagian besar
memandang perilaku manusia ditentukan oleh faktor dalam, yaitu faktor jiwa
manusia itu yang harus kita perhatikan. Faktor yang sifatnya garang harus
dijinakan dengan jalan yang ditunjuk oleh sastra-sastra Hindu. Oleh karena
sastra tersebut adalah sastra agama, maka jalan yang ditunjukan itu pun jalan
agama yang bersifat filosofis.
Kecendrungan
perilaku manusia bersumber pada Triguna, yaitu tiga sifat yang dibawa sejak
lahir. Adapun yang termasuk Tri Guna adalah Sattwam,
Rajas dan Tamas.
Dalam Kitab Wrhaspati Tattwa sloka
15 kita dapati keterangan tentang Tri Guna itu sebagai berikut:
Ikang cittamahangan mãwa,
yeka sattwa ngaranya,
Ikang
madêrês molah, yeka rajah ngaranya,
Ikang
abwat pêtêng, yeka tamah ngaranya.
Artinya:
Pikiran yang ringan dan tenang itu sattwam
namanya, yang bergerak cepat itu rajah namanya, yang berat dan gelap itu tamah
namanya.
11.2. Pengaruh
Triguna
Guna Sattwam
Yan sattwa prakasarumaket irikang citta, yeka prajna widagdha, wruh ri
yogya, lawan tan yogya, akamulyan denya mawambek. Ahadyan tagen, tan turagada,
tan babakujar, bhakti tonen duga-duga, asih taya ring kasyasih, anumoda rihina
dina, tuning sungsut, satya bhakti, arumpoting halanya, saumya wacananya, aten
ta ya ngucap sastra, kamuni wacananya, utsahangusi ngguna pangawruh
kasamnyajnan, tan pamali nghela, tan jneng sungsut, kewala bungan
patinghalanya, sapolahnyamang mangdadyaken trpti paritusta ri citta ni para,
tatan ahangkara, tan moha denyamawa prawrtti, kewala bungah sastalilang, ahning
nirawarana tan patalutuh, atah pinaka jnananya, asri pahimpahalanya, yeka
wyakti nikang citta sattwa, nahan laksana nikang citta satwa, an rumaket
irikang citta
Artinya:
Bila sattwa terang
bercahaya melekati alam pikiran, ia akan menjadi orang yang bijaksana tahu akan
apa yang disebut patut dan apa yang disebut tidak patut, baik caranya
bertingkah laku, meskipun ia bertenaga, tiadalah ia kasar, tidak berkata asal
berkata, bersikap hormat, kelihatan lurus hati; ia menaruh kasih sayang kepada
orang yang menderita, menghibur orang yang hina dina, jarang bersedih hati,
setia dan bhakti, lembut kata-katanya, sungguh-sungguh ia melaksanakan ajaran
sastra, dan apa yang disebutkannya, berusaha mengejar sifat yang baik, tiada
mengenal lelah, tiada berhati sedih apa saja gerak-geriknya menjadikan senang
orang yang melihatnya, luhur budinya, menyebabkan tenang dan mengembirakan
orang banyak, tiada serakah, dan bersedia mengalah, tidak egoistis, tidak sesat
olehnya bertingkah laku, tetapi girang senang dan terang bersih tak bernoda
saja yang menjadi batinnya, manis wajahnya, itu hakekat citta sattwa.
11.3. Guna
Rajas
Nihan laksana nikang
citta rajah, an rumaket irikang citta, cancala, adresmolah, asighra, panas
bharan, aglisbangga irsya, salah hasa sahana, capala, wawang tka sahasa, tuning
asih, tuning wlasih kumalwiaken awak guna, gong hati, krodanya gong, gong
sungsut, ahangkara, lobha, dambha, krura, taratakut, kabhinawa sapolahnya,
mangdadyaken resning tuminghal, sabdanya mangdadyaken karma sula ring sang
mangrengo, alanggya ruhur pambekanya, mangdadyaken, ewa ning citta ning para,
tan angga korurwa, tan angga sor ring abhipraya yeka wyakti nikang citta,
rajah, an rumaket irikang citta.
Artinya:
Inilah tanda-tanda citta
rajah, bila melekati pikiran orang, goncang, bergerak cepat, tergesa-gesa,
panas hati, cepat, congkak, iri hati, cepat tersinggung, kesal, usil, cepat
timbul kekerasan dan kurang menaruh kasih sayang, mengagung-agungkan diri
pandai, angkuh, amat pemarah, sedih, egois, loba, tamak, bengis, tidak mengenal
takut, seram segala geriknya, menyebabkan takut hati orang yang memandangnya,
menentang mengatasi sifatnya menybabkan jengkelnya hati orang, tidak mau
diatasi, tidak rendah cita-citanya. Demikianlah hakekat citta rajah bila
melekati alam pikiran manusia.
11.4 Guna
Tamas
Demikian pula citta tamah dalam
Tattwajnana 9, disebutkan dalam terjemahannya sebagai berikut:
“Inilah tanda-tanda citta tamah bila melekati alam
pikiran, berat, enggan, rahasia, malas, kotor, tak puas-puasnya makan, dingin,
mengantuk, kuat tidur, amat dungu, besar birahinya, amat beriri hati, keras
keinginannya, amat bernafsu, doyan dengan senggama, campur tidur dengan anak
istrinya. Demikianlah hakikat citta tamah dan demikianlah tanda-tandanya, bila
melekati alam pikiran.
Dari uraian yang panjang lebar tadi, dapat
disimpulkan bahwa, sattwa itu adalah sifat tenang, rajas adalah sifat dinamis,
dan tamah adalah sifat malas.
Bagaimana pertautan kerjasama antara ketiga guna
itu, kita dapati dalam uraian Tattwajnana
10 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Bila
sattwa bertemu dengan rajah, terang bercahaya citta itu. Itulah menyebabkan
Atma dapat datang dari Surga, karena sattwa inginlah ia berbuat baik, maka
rajahlah yang melaksanakannya sampai berhasil semua kehendak sattwa itu.
Demikianlah hakikat kebenaran rajah itu ikut serta berbadan Surga, terbawa oleh
sattwa. Bila sattwa bertemu dengan rajah tamah, terang bercahaya citta itu dan
itulah penyebabnya atma menjadi manusia, karena sattwa, rajah dan tamah tidak berjalan
dengan kehendaknya. Berbuat yang baik, melaksanakan dharma , berderma, berbuat
jasa, demikianlah kata sattwa. Keras dan marah aku, demikianlah rajah.
Sembunyi, enggan, makan dan tidur saja kata tamah. Demikianlah kehendak sattwa,
rajah dan tamah, tidak sejalan namun bertentangan. Itulah sebabnya, tidak akan
ada perilaku yang baik ataupun buruk yang terjadi hanya oleh salah satu
daripadanya”.
|
12.1 Suri Sampad (Daivi Sampad)
Daivi Sampad adalah sifat-sifat
kedewataan. Sifat-sifat yang mulya mengutamakan ajaran dharma. Uraian tentang
sifat-sifat baik ini terdapat dalam Lontar
tattwajnana Sloka 16 :
·
Bila ada budhi sattwa, kuat pada makna
kebijaksanaan, asyik dengan sastra, melakukan kasnyagjnana, maka kelahiran
Sanghyang Tri Purusa sattwa yang demikian,
·
Bila ada
budhi sattwa, kuat pada hakekatnya brata, tapa yoga, Samadhi, maka kelahiran
Panca Resi sattwa yang demikian itu,
·
Bila ada
budhi sattwa, kuat pada hakekat puja astawa, japa mantra dan pujian kepada
Hyang Widhi, maka kelakuan Sapta Resi, sattwa yang demikian,
·
Bila ada
budhi sattwa, tidal memperdulikan apakah itu baik atau buruk, namun selalu
kasih sayang kepada semua mahluk, maka kelakuan Dewa Resi sattwa yang demikian
itu,
·
Bila ada
budhi sattwa, kuat dalam ajaran dharma, kirtti, yasa, kebajikan, kelahiran Dewa
sattwa yang demikian itu.
12.2
Suri Sampad
Asuri sampad adalah sifat-sifat keraksaan, yang biasanya,
pemarah, rakus, tamak dan selalu mengikuti keinginan indriya. Sifat-sifat ini
sangat jauh dari sifat-sifat dharma atau sifat-sifat kedewataan. Umumnya emosi,
bual, sombong dan angkuh. Demikian pula ada uraian lain tentang rajah itu
disebutkan sebagai berikut :
·
Ada budhi
rajah, diberikan kata-kata yang tak layak, timbul marahnya, maka ia tidak akan
berdiam diri, seketika itu menjauh dan berkata, katanya : “paling hebatlah
seharusnya aku ini. Dapat ia menyampaikan kata yang tak layak padaku. Seperti
manusia penakutlah apa yang ia ingini. Aku tak seganlah berkata-kata. Aku harus
melindungi keselamatanku” Kelahiran datya rajah yang demikian.
·
Ada budhi
rajah, diberikan kata-kata tak layak, marah bergetar seluruh tubuhnya, seketika
ia bersikap bermusuhan, berlaku kasar dengan kata-kata, berlaku kasar dengan
kepala, berlaku kasar dengan tangan, menjerit seperti suara singa, mengeluarkan
kata-kata semuanya saja, tidak dapat menahan diri, kata orang kelahiran raksasa
rajah yang demikian.
Selanjutnya mengenai guna
tamas diuraikan sebagai berikut :
·
Budhi
tamah yang akan diceritakan, ada budhi tamah tidaklah ia resah akan apa yang
dimakan. Ia merasa kenyang dengan secabik sayur, sekepal nasi, seteguk air,
seteguk tuak, maka puaslah hatinya, dengan demikian kelahiran bhuta yaksa tamah
yang demikian.
·
Bila ada budhi tamah, memilih-milih apa yang
dimakan, bukan emas yang diinginkannya, yaitu yang paling tidak ditolaknya, apa
saja yang gemerlapan tidak diinginkannya, tidak masuk di hatinya. Namun bila ia
menemukan makanan maka sejuklah hatinya. Kelahiran bhuta dengan tamah yang
demikian.
·
Bila ada
buhdi tamah, mau saja ia makan yang tidak enak, yang menyebabkan kemudian resah
gelisah. Ke barat, ke timur, tidak mengenal letih, maka sadarlah ia tertipu
banyak orang, mengakibatkan ia menjadi masgul dan lesu, namun masih
tergila-gila, dipasangnya juga telinganya, bila mendengar ada makanan,
kelahiran bhuta pisaca tamah yang demikian.
13.1 Sifat-sifat Indriya
Kecendrungan-kecendrungan
sifat manusia, baik kecendrungan
kedewataan
maupun kecendrungan keraksasaan dalam realitas awalnya adalah dalam bentuk
keinginan atau dalam bentuk nafsu.
Sesungguhnya keinginan atau nafsu itu
sangat penting dalam hidup ini. Tanpan keinginan atau nafsu, tidak akan ada
sesuatu yang bisa dikerjakan oleh seseorang di dalam hidupnya. Keinginan atau
nafsu itu menimbulkan suatu karya, suatu kreativitas yang menjadi dharma bagi
setiap orang. Bila nafsu atau keinginan
itu hilang, maka tidak ada suatu kegiatan apapun yang terjadi dalam hidup ini.
Identitas akan lenyap. Oleh karena itu keinginan atau nafsu itu adalah motor
penggerak di dalam hidup ini yang membawa kegairahan dan prestasi terhadap
seseorang.
Dalam kitab-kitab agama Hindu disebutkan
adanya dua macam indriya, yaitu Panca Budhi Indriya dan Panca Karma Indriya.
Panca Bhudi Indriya berfungsi sebagai penghubung pikiran dengan alam dunia. Panca
Budhi Indriya dirumuskan sebagai lima indriya penyadar yang menyebabkan orang
dapat mengetahui dan merasakan sesuatu. Sedangkan Panca Karma Indriya adalah lima
indriya penggerak. Jadi sifat-sifat indriya adalah menyadarkan dan
menggerakkan dibawah kendali pikiran (manah).
13.2. Panca
Budhindriya
Panca Budhindriya yang dirumuskan sebagai lima indriya penyadar yang
menyebabkan dapat mengetahui dan menyadarkan sesuatu, secara terurai masing-masing fungsi sebagai berikut :
a. Caksu indriya, ialah indriya
yang menyebabkan orang dapat melihat, terletak dimata,
b.Srota indriya, ialah indriya
yang menyebabkan orang dapat mendengar melalui telinga,
c. Grana indriya, ialah indriya
yang menyebabkan orang dapat mencium melalui hidung,
d.
Jihwa indriya, ialah indriya
yang menyebabkan orang dapat mengecap sesuatu melalui lidah,
e. Twak indriya, ialah indriya
yang menyebabkan orang dapat merasakan sentuhan, panas, dingin, melalui kulit.
13.3. Panca Karmendriya
Demikian pulalah Panca karmendriya, yang dirumuskan sebagai lima indriya penggerak
atau pekerja, secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Wak indriya ialah penggerak
mulut yang menyebabkan orang dapat berkata-kata atau berbicara,
b.Pani indriya, ialah indriya
penggerak tangan, yang menyebabkan orang dapat memegang, mengambil, dan lain
sebagainya,
c. Pada indriya, ialah
penggerak kaki, yang menyebabkan orang bisa berjalan, menendang,
d.
Payu indriya, ialah
penggerak pelepasan yang menyebabkan orang bisa kentut atau berak,
e. Upastha indriya, ialah
penggerak kemaluan atau kelamin laki-laki (bhagendriya, penggerak kelamin
wanita), yang dapat menyebabkan orang dapat bersenggama.
Berdasarkan uraian tadi, dapatlah
disimpulkan bahwa keinginan itu timbul dari indriya. Indriya merupakan pintu
gerbang dalam pemikiran dengan keduniawian yang dapat menimbulkan berbagai
interaksi, yang kemudian menjadi aspek-aspek kehidupan manusia.
Oleh karena itu dalam memenuhi pemuasan
indriya-indriya tersebut, memerlukan suatu pengawasan yang ketat, sehingga dapat
mengantarkan kita kepada kebahagiaan, kalau tidak demikian ia akan dapat
menjerumuskan kedalam penderitaan. Itu bukan berarti kita harus mengekang
segala apa yang timbul dari indriya tersebut, karena tanpa adanya
indriya-indriya itu tidak ada suatu karya, tidak akan ada suatu kegiatan
ataupun aktivitas yang timbul dalam kehidupan ini. Hendaknya disadari, bahwa
membunuh keinginan itu tidak mungkin, hal itu tidaklah benar. Karena Tuhan
menciptakan dan memberikan indriya-indriya tersebut kepada ciptaanNya, justru
untuk kesempurnaan ciptaanNya itu. Hanya saja kita harus mempergunakan dan tahu
mengendalikannya. Tidaklah baik kalau kita diperbudak oleh indriya-indriya
tersebut, karena ia dapat menjerumuskan ke lembah nista. Sebaliknya, jika kita
dapat menguasainya, maka perjalanan hidup ini akan berjalan dengan penuh
kedamaian dan penuh kebahagiaan.
|
14.1. Pengendalian Indriya
Sepuluh indriya
yang ada pada dri manusia, merupakan bagian dari alam pikirannya untuk
mengenal, merasakan dan melaksanakan sesuatu. Dari indriya inilah timbul
keinginan-keinginan dan melalui indriya itu pula kita mendapatkan kepuasan,
kesenangan atau kesusahan. Kesepuluh indriya itu di dalam tubuh manusia
masing-masing memiliki fungsi-fungsi tertentu. Di dalam Manava Dharma Sastra II.92 dinyatakan ada indriya kesebelas.
Ekadasam
manojneyam svaguneno bhyatmakam,
Yasmin
jithe jitawetau bhavatah pancakau gunau
Artinya
:
Alat
yang kesebelas adalah pikiran, alat bagian yang paling dalam karena sifat kedua
kelompok alat itu merupakan bagian dari padanya kalau masing-masing dari kelima
jenis alat itu tetap ditundukkan.
Indriya yang kesebelas adalah manah
atau pikiran, yang mengendalikan kesepuluh indriya tadi, oleh karena itu
indriya disebut rajanya indriya (rajendriya).
14.2. Pengendalian indriya menurut Upanisad
Indriya menghubungkan pikiran dengan dunia ini.
Sentuhan dengan dunia ini menimbulkan bermacam-macam fenomena kejiwaan dan
bermacam-macam peristiwa perbuatan manusia. Dunia ini demikian menariknya,
demikian indahnya sehingga pikiran manusia dininabobokkan melalui indriyanya.
Karena terikat oleh dunia fana ini, menyebabkan dia lupa pada hakekat
kemanusiaannya. Maka itulah indriya harus dikendalikan agar tidak dikuasai oleh
dunia ini, namun sebaliknya kitalah yang harus menguasai dunia ini.
Dalam
Katha Upanisad, kita dapatkan suatu variabel kereta dan kuda sebagai badan dan
indriya dan pengendaliannya.
Atmanam rathinem
vidhi,
Sariram
rathamtu,
Budhim
tu saradem vidhi,
Manah
pragraham eva ca. (Katha
Upanisad I.3)
Artinya :
Ketahuilah
bahwa sang pribadi adalah tuannya kreta, badan adalah kreta. Ketahuliah bahwa
kebijaksanaan itu adalah kusir, dan pikiran adalah tali kekangnya.
Indriyani
haya ahur visayams
Tesu
gocaran, atmanendrya
Mano
yuktam, bhoktety ahur
Mamisinah (Katha Upanisad I.4)
Artinya
:
Indriya,
mereka menyebut, adalah kuda, sasaran indriya adalah jalan. Sang oribadi
duhubungkan dengan badan, indriya dan pikiran, ialah yang menikmati.
Demikianlah orang pandai menerangkannya.
Yas
to avijnanavan bhavaty,
Ayuktena
manasa sada,
Tasyendriyany
avasyani
Dustava
iva saratheh. (Katha
Upanisad I.5)
Artinya
:
Dia
yang tidak memiliki kesadaran, yang pikirannya tidak terkendali, yang
indriyanya tidak dapat diawasi, semua itu adalah laksana kuda-kuda banal bagi
si kusir.
Yas tu vijnanavan
bhavanti
Yuktena
manasa sada
Tasyendriyani
vasyani
sadasva
iva saratheh
(Katha
Upanisad 1.6)
Artinya:
Dia yang memiliki kesadaran, Yang
pikirannya selalu terkendali, Yang indriyanya selalu dapat dikuasai, Semua itu
laksana kuda-kuda yang bagus untuk si kusir
Yas tu avijnanavan bhavaty
amanskas sada sucih
na sa tat padam apnoti
samsaram cadhigacchati
(Katha
Upanisad 1.7)
Artinya:
Dia yang tidak memiliki kesadaran, Yang
tidak kuasa atas pikirannya yang tidak suci, Ia tidak akan sampai pada tujuan
hidupnya, bahkan akan kembali kepada kesengsaraan.
Yas tu vijnanavan bhavaty
samanaskas sada sucih
sat u tat padam apnoti
yasmat bhuyo na jayate
(Katha
Upanisad 1.8)
Artinya:
Ia yang memiliki kesadaran, yang kuasa
atas pikirannya yang senantiasa suci bersih, akan mencapai tujuan hidupnya
dan karena itu ia tidak akan dilahirkan
ke dunia ini lagi.
Vijnana sarathir yastu manah
Pragrahavan na rah,
Sodhvanah param apnoti
Tad visnoh paramam padam
(Katha
Upanisad 1.9)
Artinya:
Ia yang
memiliki kesadaran akan kusir kereta itu dan mengendalikan tali kekang pikiran,
ia mencapai akhir dari perjalanan itu yaitu alam tertinggi, alamnya ia yang
meresapi segala.
Kutipan-kutipan tadi menekankan pengendalian indriya itu yang diumpamakan
sebagai kuda. Bila indriya itu dapat dikendalikan, maka ia dapat menjadi
kuda-kuda yang bagus yang mengantar penunggangnya sampai ke tempat tujuannya.
Namun jika sebaliknya, maka indriya itu diibaratkan kuda binal yang mengantar
penunggangnya jatuh kepada kesengsaraan. Dengan demikian jelaslah bahwa
pengendalian terhadap indriya itu serta menguasai atas geraknya pikiran akan
membawa manusia pada keselamatan di dunia dan akhirat kelak.
14.3. Pengendalian
Indriya dalam Sarasamuccaya
Dengan mengendalikan indriya, maka
keinginan yang muncul darinya dapat diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat guna
tercapainya kebahagiaan lahir batin. Indriya itu sendiri adalah jalan menuju
sorga dan sekaligus jalan menuju neraka. Karena itu indriya merupakan sumber
kebahagiaan dan juga sumber derita. Bila indriya itu dapat dikendalikan maka
kita akan memperoleh kebahagiaan dan sorga pahalanya, tapi sebaliknya bila
indriya itu tidak dapat dikendalikan dan membabi buta maka seseorang akan
terseret ke lembah derita dan nerakalah pahalanya. Hal ini ditegaskan dalam
kitab Sarasamuccaya Sloka 71,
sebagai berikut:
Indriyãnyeva
tat sarvam
Yat svarganarakãvubhau,
Nigŗhitanissrstãni svargaya narakãya ca.
Artinya:
Yang
diajarkan lagi, sesungguhnya (panca) indriya itu dianggap surga (dan) naraka,
hakikatnya, kalau dapat mengendalikannya, itulah yang disebut laksana surga,
apabila tidak sanggup mengendalikannya itulah laksana neraka.
Manah
(pikiran) sebagai rajanya indriya mempengaruhi Panca Buddhindriya (mata,
telinga, hidung, lidah, dan kulit) dan Panca Karmendriya (tangan, kaki, perut,
kemaluan, dubur). Misalnya mata memandang sesuatu yang menggiurkan nafsu, maka
melalui caksu indriya mempengaruhi alam pikiran, dan dari pkiran ini
dipertimbangkan, apakah yang dilihat tadi ada hasrat (keinginan) untuk
memilikinya. Jika pertimbangan alam pikiran kalang kabut, maka akan timbul
usaha-usaha tercela untuk mendapatkannya. Namun bila alam pikiran itu sehat, maka
usaha-usaha untuk mendapatkannya ditempuh dengan cara-cara yang baik. Dengan
demikian semua tuntutan indriya haruslah disaring terlebih dahulu melalui manah
dan hasilnya lalu dipertimbangkan baik-baik. Ia harus dikendalikan agar dapat
membawa manfaat dalam hidup ini dan sekaligus dapat terhindar dari berbagai
macam mala petaka.
Oleh karena nafsu atau keinginan itu
muncul dari indriya, maka indriya tersebut patut dikendalikan agar ia dapat
mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan bebas dari segala kesengsaraan.
Mengendalikan indriya tidak berarti bahwa kita harus membunuh
indriya itu sendiri, tetapi kita
jangan sampai dapat diperbudak
olehnya, melainkan manusialah yang harus
dapat menguasai indriya itu. Tanpa nafsu atau keinginan atau juga tanpa
indriya, manisia tidak bisa hidup. Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) telah
menganugrahkan nafsu atau keinginan dan juga indriya adalah justru untuk
kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan demikian dalam hidupnya manusia harus
selalu mengendalikan diri dengan selalu mengarahkan nafsu-nafsu indriyanya
kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Awanita, Made BA
cs. 1992. Sila dan Etika Hindu, Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha
Departemen Agama RI.
Efendy, Eddy
Fauzi, 2008. Hand Out Filsafat Ilmu, Jakarta: Universitas Negeri
Jakarta.
Kajeng, dkk.
1976, Sarasamuccaya, Jakarta: Dirjen Bimas Hindu Departemen Agama RI.
Mantra, Ida
Bagus, 1989, Tata Susila Hindu Dharma, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi
Pendit,
Nyoman S. 1967, Bhagavadgita,
Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
Puja, I Gde dan
Tjok Rai Sudharta, 1997, Manawa Dharma Sastra, Jakarta: Dirjen Bimas
Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
Putra, I.G.A.H.
dan Wayan Sadya, 1988, Wrhaspati Tattwa, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi
Sura, I Gede,
1970, Sila dan Etika Hindu, Denpasar: Upada Sastra
Titib I Made,
2003, Menumbuhkembangkan Pendidikan
Budhi Pekerti Anak (Perspektif Agama Hindu), Jakarta,
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar