SRADDHA - KEIMANAN
Pengantar
Pada dasarnya pembangunan manusia adalah pembangunan seutuhnya yaitu pembangunan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah. Untuk pembangunan jasmaniah, manusia memerlukan makanan, minuman, sex, istirahat, tidur, olah raga dan sebagainya. Sedangkan untuk pembangunan rohaniah manusia memerlukan kasih sayang, cinta, penghargaan, perlindungan, ketenangan, kedamaian, agama dan sebagainya.
Dalam fungsinya sebagai manusia sosial (homo sapien) manusia dapat mengadakan aktivitas sosial, tolong menolong, maupun mengembangkan organisasi sosial, seperti arisan, perkumpulan olah raga dan paguyuban lainnya. Manusia satu dan lainnya dapat memenuhi kehidupan sosialnya. Kesedihan dan kesusahan biasanya dapat dibantu dalam kehidupan bermasyarakat, namun mungkin dan akan terjadi bahwa pada suatu waktu kesedihan itu sangat sulit untuk diatasi. Karena itu, manusia akhirnya mencari perlindungan dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada yang paling berkuasa yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Dari perkembangan pengalaman kejiwaan (rohaniah) ini, orang itu lalu menjadi manusia yang religius. Setiap insan yang merasakan kemaha kuasaan, kemaha cintaan, kasih sayang yang luar biasa, menjadi sadar bahwa ia memerlukan agama. Mengingat agama yang dianutnya itu merupakan tuntunan dan pedoman di dalam mengarungi hidup menuju ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan, maka satu dasar yang sangat perlu diletakkan, ialah percaya, yakin atau sraddha kepada yang maha kuasa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) khususnya bagi umat yang menamakan dan merasakan dirinya sebagai umat Hindu Dharma. Sraddha kepada Hyang Widhi sangat penting artinya, karena beliau sangat abstrak, tidak dapat dilihat dengan mata, tidak dapat dijamah dengan tangan dan tak terasakan oleh kulit. Karena itu penyerahan diri secara total dan percaya (sraddha) sepenuhnya merupakan syarat mutlak, bagi beliau yang memang mutlak (absolut).
Alangkah bahayanya bagi mereka yang tidak percaya pada-Nya. Akibatnya manusia itu akan menjadi sombong, tidak berterima kasih dan sebagainya, seolah-olah ia telah menguasai seisi dunia ini, karena mungkin dia seorang pemimpin yang berkuasa, kaya raya dan di lingkungi oleh segala macam kemewahan. Untuk mengingatkan anda, siapapun anda dan termasuk diri sendiri (kami) marilah kita menyadari dan sraddha kepada Sang Hyang Widhi, sebelum bencana dan kesengsaraan menimpa diri kita. Apa yang dimaksud dengan sraddha secara lebih luas dan mendalam, mari kita ikuti pembahasan di bawah ini.
Tujuan Agama Hindu dan Aspek Pengembangannya
Bertitik tolak dari tujuan agama Hindu (Hindu Dharma) yaitu moksartham jagadhita (untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin, jasmaniah dan rohaniah), maka ada 2 (dua) aspek yang memerlukan pengembangan :
1. Aspek materi
2. Aspek non materi
Aspek materi adalah aspek yang menyangkut kesejahteraan duniawi, sedangkan aspek non materi (moksa) adalah aspek yang berkaitan dengan keadaan mental atau rohani. Dengan moksa dimaksudkan bahwa pikiran seseorang tidak lagi terikat oleh adanya keinginan-keinginan, rasa takut, benci, iri hati, tidak puas dan sebagainya. Untuk mencapai tujuan pengembangan dari kedua aspek tersebut di atas, diperlukan usaha atau upaya. Secara kongrit dapat dikatakan bahwa seseorang harus berkarya atau berkarma. Selain itu patut digaris bawahi bahwa karma itu perlu diyakini akan adanya pahala itu. Keyakinan inilah yang disebut kepercayaan atau sraddha.
Proses Keimanan (Sraddha)
Dari proses pertumbuhan keimanan ada beberapa cara untuk memperolehnya (disebut pramana) yakni :
- Pratyaksa Pramana Proses ini terjadi setelah orang itu melihat langsung, baru timbul kepercayaannya.
- Anumana Pramana Proses ini terjadi setelah orang itu menghubungkan logika dengan adanya suatu kejadian, contoh : kalau orang melihat asap, dia percaya disana ada api.
- Sabda / Agama Pramana Proses ini terjadi karena adanya petunjuk berupa sabda (wahyu) atau kata-kata orang suci yang memang patut dipercaya. Weda yang menjadi faktor penting dalam agama Hindu, jelas menjadi suatu unsur yang mempercepat adanya proses kepercayaan itu. Karena itu, cara memperoleh kesimpulan tentang kebenaran yang bersumber dari Weda (agama) disebut agama pramana.
Di dalam ilmu agama sabda atau agama pramana ini menjadi faktor yang paling penting, karena masalah rohani tidak saja mencakup aspek realita tetapi juga menyangkut aspek idiil atau abstrak. Agama tidak lagi agama kalau tidak mencakup masalah percaya dan kepercayaan (Gde Pudja : 8).
Jiwa dari agama adalah kepercayaan. Kita harus menerima kebenaran itu sebagai kebenaran, inilah namanya keimanan (sraddha). Keimanan ini sangat luas dan dikembangkan terus sepanjang zaman. Keimanan merupakan ciri khas dari suatu agama dan agama diwarnai oleh sistem keimanan itu sendiri. Keimanan itu dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu keimanan yang bersifat pokok dan keimanan yang bersifat tambahan sebagai akibat pengembangan agama itu. Pengembangan keimanan itu mempunyai konsekwensi berkembangnya dan meluasnya isi keimanan disesuaikan menurut adat dan tradisi tempat setempat. Pokok-pokok keimanan inilah yang diuraikan di bawah ini.
Sraddha yang merupakan kepercayaan yang tulus ikhlas yang kemudian dikenal sebagai sumber yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan pokok-pokok kepercayaan dari agama Hindu dirumuskan dalam Atharwa Weda XII . 1.1., sebagai berikut :
Satyam brhad rtam ugram diksa
Tapo brahma yajna prthiwim dharayanti
Artinya :
Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga dunia.
Dengan ayat itu dijelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma dan Yajna. Dharayanti artinya menyangga dan dijelaskan pula bahwa alam semesta ini disangga oleh dharma. Adapun dharma yang menyangga dunia ini terdiri dari Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma dan Yajna itu, sehingga dengan demikian keenam unsur itu merupakan unsur dharma yang memelihara kehidupan ini.
Kemudian dikatakan (Gde Pudja : 10) dari analogi itu dapat dikemukakan bahwa keenam unsur itu merupakan kerangka isi dharma (Agama Hindu). Menurut Dr. A.C. Bose di dalam bukunya yang berjudul The Call of The Vedas mengemukakan bahwa dengan keenam pokok ajaran itu dharma diberi bentuk dan didefinisikan, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa batasan-batasan pengertian keenam hal itulah yang dianggap sebagai penyangga dunia. Sraddha adalah keimanan atau kepercayaan yang tulus yang menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada diri manusia. Di dalam pengulasan ajaran kepercayaan kepada Tuhan (yang merupakan pokok-pokok ajaran kefilsafatan Hindu), dalam upaya menjelaskan sistem kepercayaan kepada Tuhan itu, dikembangkan pula ajaran Panca Sraddha. Di dalam buku IB. Oka Punyatmaja yang berjudul “Panca Sraddha” dijelaskan tentang adanya 5 (lima) pokok ajaran yang menjadi inti ajaran kepercayaan Hindu, yaitu :
1. Brahma (Widhi) tattwa (Tattwa adalah ajaran kefilsafatan tentang hakekat hal itu).
2. Atma tattwa
3. Karma phala tattwa
4. Punarbhawa tattwa
5. Moksa tattwa
Kelima unsur ajaran itu juga disebut sraddha. Sraddha ini pada dasarnya merupakan pokok-pokok kepercayaan yang diyakini sebagai jalan untuk menuju keselamatan. Karena itu, kelima sraddha ini akan dibahas pada kesempatan berikutnya, sesuai dengan urutan daripada naskah ini.
Fungsi Sraddha
Bagi umat Hindu, Sraddha mempunyai fungsi dan kedudukan yang khas dalam sistem ajaran keagamaan Hindu itu. Ada beberapa fungsi yang patut diketahui, yaitu :
- Sraddha sebagai kerangka “Dharma”, merupakan kerangka bentuk isi daripada agama Hindu. Umpama anda melihat sebuah perumahan agama Hindu, maka kerangkanya adalah sraddha itu. Karena itu dapat dikatakan bahwa sraddha itu merupakan wujud bentuk lahir daripada agama Hindu itu, dan sekaligus sebagai penyangga dari bangunan rumah itu.
- Sraddha sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju kepada Tuhan. Pengertian ini dijelaskan dalam Yayur Weda XIX : 30 dan 77 yang mengatakan : SRADDHA SATYAM APYATI (Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan). SRADDHAM SATYE PRAJAPATIH (Tuhan menetapkan dengan sraddha menuju kepada satya). Dalam uraian lainnya dapat juga kita jumpai ketentuan, sebagai berikut :
WRATENA DIKSAM APNOTI
DIKSA YAPNOTI DAKSINAM
DAKSINAM SRADDHAM APNOTI
SRADDHAYA SATYAM APYATE
Dari uraian di atas jelas bahwa sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam agama Hindu. Dengan berpedoman pada sraddha itu berbagai dasar pengertian keagamaan agama Hindu akan dapat dijelaskan. Karena itu, sraddha (yang merupakan kerangka dasar membentuk berbagai ajaran dalam agama Hindu) perlu diyakini dan dihayati dengan sebaik-baiknya.
Sebelum menjelaskan tentang panca sraddha, mari diperhatikan uraian tentang sraddha yang enam itu (yang dikatakan sebagai penyangga dari dunia ini) yaitu :
1. Satya
2. Rta atau dharma
3. Diksa (Penyucian)
4. Tapa (Pengendalian Indria)
5. Brahma atau pujian
6. Yadnya
a.d. 1/6 : Satya dan lain-lainya, baca kutipan buku Bapak Gde Pudja, MA., SH., yang berjudul Sraddha (Pokok-pokok Keimanan Agama Hindu), halaman 18 sampai dengan 36.
Adapun penjelasan tentang panca sraddha yaitu :
1. Widhi tattwa
2. Atma tattwa
3. Karmapala tattwa
4. Punarbawa tattwa
5. Moksa
Dapat dibaca buku IB. Oka Punyatmaja yang berjudul Panca Sraddha, halaman 32 sampai dengan 88 dan buku Pengantar Tattwa Darsana (filsafat) oleh team koordinator Gde Sura, BA., halaman 50 sampai dengan 111.
Demikianlah sekelumit tentang sraddha dan aspek-aspeknya. Sebagai calon sarjana Agama Hindu anda masih diperlukan untuk membaca buku-buku referensi lainnya yang ada kaitannya dengan studi anda. Ilmu pengetahuan tidak ubahnya seperti lautan luas yang siap untuk menerima explorasi anda terhadap hal-hal yang lebih mendalam. Semoga anda sukses !!
S A T Y A
Salah satu unsur dalam keimanan yang merupakan landasan ajaran Agama Hindu menurut Atharwa Weda XII,1.1., adalah ajaran mengenai SATYA. Kata satya dalam bahasa Sanskerta itu dipergunakan dalam banyak hubungan karena kata itu dapat berarti macam-macam. Adapun arti kata satya itu antara lain, ialah:
- Satya yang berarti kebenaran, yaitu merupakan sifat hakekat dari pada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kata itu diartikan sama sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata ini pula diartikan sama pula dengan kata dewa, yaitu aspek sifat Tuhan atau wujud kekuasaan Tuhan yang bersifat khusus, atau juga sama dengan Malaekat.
- Satya yang berarti kesetiaan atau kejujuran. Kata ini biasanya dirangkaikan dengan kata wak atau wacana yang berarti kata-kata. Satya wacana berarti setia pada kata-kata, atau segala apa yang dikatakan akan dilakukan sesuai menurut janji itu.
- Satya dapat berarti kebenaran dalam arti relatip.
Kalau kita perhatikan ayat mantra dalam Atharwaweda dalam uraian terdahulu (Atharwa Weda XII,1.1.), kata SATYA diartikan sama dengan kebenaran (TRUTH) yang diartikan sama dengan ajaran mengenai kepercayaan kepada ke Tuhanan. Di dalam mantra RG. WEDA VIII, 62.12, kata SATYA dipersamakan dengan Ke Tuhanan dengan mengatakan bahwa SATYA adalah sifat dari pada Tuhan. Satya juga merupakan sifat dari pada DEWA. Di dalam agama Sikh, yang mengambil bagian dari-pada ajaran agama Hindu, Guru Nanak di dalam ajarannya yang dibukukan di dalam kitab JAPJI, mengatakan, “Eka OM Sat Nama,” yang artinya sesungguhnya Om yang satu itu Satya namanya. Seperti kita ketahui, kata OM adalah simbul Ke Tuhanan dalam agama Hindu yang sering diterjemahkan pula dengan kata Tuhan.
Dari uraian di atas, maka SATYA adalah dimaksudkan sama dengan ajaran Ke Tuhanan. Dengan ajaran satya tattwa itu, ini berarti, bahwa salah satu aspek dalam ajaran agama Hindu adalah mengajarkan ajaran ber Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Mengenai penjelasan ajaran Ke Tuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran agama Hindu, akan diuraikan dalam buku tersendiri, Pengantar Agama Hindu V.
Kata Satya dalam arti Ke Tuhanan dipergunakan sebagai sifat, yang lazimnya dipergunakan dengan kata SAT yang artinya sama dengan ZHAT atau sering diterjemahkan dengan kata Yang Maha Ada, sebagai hakekat sifat benar dari pada Tuhan yang bersifat mutlak atau absolut. Kata SAT inilah yang sering kita jumpai dalam banyak sukta dari pada mantra-mantra dalam Rg. Weda dan Upanisada.
Dalam penggunaan kata itu sehari-hari yang dihubungkan dengan arti sifat-sifat dari pada Tuhan, misalnya kata-kata OM TAT SAT, yang artinya OM itu adalah SATYA. Juga kita sering jumpai kata-kata Sat Cit Ananda yang artinya bahwa Tuhan bersifat Satya, Tuhan bersifat Citta (pikir) dan Tuhan bersifat Ananda (bahagia). Jadi sifat-sifat itu merupakan pengganti nama yang menyebutkan salah satu aspek sifat-sifatnya yang mutlak. Demikian pula dalam mantra lainnya yang mengatakan Ekam Sat wipra bahuda wadanti. .......... dan seterusnya yang diterjemahkan, sesungguhnya satulah Tuhan itu tetapi orang arif bijaksana menamakannya macam-macam (banyak nama). Dapat pula diartikan, sesungguhnya satulah kebenaran itu tetapi orang arif bijaksana menyebutkan banyak nama. Jadi kata sat yang diterjemahkan dengan kata kebenaran sebenarnya adalah terjemahan dari kata Sat atau Satya, yang artinya sama dengan Ke Tuhanan. Yang penting dari kata itu ialah bahwa Ekam Sat itu maksudnya menunjuk pada ajaran bahwa Tuhan itu Satu. Inilah yang menyebabkan mengapa kita harus mengartikannya kata Satya atau Sat sebagai istilah pengertian Ke Tuhanan, yaitu salah satu pengganti nama yang menunjuk pada sifat dari pada Tuhan.
Dengan pengertian ini, maka ajaran Satya tattwa itu yang merupakan pokok pertama dari ajaran sraddha menurut kitab Atharwa Weda harus diartikan sama dengan ajaran Widhi Tattwa atau Brahma Tattwa dalam ajaran Panca Sraddha. Adapun penggunaan Widdhi atau Brahma adalah merupakan perkembangan kemudian, yang mulai populer dipergunakan setelah kata Sat itu diinterpretasikan secara meluas di berbagai kitab-kitab Upanisad. Di samping itu, karena masalah Satya juga menyangkut pengertian dewa secara relatip, sebagaimana kita jumpai dalam Rg. Weda VIII, 57-2, maka ajaran Atma Tattwa yang merupakan bagian dari pada Panca Sraddha, itu adalah merupakan ajaran pengembangan dari pada ajaran Satya itu pula. Baik Atma Tattwa maupun Widdhi Tattwa adalah ajaran Satya. Ajaran inilah yang merupakan dasar dari pada pokok keimanan yang dianggap paling penting di dalam agama Hindu dan yang paling luas dibahas.
Penggunaan kata Satya dalam arti bahasa sehari-hari dengan pengertian kebenaran atau kejujuran adalah dalam pengertian biasa menurut arti kata itu sendiri. Satya dijadikan dasar ajaran yang merupakan landasan untuk pengembangan sikap mental dan jalan pikiran dalam agama Hindu. Dengan kata Satya dimaksudkan agar setiap orang berlaku jujur dan selalu setia pada kata-kata. Sifat jujur, benar dan setia pada kata-kata adalah merupakan sifat terpuji karena sifat itu pula yang menjadi milik sifat Tuhan. Orang yang memiliki sifat satya itu dikatakan dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan atau dengan kata lain mereka itulah yang berjalan di jalan Tuhan. Setiap perbuatan, setiap kata-kata, setiap pikiran, hendaknya harus dilandasi dengan dasar satya, atau berdasarkan iman pada Tuhan. Inilah pokok pengertian Satya yang dapat kita jumpai di dalam Weda sebagai salah satu sendi keimanan dalam agama Hindu.
RTA atau DHARMA
Salah satu dari unsur keimanan dalam agama Hindu setelah percaya akan adanya Tuhan (SATYA, SAT) adalah kepercayaan akan adanya hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Hukum itu semacam sifat dari kekuasaan Tuhan yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat dilihat dan dialami oleh manusia.
Bentuk hukum Tuhan yang murni disebutkan RTA (baca : RITA) atau RETA. Bentuk hukum yang disebut RTA itu adalah hukum murni yang bersifat absolut transcendental. Bentuk hukumnya yang dijabarkan ke dalam amalan manusiawi disebut DHARMA. Hukum agama yang disebut DHARMA (DHARMAN) ini bersifat relatip karena selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia dan karena itu dharma bersifat mengatur tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan di dalam hidup.
Di dalam terjemahannya, istilah RTA sering diartikan ORDE atau HUKUM, tetapi dalam arti yang kekal atau tidak pernah berubah. Di dalam Kitab Weda dinyatakan bahwa mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini, kemudian Ia ciptakan hukumnya yang mengatur hubungan antar partikel yang diciptakannya itu. Sekali Ia tentukan hukumnya itu, untuk selanjutnya demikianlah jalannya hukum itu selama-lamanya. Tuhan sebagai pencipta hukumnya dan Tuhan sebagai pengendali atas hukumnya itu. Karena itu ia disebutkan RITAWAN.
Dalam perkembangan sastra Sanskerta, istilah Rita kemudian diartikan sama dengan WIDHI yang artinya sama dengan aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dari kata itulah kemudian lahirnya istilah Sang Hyang Widhi, yang artinya sama dengan penguasa atas hukumnya atau LORD OF LAW, atau GUARDIAN OF LAW.
Di dalam ilmu sosial konsepsi istilah hukum itu kemudian berkembang dalam bentuk dua istilah, yaitu hukum alam dan hukum bangsa. Hukum alam inilah yang disebut dengan RTA sedangkan hukum bangsa atau kelompok manusiawi disebut DHARMA yang bentuknya berbeda-beda menurut tempat setempat. Karena itu istilah dharma sebagai hukum tidak sama bentuknya di semua tempat, melainkan dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan setempat.
Adapun ajaran Orde Abadi (Rta) dalam sejarah pertumbuhan agama Hindu itu berkembang sebagai landasan idiil mengenai bentuk-bentuk hukum yang ingin diterapkan dalam pengaturan masyarakat di dunia ini yang kemudian dikenal dengan ajaran dharma. Di dalam pengembangan ajaran dharma itu, dharma dianggap bersumber pada Weda, Smriti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Sedangkan Rta berkembang menjadi bentuk kepercayaan akan adanya nasib yang ditentukan oleh Tuhan.
Ajaran Rta dan Dharma yang menjadi landasan ajaran karma dan phala karma. Rta inilah yang mengatur akibat dari pada tingkah laku manusia sebagai satu kekuatan yang tak tampak oleh manusia. Ia hanya dapat dilihat berdasarkan keyakinan akan adanya kebenaran. Dengan keyakinan atas kebenaran itu Rta dapat dihayati sehingga dengan penghayatan itu akan terciptalah keyakinan akan adanya Rta dan dharma sebagai salah satu unsur dalam keyakinan agama Hindu.
Rta dan dharma mencakup pengertian yang luas, meliputi pengertian orde abadi, sebagai ajaran kesusilaan, mengandung ajaran aestetika dan mencakup pengertian hukum sosial. Karena itu Rta selalu menjadi dasar pemikiran yang idiil dan yang selalu diharapkan akan dapat diwujudkan di dunia ini.
DIKSA (PENYUCIAN)
Pengertian umum
Diksa berarti pensucian atau penyucian, pentasbihan atau inisiasi. Di dalam kitab Atharwa Weda XII,1.1, diksa dianggap merupakan salah satu dari pada sraddha. Sebagai unsur dalam pokok keimanan, diksa, tapa dan yadnya, dianggap merupakan satu rangkaian pengertian yang arti dan fungsinya sama sebagai alat untuk sampai pada kesucian. Oleh karena itu di dalam kitab Yajur Weda XX.25 dinyatakan :
Dengan melakukan brata seseroang memperoleh Diksa, Dengan melakukan Diksa, seseorang memperoleh daksina, Dengan daksina seseorang memperoleh sraddha dan Dengan Sraddha seseorang memperoleh SATYA.
Dari penjelasan itu, Diksa adalah dapat dilakukan melalui brata. Dengan Brata itulah seseorang itu didiksa. Dengan telah didiksa ia menjadi seseorang DIKSITA yang berwenang untuk melakukan upacara, yaitu ngeloka palasraya. Dengan wewenang untuk melakukan ngeloka palasraya itu, seorang diksita berhak menerima daksina. Oleh karena itu maka dinyatakan dengan diksa itu seseorang berhak memperoleh daksina.
Dr. A.C. Bose di dalam kitabnya, The Call of the Vedas mengemukakan bahwa diksa bukan sekadar merupakan inisiasi formil. Di dalamnya terkandung satu ajaran yang mendalam mengenai sifat hubungan bathin antara guru dengan siswanya pada waktu hendak menerima ajaran Weda untuk melanjutkan tugasnya dalam mengajarkan Weda itu kepada umat manusia.
Diksa adalah cara untuk melewati dari satu fase kehidupan kepada fase kehidupan yang baru, dari fase yang belum sempurna ke dalam dunia yang lebih sempurna. Dengan diksa itulah seseorang itu akan dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan karena dengan melalui diksa itu ia akan dapat mempelajari sifat Tuhan itu.
Fungsi dan Tujuan Diksa
Di dalam Atharwa Weda XII,1.1. diksa adalalh merupakan unsur dari pada sraddha. Fungsinya adalah sebagai dasar keimanan yang harus diyakini kebenarannya. Dengan keyakinan akan kebenaran diksa itu, seseorang akan dapat memulai mempelajari ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Weda dan dapat pula mengajarkannya. Jadi diksa berfungsi sebagai lembaga inisiasi yang bersifat formil. Dengan pengertian ini seseorang yang belum didiksa tidak diperbolehkan untuk mempelajari Weda dan dengan demikian pula ia tidak dibenarkan pula untuk mengajarkannya. Oleh karena itu untuk dapat mempelajarinya dan dapat mengajarkannya, seseorang harus disucikan atau diinisiasi. Upacara ini yang disebut diksa. Semacam diksa adalah upacara mewinten.
Dari pengertian itu maka diksa tujuannya adalah untuk menyucikan diri seseorang secara lahir dan bathin sehingga dengan upacara diksa itu ia akan dapat melakukan tugas ngeloka palasraya dan mengajarkan Weda serta belajar Weda. Dengan inisiasi itu seseorang dibedakan antara yang belum dan yang sudah berdwijati. Inilah tujuan diksa dan fungsi Diksa dalam sistim keimanan Hindu.
Pelembagaan ajaran diksa ini telah menjadikan pelaksanaan ajaran agama itu menjadi formil yang kemudian dibatasi penggunaannya hanya dilakukan bagi seseorang yang ingin ditasbihkan menjadi pendeta atau brahmana atau pedanda. Sebelum lembaga diksa ini dijadikan sebagai alat pengendalian yang bersifat formil, istilah diksa dipergunakan secara umum, sehingga setiap upacara transisi dari satu fase kehidupan ke dalam fase yang baru disebut diksa pula. Hanya kemudian penggunaan ini dibedakan dari diksa dengan sakramen yang disebut samskara. Oleh karena itu fungsi dan tujuan diksa berkembang secara khusus, yaitu hanya untuk acara dalam pentasbihan pendeta. Sebelum diadakan diksa orang belum dipanggil pendeta atau pedanda.
TAPA (PENGENDALIAN INDRIA)
Pengertian umum
Tapa adalah merupakan unsur keimanan yang kelima dalam urut-urutannya menurut ketentuan Atharwa Weda XII,1.1. Kata tapa mempunyai arti penguasaan atas nafsu atau melakukan hidup suci. Untuk dapat hidup baik atau suci, seseorang harus dapat menguasai dirinya sendiri. Penguasaan atas diri sendiri adalah penguasaan atas panca Indria dan pikiran (manah). Keenam jenis alat-alat itu harus dikendalikan dengan baik karena keenam jenis alat itu mampu akan menjatuhkan manusia dan menimbulkan penderitaan yang tiada taranya. Karena itu pengendalian atas keenam itu disamakan seperti pengendalian atas musuh (ripu) yang dianggap mampu mencelakakan diri orang itu.
Dasar dari pada kehidupan beragama adalah bertujuan untuk peningkatan moral. Di dalam kitab Yajurweda XIX.30 dinyatakan bahwa kesucian (diksa) diperoleh karena melakukan pengendalian indria (brata). Adapun yang dimaksud dengan brata adalah merupakan bentuk dari pada tapa. Di dalam kitab Dharmasastra dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan dosa atau mereka yang sadar bahwa mereka berdosa, berkewajiban untuk selalu membersihkan diri. Membersihkan diri disebut wisuddha atau melakukan parisuddha dengan melakukan tapa atau brata. Jadi kata tapa mempunyai arti luas menurut penggunaannya.
Tapi juga merupakan ajaran kesadaran untuk menghukum diri atas kesalahan yang dilakukan baik yang disengaja maupun perbuatan yang tidak disengaja. Jadi tapa juga berarti penghukuman untuk menebus dosa atau kesalahan yang telah dilakukan atau kerugian yang telah ditimbulkan karena perbuatan mereka sendiri.
Fungsi dan tujuan tapa
Di dalam Weda telah dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai kesadaran akan dosa. Hidup mereka tidak luput dari pada dosa. Dosa yang ditimbulkan oleh pikiran, dosa yang ditimbulkan oleh perkataan atau kata-kata yang diucapkan dan dosa yang timbul karena perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan secara disengaja maupun dengan tak disengaja. Semua itu mampu menimbulkan penderitaan yang menyiksa lahir dan bathin manusia.
Karena perbuatan yang dosa atau yang dirasakan berdosa itu menyebabkan timbulnya hambatan bagi mereka untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Semua tingkah laku yang dikerjakan, perkataan yang diucapkan dan pikiran yang dipikirkan yang dirasakan mereka itu salah menghambat mereka untuk dapat mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Tuhan yang Maha Suci hanya dapat didekati melalui kesucian. Untuk itu badan dan bathin manusia harus suci (suddha).
Untuk mensucikan lahir dan bathin itu perlu upaya yang harus dilakukan secara terus menerus. Upaya inilah yang dikenal dengan melakukan tapa atau melakukan prayascitta, atau melakukan brata yaitu pengendalian atas indria dan pikiran. Pikiran harus dikendalikan dan selalu diusahakan agar berpikir baik. Demikian pula kata-kata yang diucapkan harus selalu baik. Tidak yang menimbulkan orang tidak senang atau sakit hati karena kata-kata yang demikian dianggap tidak baik. Oleh karena itu pengendalian atas kata-kata adalah merupakan cara untuk mensucikan diri. Demikian pula mengenai tingkah laku suci, yaitu tingkah laku yang baik dan yang terkendalikan.
Tapa adalah semacam cara pengendalian yang dilakukan dengan keyakinan dan kesadaran. Bila dilakukan karena tidak disadari melainkan dipaksanakan oleh penguasa dalam negara, ini berarti penghukuman. Jadi penghukuman adalah semacam tapa yang dilaksanakan oleh negara untuk mengembalikan tingkah laku mereka supaya menjadi baik kembali, sesuai menurut hukumnya.
Adapun Prayascitta, Brata dan Parisuddha, ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama pula dengan tapa dan fungsinya pun sama dengan tapa. Hanya saja dalam banyak tulisan sering arti kata tapa itu diartikan secara khusus yaitu dengan mengartikan bahwa tapa adalah semacam perbuatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi untuk mensucikan jiwa raga. Dalam hal ini fungsinya sama saja. Tetapi di dalam kitab Mahabharata, Arjuna pergi melakukan tapa dilukiskan untuk memperoleh kekuatan atau untuk mendapatkan senjata yang diperlukan dalam memerangi lawannya. Ceritera itu pada dasarnya bersifat simbolis tetapi diartikan secara riil, sehingga kata tapa berobah artinya dan fungsinyapun akhirnya berobah pula.
Dari penguraian mengenai fungsi tapa itu, jelas tujuan tapa adalah untuk pensucian lahir dan bathin. Yang terpenting adalah mengusahakan agar supaya jiwa raga kita itu tetap suci sehingga dengan kesucian itu, seseorang akan mampu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Cara melakukan tapa
Tapa dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung maksud dari pada tapa itu dan besar kecilnya dosa yang akan disucikan. Ada yang melakukan tapa dengan cara berpuasa tidak makan dan tidak minum selama hari-hari tertentu, ada yang melakukan dengan cara tidak tidur selama waktu tertentu, ada yang melakukan secara mengurangi makan dan minum, ada yang melakukan secara menyiksa diri, dan bermacam-macam cara lainnya.
Yang terpenting bahwa di dalam melakukan itu bahwa pada dirinya ada niat dan ketetapan untuk dapat memperbaiki dirinya. Oleh karena itu, setiap orang akan memilih caranya sendiri-sendiri.
Dalam hal seseorang melakukan kesalahan besar, tapa berubah sifatnya menjadi hukuman yang menghukum dirinya. Penghukuman semacam itu dapat dilakukan karena kesadaran sendiri dan dapat pula dipaksakan oleh penguasa.
Pada jaman dahulu, hukuman mutilasi sebagai akibat melakukan perbuatan yang tergolong salah adalah biasa dilakukan. Tetapi dewasa ini bentuk-bentuk hukuman yang lebih ringan, misalnya dengan hukuman percobaan, hukuman kurungan, hukuman denda, dan sebagainya. Hukum yang paling berat adalah hukuman mati dan pembuangan (selong) seumur hidup.
Tapa harus dirasakan dengan kesadaran
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tapa mempunyai arti yang amat penting dalam pembentukan watak manusia dan untuk menyempurnakan sifat manusia supaya dapat lebih baik. Agama bertujuan untuk memperbaiki manusia supaya menjadi makhluk yang baik tingkah lakunya, baik kata-katanya dan baik pula pikirannya.
Tapa dijadikan dasar dalam pembentukan moral manusia dan harus diyakini kebenarannya. Oleh karena itu tapa merupakan bagian dari pada ajaran sradha (keimanan, kepercayaan) di dalam agama Hindu yang harus dipedomani dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian akan bertambah jelaslah kepada kita mengapa TAPA merupakan salah satu dari pada unsur sraddha dalam agama Hindu sebagai mana digariskan di dalam kitab Atharwa Weda XII.1.1. Inilah dasar pokok dari pada ajaran tapa yang dikembangkan dan diperluas pengertiannya dalam berbagai kitab agama Hindu.
BRAHMA ATAU PUJIAN
Pengertian umum
Pujian adalah semacam doa yang dalam sehari-harinya disebut mantra atau stuti. Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan pemujaan karena itu mantra itu juga dinamakan doa, tetapi sebagai alat doa itu adalah mantra. Kata lain yang sering dipergunakan yang sama artinya ialah stotra atau stawa. Jadi stawa atau stotra adalah ayat-ayat yang dipergunakan untuk melakukan pujian kepada Tuhan atau lainnya.
Di dalam kitab Atharwaweda XII,1.1 sebagai mana kita telah baca di atas, istilah yang sama artinya dengan kata doa atau mantra itu adalah “b r a h m a”. Sedangkan dalam ayat lain kita jumpai penggunaan istilah stuti untuk pujaan.
Adapun kata-kata yang telah disebutkan di atas itu, dalam penggunaan sehari-harinya sering kita jumpai dipertukarkan sehingga terjadilah kesalahan penggunaan dari pada kata-kata itu tanpa disadari. Dalam hal ini pemakai tidak dapat membedakan penggunaan antara stawa dan stuti di mana dengan kata stawa diartikan sama dengun pemujaan.
Kata stawa sebenarnya berarti pujian sedangkan kata stuti berarti melakukan pemujian. Dalam Upanisad terdapat kalimat “stunwanti devyai stawai”, yang artinya “memuja dengan lagu pujaan yang kudus.” Dari kalimat itu, kata stunwanti (stuti) adalah kata kerja, yaitu memuja sedangkan kata stawai (stawa) adalah kata benda, yaitu dengan lagu pujaan yang dipergunakan dalam pemujaan itu.
Dalam kehidupan beragama, unsur kepercayaan akan doa (brahma) merupakan bagian yang sangat penting sekali. Dalam setiap kejadian, doa selalu disampaikan untuk segala tujuan. Ini merupakan ciri khas dari tata kehidupan beragama. Tanpa percaya akan kedudukan dan penggunaan doa itu, maka tidaklah ada artinya doa itu. Oleh karena telah disadari bahwa doa itu penting, karena itu doa adalah merupakan bagian dari unsur keimanan dalam beragama menurut ajaran agama Hindu.
Pada mulanya istilah brahma berarti “pujian atau pemujaan,” tetapi dalam perkembangan selanjutnya istilah brahma itu berobah artinya dari yang semula dimaksudkan adalah ayat-ayat mantra yang dipergunakan dalam pemujaan menjadi gelar yang diberikan kepada yang dipuja, yaitu Tuhan yang disebut sebagai Brahma yang artinya “Lord of prayer”, yaitu Ia yang berkuasa atas sabda (pujian).
Fungsi dan tujuan doa
Telah dikemukakan bahwa doa adalah salah satu dari pada unsur keimanan dalam agama Hindu sebagaimana dijelaskan berdasarkan Atharwaweda, XII,1.1. Dengan fungsi kedudukan doa sebagai salah satu unsur sraddha dalam agama, menyebabkan kedudukan doa dalam agama sangat penting sekali artinya.
Fungsi lainnya dari pada doa tergantung pada tujuan dari pada penggunaan doa itu. Tujuan berdoa itu apa ? Banyak jawaban yang dapat diberikan mengenai tujuan berdoa itu. Seorang yang lagi susah, maka berdoa berarti bagi mereka sebagai permohonan untuk supaya Tuhan mau mendengarkan permintaan mereka, misalnya supaya beban deritanya dapat diringankan. Tetapi bagi mereka yang dalam keadaan biasa, doa bagi mereka adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Orang yang tengah melakukan upacara, doa mereka adalah memohon agar mereka dapat diberikan kesucian sehingga dengan demikian mereka dapat melakukan sembahyang mereka dengan sempurna. Permohonan kesucian ini diperlukan oleh mereka yang tengah melakukan upacara keagamaan itu karena di dalam Weda telah dinyatakan dengan tegas, bahwa Tuhan bersifat suci yang hanya dapat didekati oleh sifat-sifat yang suci pula. Karena itu dalam setiap upacara yang dilakukan terlebih dahulu diadakan upacara pensucian (prayascitta, atau melakukan pensuddhaan). OM SUDDHA MAM SWAHA atau OMKARA SUDDHA MAM SWAHA yang artinya “Tuhan sarwa sekalian alam jadikanlah hamba suci. Om atau Omkara adalah seruan kepada Tuhan sarwa sekalian alam.
Di samping itu orang yang tengah memperoleh rejeki atau kebahagiaan karena mendapatkan apa yang diharapkan, maka doa mereka adalah sebagai tanda terima kasih atas kebahagiaan yang diperolehnya. Demikian pula bagi mereka yang baru sembuh dari sakitnya, mereka akan menyampaikan doa yang isinya sebagai pernyataan terima kasih.
Telah menjadi kebiasaan, bahwa dalam setiap doa itu selalu dikemukakan sebagai pengharapan agar Tuhan selalu memberikan rakhmat kepada mereka. Dengan demikian maka kedudukan doa dapat dikatakan sangat luas. Fungsi dan tujuannya tidak selalu sama, tergantung dari mana kita melihatnya. Yang penting bahwa apapun fungsinya dan apapun juga tujuannya, bahwa doa itu mempunyai arti dalam kehidupan mereka yang iman. Karena itu dasarnya adalah keimanan atau percaya atas kebenaran isi dari pada doa itu.
Dengan adanya doa itu akan terlihatlah bagaimana hubungan manusia dengan yang disembahnya. Pentingnya unsur doa dalam kepercayaan agama Hindu karena didasarkan atas satu kepercayaan yang bersumber pada Weda pula, yang isinya antara lain :
- Tuhan adalah juru selamat dari pada umat manusia (Rg Weda VI, 47.ll) sehingga dengan demikian layaklah kalau manusia akan minta kepada Tuhan untuk memberi perlindungan dan menyelamatkan diri mereka dari segala mara bahaya.
- Tuhan yang harus didekati dengan penuh kesucian karena Tuhan bersifat suci (Yang Maha Suci) (Rg Weda IX, 73.6) sehingga dengan demikian untuk dapat diterima dalam pemujaan itu layaklah kalau sebelum melakukan pemujaan mereka memohon kesucian dengan menjauhkan dari segala godaan setan (Bhuta, Kala, dan sebagainya) yang beraneka jenis ragamnya yang menyebabkan kesesatan dan kekotoran.
- Manusia pada dasarnya mempunyai kesadaran selalu berdosa dan tidak sempurna (Yajur Weda 8.12) sehingga dengan demikian selalu akan timbul perasaan dalam diri manusia itu untuk memohon agar mereka disempurnakan dan dibersihkan dari semua dosa yang ada pada diri mereka, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun yang terjadi karena hal-hal yang tidak sengaja. Kesadaran yang dirasakan bahwa dirinya tidak sempurna, sehingga menjadi dasar bagi mereka untuk selalu memohon agar diberikan kesempurnaan.
Untuk jelasnya perhatikanlah baik-baik mantra berikut ini :
OM SRIYAM BHAWANTU
OM SUKHAM BHAWANTU
OM PURNAM BHAWANTU
Artinya :
OM, SEMOGA DIJADIKAN BAIK ADANYA,
OM, SEMOGA DIJADIKAN BAHAGIA ADANYA,
OM, SEMOGA DIJADIKAN SEMPURNA ADANYA.
Demikian pula dalam mantra berikut :
Om, sarwa wighna winasayantu,
sarwa klesa winasyantu,
sarwa dukkha winasanya,
sarwa papam winasaya,
namo namah swaha.
Artinya :
Om, semoga semua halangan musnah,
semua penderitaan musnah,
semua kesedihan musnah,
semua dosa musnah
sepala puji untukmu.
Cara pemujaan
Pemujaan atau melakukan doa dapat dilakukan oleh setiap orang, di mana saja, kapan saja, sendiri atau berjemaah (bersama). Di samping itu dikemukakan pula bahwa pemujaan atau doa dapat dilakukan tidak hanya dengan kata-kata atau dapat disampaikan dengan bahasa lain misalnya dengan menggunakan simbol atau alat-alat sebagai pengganti bahasa. Dengan demikian dibedakan :
- Doa dilakukan dengan cara pengucapan kata-kata, misalnya dengan pengucapan mantra-mantra atau japa-japa balk menurut bahasa yang terdapat dalam Weda maupun menurut bahasa dan kalimat yang disusun terlebih dahulu menurut tujuannya.
- Dengan mempergunakan sesajen atau alat-alat yang merupakan bahasa simbol.
- Dengan mempergunakan doa mantra dan simbol misalnya sesajen, yang juga disebut yadnya.
Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tampak yadnya memegang peranan penting sebagai salah satu cara dalam pemujaan, namun ditegaskan pula bahwa pemujaan dengan yadnya bukanlah merupakan satu-satunya cara karena di dalam Rg Weda IV,25 dinyatakan doa tanpa sesajen dapat pula dilakukan. Ini berarti dalam melakukan pemujaan, menurut agama Hindu tidaklah mutlak syarat sesajen itu. Setiap saat orang dapat memujanya. Di dalam Rg. Weda VIII.70 dinyatakan :
“Bukan karena karma ia sampai kepada-Nya,
Yang selalu aktip dan kekal ;
bukan karena yadnya seseorang akan sampai kepadaNya,
Ia yang patut dipuji oleh semua, Yang tak terkuasai,
Yang berani dan kuat.
Dari contoh-contoh itu, jelas kepada kita bahwa doa itu mempunyai kedudukan tersendiri dan amat penting sekali artinya bagi kehidupan manusia dalam mencari Tuhan yang selalu dipuja dan disanjung.
YADNYA
Pengertian umum
Salah satu bagian dan merupakan aspek terakhir dari unsur keimanan (sraddha) di dalam agama Hindu, Atharwa Weda XII,1.1 adalah mengenai yajna (baca : yadnya). Dalam pengertian populernya istilah ini dipersamakan dengan pengertian rituil. Kalau kita perhatikan secara lebih mendalam lagi, istilah yadnya mempunyai arti yang sangat luas karena dengan kata yadnya dapat pula diterjemahkan dengan kata kurban atau berkurban. Dengan pengertian ini istilahnya mengandung pengertian yang sangat luas.
Menurut etimologi, Yajna berasal dari bahasa Sanskerta, dengan urat kata “yaj”, yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata ini juga diartikan mempersembahkan ; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata itu timbul kata yajna (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh penghormatan) yajus (sacral, ritus agama) dan yajna (pemujaan, doa, persembahan), yang kesemuanya berarti sama dengan Brahma. Di dalam Rg Weda VII1,40,4 kata yaja berarti kurban atau pemujaan. Dari istilah Yajus yang juga bersumber dari urat kata yaj, timbul pula istilah yajur weda, yaitu himpunan weda mantra yang menguraikan mengenai pokok-pokok ajaran tentang beryadnya atau hubungan antara manusia dengan yang disembah.
Di samping itu, kata yajna juga dihubungkan pula dengan konsepsi penciptaan alam semesta ini. Yajna adalah semacam simbol bahasa yang mengandung pengertian sebagai satu proses kejadian. Di dalam Rg Weda X.92 (Nasadiya Sukta) mengemukakan bahwa penciptaan ini terjadi dari yajna. Yajna adalah satu proses, satu phenomena yang dinamis mengenai penciptaan alam semesta.
Adapun pengertian yajna yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, kata yadnya dimaksudkan sebagai upacara keagamaan yang sama artinya dengan samskara atau sangaskara. Terjemahan arti kata yadnya menjadi samskara kurang tepat karena kata samskara itu sendiri masih sangat kabur pengertiannya.
Di dalam berbagai terjemahan yang dilakukan, kata samskara diterjemahkan dengan kata ceremony di dalam bahasa Inggris, sedangkan di dalam bahasa Latin disebut caerimonia. Kalau kata “ceremony” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata itu berarti “upacara”, sehingga dengan demikian kata samskara berarti upacara pula.
Di samping istilah yajna yang diterjemahkan sebagai samskara, terdapat juga pengertian lain, di mana kata itu diterjemahkan atau diganti dengan istilah “karman”. Kata karman berarti upacara keagamaan yang di dalam bahasa Jawa Kuno ditulis “krama”, misalnya dipergunakan dalam penulisan Wedaparkrama.
Dari semua istilah itu, kata yajna mengandung pengertian yang lebih luas dari pada istilah lain-lainnya, tetapi penggunaannya tetap dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu yang diartikan sama dengan samskara. Kata samskara itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti yang luas pula. Dari berbagai terjemahan atas kata samskara itu, kata itu menurut beberapa penulis ada yang berarti melatih, mensucikan, membiasakan, menjadikannya sempurna, memberi bentuk, melengkapi, memperindah, membentuk, membudayakan, dan sebagainya. Kalau kita rumuskan dari berbagai terjemahan itu maka kata samskara adalah karman pula, yaitu semacam rituil yang bertujuan untuk membuat sempurna atau mensucikan badan ini sehingga layak untuk dapat memuja Tuhan.
Dengan dinyatakannya di dalam Atharwa Weda, bahwa yajna merupakan bagian dari pada dharma sehingga merupakan unsur ajaran keimanan yang penting, ini menyebabkan ajaran yajna merupakan bagian dari penghidupan beragama menurut agama Hindu. Yajna bukan sekadar ajaran formalistis, melainkan masalah ibadah yang hukumnya adalah wajib. Hanya saja di dalam melaksanakan ajaran yadnya itu terjadi variasi yang berbeda-beda menurut daya pemikirnya, karena dinyatakan bahwa ajaran yajna itu supaya dikembangkan dan disempurnakan.
Tujuan yajna atau samskara
Yajna merupakan aspek ajaran karma margha karena yajna adalah sama dengan karman. Di dalam Rg. Weda X,71 dikemukakan ada empat macam cara untuk mencapai tujuan atau pemujaan kepada Tuhan, yaitu :
- Dengan melalui cara pengucapan mantra-mantra. Cara ini dikenal pula dengan istilah bhakti margha.
- Dengan melalui cara menyanyikan lagu-lagu pujaan (hymn), misalnya melagukan mantra dan stotra. Cara ini dikenal dengan istilah wibhuti margha.
- Dengan melalui cara keilmuan, misalnya mengamati dan mengamalkannya. Cara ini dikenal dengan jnana margha.
- Dengan melalui cara melakukan yajna, yaitu yang disebut ajaran karma margha.
Jadi berdasarkan kitab Rg Weda di atas, yajna adalah salah satu di antara empat jalan yang dapat dipergunakan untuk memuja Tuhan. Dalam melaksanakan margha itu, dapat dilakukan dengan menggabungkan dari berbagai cara itu dan dapat pula dilakukan dengan hanya memilih satu di antara empat jalan itu. Di samping itu, peranan yajna dianggap penting di dalam agama Hindu karena di dalam Rg. Weda VIII, 19 ditegaskan bahwa yajna mempunyai peranan penting karena yajna adalah laksana kapal yang merupakan kapal yang suci yang akan mengantar manusia kepada tujuannya.
Setiap penyelenggaraan yajnya dilakukan untuk tujuan tertentu dan untuk memperoleh suasana kesucian alam lahir dan bathin. Kesucian ini dicapai karena dalam yajna tardapat pula salah satu disiplin mental yang disebut brata (wrata) sehingga dengan kesucian itu mereka dapat melakukan yadnya. Jadi suasana suci itu ditimbulkan karena melakukan yajna.
Kalau kita pelajari baik-baik tentang berbagai macam yajna yang patut dilakukan, tujuan yajna samskara dapat kita bagi atas dua macam, yaitu :
1. Tujuan yajna menurut pengertian populer dan bersifat ghaib .
2. Tujuan yajna menurut pengertian pembudayaan dan kesucian.
Di dalam pengertian populer dan yang bersifat ghaib, tujuan samskara adalah untuk menciptakan suasana suci sehingga memungkinkan seseorang yang melakukan yajna dapat memperoleh tujuannya sebaik mungkin. Dalam hal ini maka tujuan samskara itu mempunyai arti yang sangat luas dan banyak, yaitu :
- untuk melenyapkan atau mengusir pengaruh jahat dari rokh-rokh jahat.
- untuk menarik atau mendatangkan pengaruh yang baik dari pada rokh-rokh suci yang bersifat baik dan penolong.
- untuk mencapai tujuan materiil.
- untuk sebagai pernyataan tanda syukuran atau terima kasih.
Adapun cara pelaksanaannya tidak ada petunjuk-petunjuknya dan karena itu pengembangannya dapat bersifat lokal. Mengusir atau menarik rokh tergantung pada jenis rokh yang dihadapi. Untuk rokh-rokh yang bersifat tidak baik diadakan upacara pengusiran atau pemindahan atau pembersihan yang dapat dilakukan melalui pengucapan mantra atau lafal, pemberian sedekahan yang disebut caru atau lainnya seperti melakukan segahan, dan lain-lainnya. Sebaliknya bagi rokh-rokh yang baik, seperti dewa-dewa, Bidadari, Arwah leluhur seperti Pitara, dan lain-lainnya didatangkan untuk membuat suasana menjadi suci.
Di samping itu, yajna dalam arti dimaksudkan sebagai pembudayaan dan kesucian, karena tujuan yajna adalah sebagaimana artinya sendiri, yaitu untuk menjadikan lebih baik. Dalam hal ini kita lihat upacara pensucian (playascitta) dan lain-lainnya.
Pensucian yang merupakan tujuan dari pada hidup beragama dapat dicapai dengan berbagai cara. Di dalam kitab Manawadharma sastra dikemukakan berbagai cara untuk melakukan pensucian, yaitu, dengan cara mandi untuk mensucikan badan, dengan pengucapan mantra atau doa untuk pensucian pikiran, dengan cara membakar untuk mensucikan benda-benda metal, dengan mengendalikan tingkah laku untuk mensucikan diri. Dengan semua cara itu akan terwujud kepribadian yang menjadi sifat hakiki dari pada hidup beragama itu. Dengan kata lain, upacara menurut tujuan ini ialah :
a. untuk pembinaan dan pengembangan moral
b. untuk penumbuhan atau pengembangan kepribadian diri seseorang
c. untuk tujuan spirituil
d. untuk sebagai tanda peningkatan dari satu fase ke fase yang baru (diksa).
Adapun yang dimaksud dengan pembinaan moral yang menjadi dasar dari pada upacara yajna itu ialah karena didasarkan atas penumbuhan delapan sifat-sifat yang baik, yaitu suka memaafkan, gembira, tenang, suci, berprilaku yang benar, tidak serakah, tidak terikat, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu akan menumbuhkan bentuk-bentuk pribadi tertentu pada diri manusia itu.
Di samping tujuan yang bersifat penumbuhan moral dan kepribadian itu, yajna juga merupakan dasar yang bertujuan untuk menanamkan rasa suci dan iman yang disebut sraddha dan sadhana. Upacara yajna adalah merupakan ajaran jalan tengah antara ekstrim materialisme dengan ekstrim spiritualisme yang banyak dilakukan oleh seorang sanyasi. Karena itu yajna itu merupakan jalan yang paling populer dan yang paling banyak dapat dilakukan oleh orang-orang awam dalam lingkungan masyarakat Hindu.
Macam-macam yajna samskara
Banyak buku yang menjelaskan mengenai macam-macam yajna itu. Kitab yang penting yang memuat ajaran Yajna dan samskara itu antara lain adalah kitab Manawadharmasastra, kitab Grihyasutra, dan lain-lainnya, kesemuanya merupakan kitab Wedasmriti.
Menurut kitab Dharmasastra, kitab ini memerinci adanya lima macam jenis upacara besar yang disebut Panca Maha Yajna. Adapun kelima macam yajna itu, masing-masingnya ialah :
a. Dewayajna
b. Rsi yajna
c. Pitri yajna
d. manusya yajna
e. bhuta yajna.
Penguraian dari pada masing-masing jenis yajna itu macam-macam. Tiap-tiap jenis itu merupakan kelompok jenis yang masing-masingnya terdiri dari berbagai macam jenis yajna dan samskara pula.
Di samping cara penggolongan yang lima itu, kitab Dharma sastra itu membedakan pula cara pengelompokannya menurut cara pelaksanaan dari pada upacara itu sendiri, yang dibedakan menjadi lima macam pula. Adapun nama-namanya yang disebut di dalam kitab Manusmsriti itu ialah :
- Upacara yang dinamakan AHUTA, yaitu upacara rituil yang dilakukan tanpa mempergunakan kesaksian api (Agni), misalnya bila upacara itu hanya dilakukan dengan cara pembacaan mantra-mantra pujaan saja. Dasar dari pada ajaran ini adalah bersumber pada kitab Rg. Weda IV.25.
- Upacara yang dinamakan HUTA, yaitu upacara rituil yang dilakukan dengan mempergunakan api sebagai unsur yang penting, misalnya dengan mempergunakan dupa, dipa atau api iainnya (membakar kemenyan). Dalam upacara ini ada pula benda-benda upacara yang kemudian dibakar (dimasukkan ke dalam api upacara).
- Upacara yang dinamakan PRAHUTA, yaitu jenis upacara rituil yang dilakukan dengan cara penyebaran benda-benda upacara di tanah, misalnya pada waktu upacara bhuta yajna dan lain-lainnya.
- Upacara yang dinamakan BRAHMAHUTA, yaitu upacara rituil yang ditujukan sebagai penghormatan kepada para pendeta Brahmana, misalnya dengan mengundang para Brahmana dalam satu upacara dan kemudian dalam kesempatan itu kepadanya diberikan dana berupa apa saja. Umumnya upacara ini dilakukan pada waktu melakukan Pitra yajna atau Sraddha.
- Upacara yang dinamakan PRASITA, yaitu upacara rituil yang diselenggarakan dengan cara penyuguhan jenis-jenis makanan, buah-buahan, kapur sirih, dan lain-lainnya, terutama ditujukan kepada yang meninggal. Prasita ini adalah semacam “tarpana”.
Di samping cara pembagian tersebut, ada pula cara pembagian yang lebih lengkap, yaitu dengan menyebutkan semua macam upacara yang harus dilakukan. Jumlah jenis macam upacara ini sangat banyak macamnya dan tidak sama antara berbagai buku. Umumnya jenis yang banyak itu dihubungkan dengan samskara, yaitu mulai dari melakukan upacara Brahmacari sampai pada upacara antyesti (kematian). Dari jenis-jenis upacara ini, yang penting adalah yang ada hubungannya dengan pembentukan diri pribadi seseorang, mulai dari garbhadana (upacara bayi dalam kandungan) sampai dengan anak itu lahir dan berakhir pada upacara kematian. Jumlah upacara ini sangat banyak dan tidak semuanya dapat dilakukan.
Di samping kitab Dharmasastra, kitab Grihyasutra memberikan berikan keterangan yang lain pula tentang berbagai yajna itu. Di dalam kitab ini kits jumpai istilah Panca bhusamskara dan paka samskara. Jenis paka yajna menurut Grihyasutra sama dengan jenis-jenis upacara yang digolongkan Huta, Prahuta, Ahuta dan Prasita. Jadi banyak istilah yang sama yang masih dipergunakan. Penggolongan berbagai jenis upacara itu hanya diperlukan untuk sistematisasinya saja sedangkan makna dan tujuannya tetap sama.
Yang berbeda dari semua kitab itu ialah masalah penulisan upacara yang mencoba menguraikan mengenai upacara kematian. Pada umumnya kitab-kitab itu memisahkan upacara kematian itu dari berbagai jenis upacara lainnya.
Di samping itu masih banyak aspek dari pada yajna yang perlu kita ketahui seperti masalah bentuk serta unsur-unsur dalam yajna, ke semuanya itu merupakan unsur-unsur penting dalam memahami arti yajna, baik sebagai dasar keimanan maupun sebagai ritus dalam pembentukan kepribadian manusia itu sendiri. Kesemuanya itu akan dibahas dalam buku tersendiri, dalam buku pengantar agama Hindu V1. Yang terpenting dalam peninjauan kita ialah bahwa berdasarkan uraian yang telah kita lihat di atas, yajna merupakan unsur yang amat penting di dalam penumbuhan pengertian pokok-pokok ajaran Hindu itu sebagai salah satu dari pada unsur sraddha dalam agama Hindu.
KEYAKINAN TERHADAP ADANYA TUHAN
(WIDHI SRADDHA)
Widhi berarti yang menakdirkan dan Tattwa berarti filsafat. Widhi Tattwa berarti filsafat Yang Menakdirkan atau filsafat Tuhan.
Untuk mencapai kesempurnaan berupa Dharma untuk mendapat Jagadhita dan Moksa, Bhaktimarga atau Bhaktiyoga, yaitu sujudbakti kepada Tuhan adalah jalan yang termudah. Bhaktimarga tidak memerlukan intellekt dan dan kebijalsanaan filsafat atau Jnana, oleh karena itu sebagian besar umat manusia dapat melakukannya. Dengan menyembah Icwara dengan doa pujaan sebagai Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang, Pelindung Keadilan dengan hati yang tulus, hati kita akan dibersihkan. Kebersihan hati adalah sumber budi (Dharma) dan Moksa.
Jnanamarga atau Jnanayoga, agak berat dan abstrak hingga sukar diterima oleh umat biasa. Dengan mendoa dan memuja Tuhan untuk mohon restu hendaknya Ia menuntun kita untuk mencapai kesempurnaan dan berterima kasih atas perlindunganNya, maka Icwara Mahadewa, Pelindung sekalian mahluk akan membimbing kita untuk menjadi manusia ber-Dharma bersila dan berbudi luhur. Untuk menimbulkan rasa sujud bakti kepada Tuhan yang berwujud Suksma (abstrak), perlu yakin dulu dengan adaNya. Andaikata kita tiada percaya dengan adanya Tuhan, bagaimanakah kita dapat sujud bakti kepada Dia ? Oleh karena itu perlu Craddha atau keyakinan dulu. Banyak fakta-fakta yang menyebabkan keyakinan terhadap Tuhan itu timbul di dalam diri manusia. Bagi umat kebanyakan keyakinan itu timbul berdasarkan agama, berdasar ajaran Castra dogma. Tetap terdapat juga beberapa orang yang yakin akan adanya Tuhan karena Anumana; misalnya sering kita kagum mengenangkan betapakah besar angkasa, andaikata terdapat jutaan matahari, planit dan bintang yang lebih besar daripada dunia kita sebagai yang diterangkan oleh sajana ilmu falak. Siapakah yang mengadakan banyak benda angkasa yang demikian besarnya itu ? Ahli ilmu hayat mengatakan bahwa maksud bunga berwarna indah tidak lain dari pada untuk menarik kumbang, hendaknya kumbang datang bertengger di atas bunga untuk mengisap madu. Madu adalah upah bagi kumbang karena jasanya dalam memindahkan tepung sari bunga jantan yang melekat pada bulu kaki kumbang itu ke dalam putik bunga betina sehingga timbul perkawinan bunga, pembuahan dan pembiakan. Konon di Himalaya terdapat tumbuh-tumbuhan yang amat berbisa. Andaikata bisa daun tumbuh-tumbuhan itu mengenai kulit manusia atau binatang mungkin manusia atau binatang itu akan pingsan karena gatal bisanya. Tetapi aneh bahwa dimana tumbuh pohon berdaun berbisa itu disebelahnya tentu tumbuh pohon yang daunnya menjadi obat penawar bisanya, hingga bila manusia atau binatang tersentuh oleh daun pohon itu segera ia makan atau menggosokkan daun obat yang tumbuh disebelahnya itu maka gatal bisa itu tidak akan menjadi. Andaikata kita mengenangkan keanehan-keanehan alam, maka timbullah keheranan di dalam hati, seolah-olah ada kekuatan yang bijaksana dan cerdas, yang mengadakan dan mengatur alam semesta. Apa kiranya kekuatan itu ? Ada yang menyebut hukum alam, tetapi ada juga yang mengatakan hukum kebijaksanaan Tuhan. Dengan Anumana atau menarik kesimpulan berdasar gejala-gejala keanehan alam, kita percaya akan adanya Tuhan. Makin banyak kita menemui dan mengalami keanehan alam, berdasar pengalaman biasa maupun berdasarkan keanehan-keanehan yang timbul karena penyelidikan ilmu pengetahuan, makin kuat keyakinan kita akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain dari pada mengenai Tuhan dengan Pratyaksa, langsung merasakan atau mengalami adaNya bagaikan memjumpai manusia gaib yang tiada berbadan, tetapi dirasakan adaNya dengan pengalaman-pengalaman gaib yang mengherankan. Kepada mereka itu, Tuhan melimpahkan ajaran Suci untuk membimbing umat manusia mencapai kesempurnaan hidup lahir batin. Hanya orang beriman yang alat wahyu atau intuisinya tajam karena amal kebajikan dan kesucian rohaninya dapat bermuka-muka dengan Tuhan dengan pengalaman gaib. Para Rsi dan Nabi adalah orang suci yang dapat mengalami dan merasakan adanya Tuhan. Tuhan membuka tabir kebesaran dan keagunganNya dihadapan mereka. Bagi para Mahapurusa atau orang suci yang mendapat rahmat itu. Tuhan tidak menjadi obyek keyakinan lagi, melainkan pengalaman. Ia tidak menjadi objek Agama atau Anumana, tetapi Pratyaksa. Andaikata para Rsi dan Nabi tidak mengalami dan bermuka-muka dengan Tuhan bagaimanakah dapat dikatakan mereka itu menerima wahyu, semua orang dapat mengatakan diri menerima wahyu dan dapat menyusun kitab suci dan menyebut diri pesuruh Tuhan. Di dalam Arjuna Wiwaha tersebut bahwa dengan kesucian batin seseorang dapat mengalami wujud Tuhan yang berbunyi sebagai berikut :
Caciwimbha aneng ghata mesi banu,
ndan asing suci nirmala mesi wulan,
iwa mangkana rakwa kiteng kadadin,
ring angambeki yoga kiteng sakala.
(Arjuna Wiwaha, 11. 1)
Bagaikan bulan di dalam tempayan berisi air,
di dalam air yang suci jernih terdapatlah bulan,
demikianlah konon Dikau pada mahluk,
pada orang yang melakukan yoga Engkau
menampakkan diri.
Katemunta marika, sitan katemu,
kahidepta marika, sitan kahidep,
kawenang ta marika, sitan kawenang,
paramartha Ciwatwa nirawarana.
(Arjuna Wiwaha, 11, 2.)
Dijumpai (Paduka) oleh mereka (yogi yang berjiwa suci ),
yang tidak terjumpai oleh umat biasa.
Terasa Paduka (oleh mereka para Yogi ), yang tidak
dirasakan oleh umat biasa, terdapat Paduka (oleh mereka Yogi),
yang tidak dapat dicapai oleh umat biasa.
(Karena Paduka), Yang bersifat Maha Mulia (Ciwatwa)
dan tak terbayangkan (Nirawarana), dijadikan tujuan yang tertinggi
(Paramartha).
Dengan memperhatikan sajak di atas dapat kiranya kita menginsafi bahwa ajaran kerohanian adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui bukan benda-benda ilmiah isi alam yang maha besar ini, tetapi Penciptanya; dan alat untuk mengetahuiNya bukan kecerdasan akal ratio tetapi budi luhur yang memekarkan alat wahyu atau intuisi ; yaitu salah satu bagian dari alam pikiran (psycho) yang terdapat dalam diri manusia.
HYANG WIDHI WASA SEBAGAI HYANG TUNGGAL
DENGAN TRISAKTI
Dengan memperhatikan keanehan-keanehan dan luas alam semesta dengan berjuta-juta jenis isinya serta seimbang dan harmony jalinan antara yang satu dengan yang lain, maka timbullah kekaguman di dalam hati kita bagaimana besarnya kekuasaan Pencipta dan Pengaturnya, bagaimana agung sifat Pencipta dan Pengatur Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan, Hyang Widhi Wasa, Siwa atau Brahma. Di dalam kitab filsafat kerohanian Hindu sebagai Upanisad dan Tattwa-tattwa ajaran Siwa banyaklah tercantum renungan-renungan mengenai wujud dan sifat agung Tuhan. Hyang Widhi Wasa, Siwa atau Brahma itu, sebagai Hyang Tunggal.
Di dalam Rg. Weda Samhita tercantum suatu sajak yang berbunyi sebagai berikut :
“Ekam sat wipra bahudha wadanti
Agnim, Yamam, Matriwanam”.
Hanya terdapat satu Kebenaran Yang Mutlak.
Orang bijaksana menyebut dengan berbagai-bagai nama.
Agni, Yama Matariswan.
Demikian juga Upanishad bagian Weda yang terakhir menyebut suatu rumus :
“Ekam ewa adwityam Brahma”
Hanya ada satu Tuhan (Brahma) tidak ada yang kedua.
Memperhatikan wahyu yang dilimpahkan kepada para Rsi Weda sebagai yang tersebut di atas teranglah bahwa hanya terdapat satu kekuasaan yang mengadakan (Utpatti), memelihata (Sthiti) dan mengembalikan kepada asalnya (Pralina) segala yang ada di alam.
Tuhan hanya satu, umat Hindu di Indonesia memberi Dia gelar Sang Hyang Widhi Wasa. Widhi artinya takdir dan Wasa yang Maha Kuasa. Widhi Wasa berarti Yang Maha Kuasa Yang Menakdirkan segala yang ada. Dia disebut juga Bhatara Siwa Pelindung Yang Termulia. Dia diberi gelar juga Sanghyang Mahadewa, Dewa Yang Tertinggi. Banyak gelar lagi yang dipersembahkan oleh umat Hindu di Bali kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai Sang Hyang Parameswara Raja Termulia, Parama Wisesa, Maha Kuasa. Jagat Karana Pencipta Alam dan lain-lainnya. Sebagai Pencipta Ia bergelar Brahma (Utpatti) di dalam aksara Ia disimbulkan dengan huruf ‘A’. Sebagai Pemelihara dan Pelindung (Sthiti) ia disebut Wisnu, sebagai simbulnya ialah huruf ‘U’, dan sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi alam kepada sumber asalnya (Pralina) Ia bernama Siwa Rudra. Siwa Rudra sering disebut juga Icwara, simbulnya dalam aksara yalah ‘M’.
Di dalam perwujudannya sebagai Brahma Pencipta, Wisnu Pemelihara dan Siwa Rudra Pengembali keasalnya Ia disebut Trimurti. Trimurti adalah tiga pewujudan dan dari tiga kemaha kuasaan Tuhan Siwa Yang Maha Tunggal yang disebut Trisakti yaitu Utpatti (mencipta), Sthiti (memelihara) dan Pralina (mengembalikan keasalnya), Tuhan Siwa Mahadewa Yang Maha Esa dan Maha Kuasa disimbulkan dengan aksara “OM” (A.U.M.) yang disebut juga Omkara atau ‘Pranawa’. Oleh karena itu tiap-tiap mantra harus dimulai dengan suara OM, sebagai inti kekuatan doa mantra itu hendaknya dapat menggetarkan dan menggerakkan alam semesta. Tuhan Yang Maha Tunggal, Siwa Mahadewa adalah Tuhan yang kekal dan abadi tiada berawal dan berakhir (Anadi dan Ananta) tidak ada yang menciptakan atau melahirkan, melainkan mencipta atau melahirkan diri sendiri.
Oleh karena itu Ia disebut “Swayambhu”. Swayam - sendiri, dan bhu - lahir. Di dalam perwujudanNya sebagai sumber kekuatan hukum alam dan sumber hidup segala mahluk Ia disebut Parama Siwa atau Nirguna Brahma. Parama Siwa (Nirguna Brahma) adalah Roh atau Paramatma, Bhuwana Agung Macto Cosmos dan Jiwatma, Atma atau Siwatma adalah bagunNya yang menjadi roh tiap-tiap mahluk. Parama Siwa (Nirguna Brahman) bersenyawa dengan kekuatan hukum kodratnya (Sakti) yang juga disebut Maya Tattwa atau Acetana, hingga menjadi maha kuasa dan bergelar Sada Siwa atau Saguna Brahma atau Icwara yang mengadakan, memelihara pada waktu alam tercipta (Srsti) dan melenyapkan alam semesta ke dalam kekosongan pada waktu qiamat (Plalaya).
CADU SAKTI DAN ASTASAKTI
Selain daripada Trisakti Sada Siwa, Hyang Widhi Wasa, Saguna Brahma tersebut juga sebagai Tuhan yang mempunyai empat sifat maha kuasa yang disebut Catuh, Catur atau Cadu Sakti. Adapun keempat sifat Mahakuasa yang disebut Cadu Sakti, Tuhan Siwa itu ialah Wibhu cakti, Prabhu cakti, Jnana cakti dan Kriya cakti. Wibhu Cakti berarti bersifai Maha Ada meresap memenuhi buana. Tiada ada tempat yang tidak dipenuhi oleh Tuhan (Ciwa), dimana-mana Dia selalu hadir. Kekosongan ruang angkasa dipenuhi oleh wujudNya yang Maha Suksma (gaib) dan besar. Prabhu Cakti artinyn sifat Maha Kuasa menguasai alam sebagai Pencipta (Upatti), Pemelihara (Sthiti) dan dapat menghilangkan segala isi alam pada waktu hari qiamat (Pralaya atau Pralina). Segala sesuatu terjadi karena kodrat dan kekuasaannya. Jnana Cakti berarti Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala kejadian dan segala yang ada di alam yang kelihatan maupun yang gaib Sakala Niskala. Tiada suatu perbuatan dan kerja mahluk yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu di dalam ajaran kerohanian Agama Dia disebut Saksi Agung yang mengetahui tingkah laku, gerak langkah, amal dan dosa semua mahluk, hingga manusia tidak dapat mengingkari dosa perbuatannya. Kriya Cakti berarti Maha Karya, dapat membuat apa yang dikehendakiNya. Wrhaspati Tattwa menyebutkan :
utpadaka na sadhakah
tat tasya anugrahaparah
wirocanakaro nityah
sarwajna sarwakrdwibhuh
Sawyaparah Bhatara Sada Ciwa
hana padmasana pinakapalungguhanira
aparan ikang padmasana ngaranya
caktinira, Cakti ngaranya Wibhu Cakti
Prabu Cakti, Jnana cakti, Kriya Cakti
nahan hyang Cadu Cakti
(Wrhaspati Tattwa : 12)
Terliput (oleh kekuasaan kodrat maha kuasa) Bhatara Sada Ciwa (Hyang Widhi Waca). Ada singasana teratai (Padmasana) sebagai tempat-Nya, apa kiranya yang dimaksud dengan singgasana teratai (Padmasana) itu tidak lain daripada CaktiNya (kekuatan kodratNya), Cakti tersebut ialah Wibhu Cakti (Maha Ada), Prabu Cakti (Maha Kuasa), Jnana Cakti (Maha Tahu), Kriya Cakti (Maha Karya) : demikianlah Cadu Cakti (Empat Maha Kuasa) itu.
Selain daripada keempat Cakti itu, Sada Ciwa (Saguna Brahma) mempunyai delapan sifat maha kuasa yang disebut Astacakti atau Astakwarya (Astha berarti delapan : Cakti atau icwarya berarti maha kuasa). Adapun Astacakti atau Astaicwarya itu ialah :
1. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang disebut Anima.
2. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang disebut Laghima.
3. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang disebut Mahima
4. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang disebut Prapti
5. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang disebut Prakamya
6. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang bernama Icitwa
7. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang bernama Wacitwa
8. Terdapat (kekuasaan Tuhan) yang bernama Yatrakamawasayitwa.
anima laghima caiwa
mahima praptir ewaca
prakamyan ca icitwan ca
wacitwam yatrakamtwam
Hana Anima ngaranya,
hana Laghima ngaranya,
hana Mahima ngaranya,
hana Prapti ngaranya,
hana Icitwa ngaranya,
hana Prakamya ngaranya,
hana Wacitwa ngaranya,
hana Yatrakamawasayitwa ngaranya,
(Wrhaspati Tattwa 14 : 66)
Kalau dijelaskan secara singkat kedelapan sifat agung Sada Ciwa itu, Anima berasal dari kata Anu yag berarti kekuatan “atom”. Anima dari Astacakti atau Astaicwarya, ialah sifat yang halus bagaikan kehalusan tenaga atom yang dimiliki oleh Tuhan. Lagima berasal dari kata laghu artinya ringan. Laghima berarti sifatNya yang amat ringan lebih ringan dari ether. Mahima berasal dari kata Maha yang berarti maha besar, disini berarti Tuhan Sada Ciwa meliputi semua tempat, tidak ada tempat yang kosong (facum) bagi Tuhan, semua ruang angkasa dipenuhiNya. Prpti berasal dari Prapta yang artinya tercapai Prapti berrti segala tempat tercapai olehNya, kemana Ia hendak pergi disana Dia telah ada, Prakamya berasal dari Pra-Kama yang berarti segala kehendakNya selalu terlaksana atau terjadi. Icitwa (Ica artinya raja), merajai segala-galanya, dalam segala hal paling utama. Wacitwa artinya paling berkuasa dan Yatrakamawasayitwa berarti tidak ada yang dapat menentang kehendak dan kodratNya.
Kedelapan sifat keagungan Sada Ciwa, Tuhan Yang Maha Kuasa, Saguna Brahma Hyang Widhi Wasa ini, disimpulkan dengan singgasana teratai (Padmasana) yang berdaun bunga delapan (Astadala). Singgasana teratai (Padmasana) Hyang Widhi Wasa, Sada Ciwa adalah lambang simbol kemahakuasaanNya, dan daun bunga teratai berjumlah delapan helai (Asdala) itu adalah lambang delapan sifat agung kemahakuasaan Astacakti atau Astaicwarya Sada Ciwa, Raja yang menguasai dan mengatur alam semesta dan mahluk semua.
KEGAIBAN DAN KEAJAIBAN SIFAT TUHAN (WIDHI SUKSMA)
Hyang Widhi Wasa Brahma atau Ciwa, Tuhan seru sekalian alam, walaupun ada dan maha kuasa, dapat mencipta, mengatur alam serta isinya dengan kodrat kekuasaanNya sukar dibayangkan karena gaib dan ajaib wujudNya. Sedangkan alam pikiran atau emosi kita sebagai perasaan cinta, sedih, gembira yang kita rasakan sehari-hari sukar dibayangkan apalagi wujud Tuhan yang amat abstrak itu. Bila kita bayangkan wujud perasaan cinta, marah, gembira, dengki yang kita rasakan dalam hidup sehari-hari sungguh mengherankan. Walaupun unsur-unsur pikiran itu ada namun seolah-olah tidak ada, dan sukar dibayangkan, karena suksma wujudnya. Demikian juga wujud Tuhan Hyang Widhi Wasa, Ciwa (Brahma), Dia sering disebut wujud “hana tan hana” yaitu wujud yang ada tetapi tidak ada. Karena gaibnya sering di dalam castra-castra atau tattwa-tattwa, wujudNya itu dipersoalkan sebagai teka-teki belaka. Walaupun tidak bertubuh, tidak berdarah, tidak pernah makan, tidak pernah bernafas namun Tuhan hidup. Tuhan Ciwa (Brahma) tidak berontak tetapi dapat berpikir, tidak beralat perasaan atau berurat saraf namun dapat merasakan, tidak bertangan tetapu dapat melakukan pekerjaan, tidak bermata dapat melihat, tidak berhidung dapat mencium, tidak bertelinga dapat mendengar walaupun kata hati segala mahluk sekalipun dapat didengarnya. Ia bermata, bertelinga, berhidung, beralat perasaan gaib disegala tempat sebagai disebutkan di dalam Bhuwanakosa dan Dangdang Bang Bungalan sebagai berikut :
ciwas sarwagatasuksmah
bhutanam antarikswat,
acintyam mahagrhyante,
naindriyam parigrhyate,
bhatara Ciwa sira wyapaka,
sira suksma tar kneng agen-agen,
kadyangganing akasa sira,
tan kagrahita dening manah mwang indriya,
(Bhuwanakosa)
Bhatara Ciwa, Dia ada dimana-mana,
Dia gaib sukar dibayangkan, bagaikan angkasa (ether)
Dia itu, tidak dapat ditangkap oleh akal maupun panca indria.
ya iku sengguh tanakku sira ta nunggalaken bhuwana ngaranika, nihan ta upamanta sira waneh, kalinganya kadyangganing manuk sang manon, mur tan pahelar, melesat tan pacikara, manon ndatan pamata, mangrengo tan patalingan, mangambu tan pagrana, magamelan tan patangan, lumaku tan pasuku, rumasa rasa tan paidep, tan papurus ya jana-prawrtti, tatan panak yaya wrddhi, tan paweteng yaya mambekan, tatan pacangkem yaya amangan, tan pailat yaya mangrasani.
(Dangdang Bang Bungalan)
Ya itulah anakku disebutlah Ia yang menunggalkan buana. Adapun perumpamaannya, jelasnya lagi, Yang Maha Tahu (Tuhan) bagaikan burung, terbang dengan tiada bersayap, kian kemari dengan tiada berkepala, melihat tiada dengan bermata, mendengar tiada dengan bertelinga, membau dengan tiada berhidung, memegang dengan tiada bertangan, bergerak dengan tiada berkaku, merasakan rasa dengan tidak berperasaan melahirkan dengan tidak bertanda (jantan atau betina), tiada beranak namun membiak, tiada berperut tetapi hidup, tiada bermulut namun Ia dapat menikmati, tidak berlidah tetapu dapat merasakan.
ndan sira sang malekasing rat kabeh,
pinangan sari-sari awaknira, sira pinaka
doning sang wiku, sira ta luputing taya,
luputing bayu, apan bayuunira ikang bayu,
luputing idep apan idepira ikang idep,
luputing cabda apan cabdanira ikang cabda,
luputing tutur sira, apan tutur ira ikang tutur.
(Dangdang Bang Bungalan)
Maka Dia yang mengodratkan alam semesta, yang dimakanNya ialah sari-sari wujudNya, Dialah yang menjadi tujuan orang beriman, Ia tiada memerlukan hawa, oleh karena (Ia) hawa dari hawa, tiada memerlukan suara, karena (Ia) suara dari suara, tidak berperasaan, karena (Ia) perasaan dari perasaan, tidak memerlukan kesadaran, karena (Ia) sumber kesadaran.
Demikianlah kegaiban dan keajaiban Hyang Widhi yang karena abstrak (Suksma) wujudNya sukar dibayangkan dan sangat mengagumkan.
BRAHMANDA
Brahmanda berarti telur Brahma (Ciwa). Yang dimaksud dengan telur Brahma ialah benda-benda berbentuk sebagai telur yang terdapat di angkasa, yaitu jutaan matahari, planet-planet, bintang dan bulan, terutama planet kecil tempat kita hidup yang disebut dunia. Hyang Widhi Wasa Brahma atau Ciwa Tuhan yang menakdirkan segala isi alam adalah sumber semua Brahmanda, matahari dan planet-planet dan benda angkasa lain merupakan sumber semua mahluk yang terdapat di dalam Brahmanda itu. Brahmanda, Tuhan dan telurNya, yang menjadi isi alam semesta dikatakan dari Brahma (Ciwa) pada waktu terjadi ciptaan atau Srsti, dan akan kembali secara berdikit-dikit ke dalam wujud Brahma (Ciwa) pada waktu qiamat atau Pralaya. Di dalam filsafat atau tattwa-tattwa, Brahma dan Brahmanda Tuhan dan telurNya, yang menjadi isi alam semesta dikatakan sebagai laba-laba dan benang sutra yang keluar dari perutnya yang dipergunakan sebagai sarangnya. Tuhan dikatakan “urna nabhawat” yaitu sebagai mahluk yang mengeluarkan sutra dari pusat perutnya, seperti laba-laba. Dari laba-laba datangnya benang sutra yang menjadi sarangnya itu dan bila laba-laba hendak melenyapkan akan memindahka benang sarangnya, maka benang itu dimasukkan lagi ke dalam perutnya. Demikianlah Brahmanda atau telur Brahma itu, yaitu benda-benda ruang angkasa isi alam semesta bersama benda dan mahluk penghuninya, muncul dari Brahma (Ciwa) pada waktu hari ciptaan dan lenyap ke dalam Brahma (Ciwa) pada waktu kiamat. Dengan Kriya Cakti kekuasaan untuk mengadakan segala, Brahma (Ciwa) mengodratkan hukumnya untuk berevolusi, berubah berdikit-dikit untuk memunculkan benda alam. Di dalam Castra disebutkan bahwa Tuhan mencipta benda-benda alam ruang angkasa yang disebut Brahmanda itu dengan mempergunakan lima benih unsur-unsur tenaga (energy) yang disebut Pancatanmatra, yaitu benih unsur ether sinar, hawa zat cair dan zat padat berupa tanah dan sebagainya yang terdapat dalam diriNya, sebelum terciptanya benda-benda alam sebagai bahan-bahan. Kelima benih unsur-unsur yang disebut Pancatanmatra itu, kemudian masing-masing berubah menjadi atom-atom yang dalam istilah Sanskerta disebut Paramanu. Dari Paramanu (atom) timbul lima unsur-unsur benda yang disebut Pancamahabhuta. Ada pun Pancamahabhuta ini terdiri dari Akasa (ether), Teja (sinar), Wayu (hawa), Apah (zat cair) dan Prthiwi (zat padat sebagai tanah). Lima benih unsur-unsur benda yang disebut Pancatanmatra itu berdikit-dikit keluar dari Brahma atau Ciwa dan berubah secara perlahan-lahan secara berevolusi menjadi atom-atom Paramanu. Pancamahabhuta yaitu ether, sinar, hawa zat cair dan zat padat itu.
Selain dari Pancamahabhuta yang menjadi bahan-bahan Brahmanda dan badan wadah semua mahluk, maka dari Hyang Widhi Wasa, Ciwa, muncul juga secara evolusi alam pikiran dan perasaan yang disebut dalam istilah Sansekertanya “Citta”. Citta atau alam pikiran dan perasaan yang wujudnya Suksma atau abstrak, sama Suksma atau abstraknya dengan wujud Hyang Widhi, kemudian bersenyawa dengan unsur-unsur jasmani Pancamahabhuta (ether, sinar, hawa, air dan tanah) dengan diberi kekuatan atau sumber hidup oleh Atma (roh) lalu membentuk mahluk hidup yang dapat bergerak, berpikir dan merasakan. Semua bagian alam pikiran ini muncul dari Hyang Widhi Wasa, Ciwa, pada waktu proses Ciptaan (Srtsti) dan akan kembali kepadaNya pada waktu kiamat ciptaan (Srtsti) dan akan kembali kepadaNya pada waktu kiamat (Pralaya).
Di dalam ruang angkasa yang maha luas berserakan jutaan Brahmanda ruang angkasa, yaitu matahari, planet, bintang-bintang dan bulan-bulan. Tiap-tiap Brahmanda disebut Bhur bhur atau Bhu Loka yang artinya bumi atau Lithosphere. Bhuh atau Bhu Loka dikelilingi oleh lapisan yang disebut Bhuwah Loka, yakni udara atau Atmosphere dan di luar Bhuwah Loka terdapat Swah Loka, Swah Loka berarti tempat di luar bumi dan hawa, yang terkenal dengan nama ruang angkasa Stratosphere. Mahluk dalam alam terbuka hanya dapat hidup di Bhu Loka (di bumi) dan Bhwah Loka (udara) karena memerlukan hawa, makanan dan tempat. Hyang Widhi (roh manusia yang telah suci) yang telah menjadi dewa roh biasa dan sebagainya dapat hidup di Swah Loka. Oleh karena itu tempat Tuhan, dewa-dewa dan lain-lain disebut Swarga yang berasal dari kata Swah atau Swar dan kata ga.
Bhu Loka, Bwah Loka dan Swah Loka disebut Triloka yang artinya tiga ruang, tiga tempat atau tiga dunia.
Citta terdiri dari Buddhi yaitu alat pikiran untuk mengetahui dan menentukan segala, dimana termasuk juga intuisi, Manah, akal dan perasaan, Ahankara alat penyadar yang menyebabkan berasa bertindak. Panca jnanedriya atau Pancabuddhindriya yaitu (pusat pancaindra dalam alam pikiran atau alat pengamatan) dan Pancakarmandiya yakni pusat penggerak tubuh yang juga bersumber dalam alam pikiran Citta yang terdiri dari Buddhi, Manah, Indriya dan Ahangkara bersama dengan Atma mengadakan proses evolusi keluar berdikit-dikit dari badan Suksma Brahma atau Ciwa.
Di dalam Narayana Upanisad tersebutlah suatu do’a pujian yang hingga kini masih didoakan oleh para pendeta di Bali pada waktu upacara yang penting mengenai munculnya alam semesta dari tubuh Hyang Widhi Wasa Brahma atau Ciwa sebagai sumber isi alam yang mengadakan, memelihara dan mengembalikan kepada asalnya dengan gelar Narayana yang bunyinya :
Om Atha Purusa hi wai Narayano kamayata prajah srjayari, Narayanat prano jayate manah sarwendriyani ca, kham wayur jyotir apah prthiwi wicwasa dharana.
(Catur Weda doa suci pendeta-pendeta di Bali, yang diambil dari Narayana Upanisad)
maka Tuhan Purusa (yang bergelar) Narayana dengan kodratnya ia mengadakan semua mahluk. Dari Narayana timbul tenaga hidup, alam pikiran dan semua indria, ether, hawa, sinar zat cair dan benda padat yang menjadi dasar semesta alam.
Di dalam ajaran filsafat Hindu yang disebut cosmogony, bagian filsafat yang menerangkan soal terciptanya dunia, tersebut jutaan Brahmanda (telur Brahma) berserakan di ruang angkasa, selain dari pada dunia kita. Alangkah maha kuasa Tuhan Brahma, Ciwa dan bagimana kecil mahluk dihadapanNya, kalau direnungkan luasnya alam semesta, sebagai tersebut di dalam Atharwana Mayanarayanopanisad dan Dewi Bhawatam sebagai berikut :
Asya Brahmandasya samatatah
Sthitan yetarsanyanantakoti
Brahmandani sawarnani jwalanti
(Atharwana Mayanarayanopanisad 6)
Sekitar Brahmanda (dunia) ini berkilau-kilauanlah ratusan ribu Brahmanda (matahari, planet, bintang dan bulan) yang bersamaan rupanya.
Sangkya ced rajasamasti
Wicwanam na kadacana
(Dewi Bhagawatam 9 .7)
Butir pasir dapat dihitung tetapi (benda-benda) alam semesta tiada mungkin.
Atha nityo Narayanah
Brahma Narayanah
Ciwac ca Narayanah
Cakrac ca Narayanah
Kalac ca Narayanah
Dicac ca Narayanah
Widicac ca Narayanah
Urdhwac ca Narayanah
Adhac ca Narayanah
Antar wahic ca Narayanah
(Catur Weda doa suci pedanda di Bali, yang diambil dari Narayana Upanisad)
Kekal konon Narayana
Brahma (pencipta alam adalah) Narayana
Ciwa (Pelebur Alam adalah) Narayana
Cakra (adalah) Narayana
Waktu (adalah) Narayana
Ruangan (adalah) Narayana
Antara (adalah) Narayana
Atas (adalah) Narayana
Bawah pun (adalah) Narayana
Luar dan dalam pun Narayana
Narayanad ewedam sarwam
Yad bhutam yacca bhawyam,
Niskalo nirjano niraksatah suddho dewo
Eko Nrayanah na dwityo sti kac cit.
(Catur Weda doa suci pendeta di Bali yang diambil dari Narayana Upanisad)
Hanya dari Narayana datangnya segala, yang telah ada dan yang akan terjadi, Narayana, yang Niskala (gaib) tidak berwujud, abadi maha suci, Tuhan Yang Maha Esa tiada ada yang kedua.
SRSTI DAN PRALAYA
Kapankah alam semesta beserta isinya sebagai jutaan matahari, planet, bintang dan bulan yang disebut Brahmanda atau telur Brahma muncul berdikit-dikit dari Hyang Widhi Wasa, pada waktu ciptaan (Srsti) dan kembaliNya pada waktu kiamat (Pralaya). Rg. Weda menyebut suatu sajak penting mengenai Srsti dan Pralaya sebagai berikut :
suryacandram asau dhata
yatha purwam akalpayat
diwam ca prthiwim ca
antariksamaho swah
(Rg. Weda 10, 19, 3)
Ia (Tuhan) setelah mengadakan matahari, bulan, angkasa dan bumi, pun hawa kekosongan sebagai mengadakan (benda ruang angkasa itu) dimasa lampau.
Yang dimaksud dengan Yatha Purwam atau masa lampau, ialah masa-masa Srsti atau ciptaan-ciptaan sebelum ciptaan sekarang ini. Jadi alam dan isinya sering tercipta atau muncul berdikit-dikit dari Brahma Ciwa atau Narayana dan kembali lagi kepadaNya pada waktu Pralaya atau masa kiamat.
Srsti, Pralaya
Srsti, Pralaya
Tercipta, kiamat
Tercipta, kiamat
Srsti (ciptaan) dan Pralaya (kiamat) silih berganti dan tiada terhitung banyaknya. Lagi alam semesta mengalami proses evolusi, muncul berdikit-dikit dari Hyang Widhi dan lagi kembali kepadaNya bagaikan sutera sarang laba-laba timbul dan kembali ke dalam perut laba-laba. Kapan ciptaan pertama-tama dan kapan kiamat yang pertama, rahasia ini tidak dapat ditentukan. Mulai Hyang Widhi Wasa Brahma atau Ciwa Tuhan seru sekalian alam itu ada, mulai saat itu ciptaan dan kiamat berlangsung. Tuhan tiada pernah diadakan Ia selalu ada dan tetap ada. Ia tidak dibatasi oleh Kala dan Seca (waktu dan tempat). Hyang Widhi Ciwa Mahadewa adalah wujud mutlak, agung mengagumkan yang Anadi dan Ananta (tidak berawal dan berakhir) yang Swayambhu Swayambhawat itu. Swayambhu yang artinya mengadakan diriNya sendiri. Alam semesta beserta isinya telah berkali-kali tercipta atau Srsti dan berkali-kali mengalami kiamat atau Pralaya. Masa ciptaan disebut Sang Brahma atau Brahmadiwa dan masa kiamat disebut Malam Brahma atau Brahmanakta.
Di dalam Agastyaparwa, jelas disebutkan mengenai Srsti dan Pralaya ini sebagai berikut :
Caturbhutanam acesam
kalagnidahanat pura
na ratri bodhi wa suryo
na candra na wa tarakah
Risedengnyan tekeng mahapralaya hilang ikang catur bhuta, tekeng bhur bhwah swah, nguniweh tang sapta patala, basmibuhuta tekeng dewatanya de nikang kalagni. Rudra, Brahma Wisnu, Surya, Chandra, Naksatragna, kapwalima sira kabeh, cunya rikang kala, nguluwung ikang rat, anghing bhatara Sada Ciwa sira hana, sang niratmakaswabhawa, sang luput ring sakala niskala, sira bhatara Sarwa ngaran ira. Mahyun pwasira magaweya Srsti, rep mijil tang caturbhuta, kramanya.
(Agastyaparwa 343.25)
Pada waktu kiamat (Mahapralaya) menjelang, lenyaplah keempat unsur-unsur benda, maupun dunia, hawa dan langit, lebih-lebih tujuh lapisan dunia, lenyap bersama dengan dewatanya oleh karena api pemusna Rudra (kodrat untuk melenyapkan) Brahma (kodrat atau perwujudan Tuhan untuk mencipta), Wisnu (kodrat atau perwujudan Tuhan untuk mengatur dan memelihara alam semesta), matahari, bulan, bintang-bintang semua hilang musnah. Sunyi senyaplah tatkala itu, kosong alam semesta, hanya Tuhan Sada Ciwa yang ada, yang bersifat tak dapat dibayangkan, yang luput dari sakala niskala (berwujud dan gaib), Dia disebut Tuhan seru sekalian alam. Berkehendaklah Dia mengadakan maka timbullah empat unsur alam semesta itu, adapun jadinya.
Akacawayu samutpannam
apy apas tu trtyas te
caturthi prthiwi jata
bhutwa tejas tu pancamam,
Kalinganya akaca tambe ning metu lawan bayu, tumut tang prthiwi lawan teja. Ri huwus nika andam karoti, agawe ta sira anda.
(Agastyparwa 344.10)
Maksudnya yang muncul pertama-tama ialah ether (Akaca) dan hawa (Wayu), tanah (Prthiwi) dan sinar (Teja) mengikutinya sesudah itu “Andam karoti”, menciptalah Dia dunia sebagai telur (Anda).
Menurut ajaran Castra, Hyang Widhi Waca Brahma atau Ciwa, dikatakan terus bekerja beribu-ribu juga tahun pada waktu masa ciptaan (Srsti) dan waktu kiamat (Pralaya) beribu-ribu juta tahun beristirahat. Sehari dan semalam Brahma disebut Brahma kalpa. Tiap-tiap Brahma kalpa atau sehari semalam Brahma itu dikatakan beribu-ribu juta tahun jangka waktunya.
HYANG WIDHI WACA SEBAGAI PELINDUNG
“DHARMA” ATAU “AGAMA”
Yang terpenting di dalam membahas wujud tunggal dan sifat agung, kemahakuasaan dan kemutlakan Hyang Widhi, ialah kedudukanNya sebagai Pelindung Dharma atau Pelindung Agama. Demi untuk mencapai kesempurnaan berupa Dharma sila dan budi luhur yang meberi Jagadhita, kesejahteraan dan kesentausaan umat manusia, kelepasan roh dari Punarjanma atau samsara, maka Ia mewahyukan ajaran kerohanian ke dunia.
Di dalam ajaran kerohanian terutama yang menempuh jalan Bhaktimarga sujud bakti kepada Icwara, Tuhan memegang peranan terpenting. Karena Ia dipergunakan sebagai kiblat pujaan sebagai Icwara Catur bhuya, Tuhan bertangan empat, yang melambangkan pengampunan, keadilan, kasih sayang dan pelindung, untuk memohon restu kepadaNya hendaknya Ia merahmati umatNya yang lemah dengan laksana dan budi yang tinggi, dan melindungi mereka dari dosa dan malapetaka. Selain dari pada itu di dalam Agama, Tuhan menjadi Saksi Agung pelindung keadilan rohaniah yang bergelar Yamadipari atau Dharmadewa, yang dapat mengetahui segala gerak langkah amal dosa semua mahluk, dan mengadili roh mereka dengan menjatuhi hukuman niskala terhadap yang berdosa, kini, diakhirat dan dalam penjelamaan yang datang dan mengampuni yang tobat serta merahmati yang beramal dengan kebahagiaan lahir batin. Swetawatara Upanisad menyebutkan :
Dharmawaham papanudam bhagecam
(Swatawatara Upanisad 6.6.)
Dia (Tuhan) adalah hakim kesusilaan Pelebur dosa, Sumber kemuliaan laksana.
Hyang Widhi Wasa Icwara, Mahadewa Caturbhuya sebagai Pelindung Dharma (Agama) adalah Pengendali kalbu semua mahluk. Dia yang mengendalikan hati umat manusia untuk menempuh jalan yang lurus guna mencapai kesempurnaan. Sebagai Pengendali kalbu Ia disebut Antaryami. Antar atau Antah berarti batin atau kalbu dan Yamin atau Yami berarti yang mengendalikan. Icwara Mahadewa Caturbhuya, mengendalikan kalbu umat agama, untuk mencapai Dharma untuk mendapat kebahagiaan, kesejahteraan mahluk (Jagadhita), Swarga, dan kebebasan Atma (roh) dari penjelmaan dan menunggalnya Atma (roh) dengan Parama Ciwa atau Norgunna Brahma (Roh alam semesta) untuk mendapat ketentraman rohani, suci yang disebut Moksa. Yogaskara sangraha Wijnana bhiksu dan Bhagawadgita menyebutkan :
Yah srstwa abjajawisnu camkaramyam
buddhyakhyasutrammahattattwam
satwarajastam maya mahamayaddehatah
antaryamitayornnabhawad aho
tenaiwa kurwan jagac cakrawyuham
idam nijancamacakan
badhanti tasmai namah.
(Yogasara sangraha Wijnana bhiksu 1. 1.)
Sembah sujudku kepadaNya, yang setelah menimbulkan Mahamaya (kekuatan atau kodrat yang maha kuasa) yang terdiri dari sattwa (energy yang menyebabkan ringan bagi benda dan sifat baik bagi mahluk hidup), Rajah (energy penggerak benda dan sifat lincah dan tangkas untuk mahluk hidup) dan Tamah (kekuatan atau energy yang menyebabkan benda maupun mahluk hidup lembam atau statis), lalu mencpta Mahat (benih yang maha besar dari segala yang ada di alam), benang pengikat alam yang bernama Buddhi (sumber maha tahu dan menentukan). Ia (Tuhan) yang menjadi Antaryami (Pengendali kalbu) menciptakan alam semesta ini bagaikan lingkaran nan membingungkan, bagaikan laba-laba yang menangkap binatang-binatang kecil.
Adhibhutam ksaro bhawah
purusac cadhidaiwatam
adhiyajno hamewatra
dehe dehabhrtam wara
(Bhagawadgita 8.4.)
Segala (benda dan mahluk)
yang dapat binasa (disebut)
Adhibhuta dan Purusa
disebut Adhidaiwa.
Adhiyajna (Antaryami atau
Pengendali kalbu) lah
Aku di dalam tubuh ini, Arjuna.
Demikianlah uraian Yogasara sangraha Wijnanabhiksu dan Bhagawadgita mengenai kedudukan Tuhan, Hyang Widhi sebagai Pelindung Agama atau Dharma dan menjadi Pengendali kalbu mahluk.
JIVATMA YANG ADA PADA MANUSIA
Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat Maha ada, Maha Kekal, tanpa awal dan akhir disebut Wiyapaka nirwikara. Wyapaka berarti : meresap, mengatasi, berada disegala tempat, pada semua mahluk, juga pada manusia.
Di dalam Veda Parikrama dikatakan sebagai berikut :
Eko Devah sarvabhutesu Gudhah sarvavyapi
Sarvabhutaratma Karmadhyaksah sarvabhutadivasab
Saksi ceto
Kevalo Nirgumasca.
Maksudnya :
Satu That yang tersembunyi dalam setiap mahluk yang mengisi semuanya yang merupakan jiwa bathin semua mahluk, Raja dari semua perbuatan, yang tinggal dalam setiap mahluk, saksi yang hanya terdapat dalam pikiran saja.
Percikan Tuhan dalam tubuh manusia disebut Atma atau Jiwatma.
Di dalam Aeteria Upanishad ke dua, 8, ditandaskan : Ia (Atman) adalah Brahman (Tuhan) pada diri manusia (Microcosmos atau Bhuana Alit), dan juga pada matahari (Macrocosmos) alam semesta, yang mana sebenarnya adalah satu. Atma adalah Brahma.
Sebagai yang telah kita ketahui bahwa yang disebut Bhuawa Alit (Microcosmos) itu ialah diri kita sendiri sebagai Jadma (baca jadma) atau manusia. Kita yakin dan harus yakin bahwa kita adalah Ia dari Atma, titisan atau turunan dari bagian kecil dari Tuhan, atau ada anu, (atoom Tuhan) dalam diri kita, Atman atau anu ini menitis atau turunan dari asalnya (Sangkaan) yang mulanya Nirguna kemudian memasuki Sugana yang disebut Perdana atau Pekerti yang biasa kita sebut Raga atau badan jasmani. Atman disebut juga jiwa (Jiwa) karea ia memberikan hidup raga itu. Jiwa, akar kata jiwa yang berarti hidup terus ; jiwa yaitu sesuatu yang hidup dan memberi hidup raga atau badan jasmani itu, jiwa raga disebut juga nama rupa. Jiwatma disebut nama, raga disebut rupa, tegasnya jiwatma itulah yang diberi nama si A, si B, si C, dan lain-lain.
Apabila jiwatmanya itu hilang dari raganya atau rupanya maka disebut mati, yang mati itu bukan si A, si B, si C itu. Yang mati ialah raga itu karena ditinggal oleh atmanya itu.
1. Ramuan raga itu adalah dari zat Panca Maha Butha, yaitu :
a. Tulang belulang dan daging tubuh manusia berasal dari zat Pertiwi.
b. Darah, lemak, kelenjar-kelenjar dan air badan dari zat apah.
c. Panas (yang sehat ± 37oC) dan cahaya badan berasal dari Teja atau Geni.
d. Nafas dan udara badan berasal dari Bayu.
e. Rambut badan dari Akasa.
f. Sel darah putih perkembangan dari jiwatma dan sel-sel darah merah dari zat Predana sari-sari Panca Maha Butha.
2. Tubuh manusia seluruhnya memiliki daca-golakatma marga, yaitu sepuluh saluran jalan bagi sirna kekuatan jiwatma sehingga dapat bekerja merupakan Dasendrya. Dasendya itu terbagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Panca Budhindrya yakni :
1) Caksuindrya, indrya yang menilai baik buruknya rupa benda, melalui mata.
2) Srotendrya, indrya yang menilai baik buruknya suara melalui telinga.
3) Ghranedrya, indrya yang menilai baik buruknya bau melalui hidung.
4) Jihwendya, indrya yang menilai sad rasa benda melalui perasaan lidah.
Sad rasa yaitu :
• kotu (pedas) • lawana (asin)
• amla (asam) • tikta (pahit)
• madura (manis) • kesaya (sepet)
5) Tuakindrya, indrya yang menilai perasaan panas dingin, halus, kasar, melalui kulit.
b. Panca Karmendrya yakni :
1) Panindrya, indra pekerja dengan tangan.
2) Padendrya, indra pekerja dengan kaki.
3) Gharbendrya, indra pekerja dengan perut.
4) Upastendrya, indra pekerja dengan kelamin laki-laki.
(Bhagendrya, indra pekerja dengan kelamin wanita).
5) Paywindrya, indra pekerja dengan pantat.
Dasa gola katma-marga ini dapat melakukan tugasnya sebagai dasendrya apabila dapat sinar kekuatan dari Jiwatma.
3. Tubuh kita mempunyai 3 lapis badan yang dinamai “Tri Sarira” yaitu :
a. Sthula sarira yaitu badan kasar yang didapat ditingkatan alam yang terendah atau Bhur-loka. Sthuka sarira (physic-body) yang didapat di Bhur Loka ini, maka ia bergerak mengadakan kerja guna-tamas yang bersifat sakti arta gerak kerjanya berat sebagai alun gelombang-gelombang samudra yang besar-besar dan bersifat keduniawian. Bekerjanya malas dan selalu merasa kurang senang, dan mengharap keuntungan dengan jalan mudah. Tiap-tiap manusia memiliki Tri guna dan Tri sakti ini, namun perbandingannya berbeda-beda.
b. Suksma sarira atau Linggha sarira, badan halus didapat ditingkatan alam kedua dari bawah yang dinamai Bhuah Loka; Suksma sarira atau Linggha sarira yang di dapat dengan cara otomatis di ruang alam tingkatan kedua dari bawah yang dinamai Bhuah Loka atau Mrgasatwama-Loka, maka ia menggeletar mengadakan kerja yang disebut guna rajas dan bersifat sat kama. Gerak kerjanya gelisah mersah dengan hebat laksana air samudra ditiup angin ribut menimbulkan gelora keinginan dan cita-cita amat deras dengan kekuatan usahanya sendiri, misalnya ingin dan bercita-cita menjadi orang yang pandai, orang berkuasa, orang berkedudukan tinggi, orang kaya, orang sakti dan lain sebagainya yang hebat di mata dunia.
c. Anta-karana-sarira, badan yang lebih halus yang di dapat ditempatnya sendiri di ruuang alam tingkat ketiga dari bawah yaitu Swah-Loka. Ketiga lapis badan ini bekerja menurut sifatnya masing-masing. Anta-karana-sarira itu yaitu lapisan badan yang lebih halus dari dua lapisan badan lainnya, yang dibawa dari tempat aslinya sendiri di ruang alam ketiga dari bahwa yang disebut Swah Loka atau Jatma Loka, apabila kena kekuatan jiwatma maka ia bergerak mengadakan kerja yang disebut guna satwam dan bersifat sakti dharma. Kerjanya tenang tentram laksana air kolam yang terlindung dari rayuan embusan bayu (angin) menimbulkan sifat-sifat dan bakat yang sabar adil, tahu akan hak dan kewajiban yang disipliner, memiliki rasa pri-kemanusiaan yang gemilang dan rasa ke-Tuhanan yang sangat yakin. Keindahan rasa seni yang tinggi memancar dari dalamnya dengan corak warna yang damai sehingga dapat membangun rasa bahagia yang mesra yang suci.
Tri Guna berhubungan erat dengan Dasendrya, yaitu : Panca Karmendrya, Panca Budhindrya dan Panca Tan Mantra.
1. Guna Rajah (Rajas) menguasai Panca Budhindrya.
2. Guna Satwam (Satwam) menguasai Panca Tan Matra. Yang berikut Panca tan Matra yaitu : rupa, sabda, gandha, rasa dan sparsha. Letak Panca Tan Matra itu diantara Guna Satwam dengan Guna Rajas atau diantara lapisan badan anta karana dengan suksma sarira.
3. Guna Tamas (Tamah) menguasai Panca Karmendrya.
Pelaksanaannya dalam praktek sehari-hari adalah demikian :
Mula-mula Panca Budhindrya yang bekerja dengan bantuan Guna Rajas yang menaruh sakti kama, misalnya : mata melihat suatu benda, tetapi bila tidak disertai Rajas maka mata itu tidak menaruh perhatian kepada benda yang dipandangnya, sama halnya dengan pandangan mata yang sedang termenung tidak memperhatikan apa-apa. Tetapi bila mata itu dibantu oleh rajas maka merupakan Caksuindrya, menaruh perhatian, yang sungguh-sungguh dengan nafsu yang ingin mengetahui. Setelah pandangan kepada benda itu lewat, maka di ruang pandangan khayalnya tampak pula benda yang dilihatnya tadi itu nyata-nyata. Inilah yang dinamai rupa tan matra.
Demikian pula halnya dengan pendengaran telinga yang disertai dengan crotendrya memberikan bekas pada ruang pendengaran khayalnya suatu cabda-tan-matra; pencium bau oleh granedrya memberi kesan gandha tan matra; perasaan lidah kepada sad rasa memberi kesan rasa tan matra; persentuhan atau perabaan kulit kepada suatu benda memberikan kesan separsa tan mantra.
Kesan-kesan yang merupakan panca tan matra itu ditimbang oleh Tri Guna yaitu ; Satwam, Rajas, Tamas yang bersifat Sakti yaitu : Darma, Kama, Artha.
Timbangan satwam dilakukan dengan Dharma, yaitu wiweka dan seni untuk menilai baik, buruk atau indah kasar saja.
Timbangan rajas dilakukan dengan rajas atau nafsu keinginan apabila nafsunya bergelora maka telah dianggap baik dan ingin memiliki. Jika nafsunya tidak bergelora, sekalipun dianggap baik oleh satwam, tak ingin memilikinya.
Timbangannya Tamas hanya dilakukan dengan Artha yaitu ketamakan tentang Artha benda dunia dan menjadi pembantunya Rajas. Kalau Rajas mengatakan baik, Tamas ingin mengambil saja, kalau Rajas mengatakan buruk, Tamas ingin menolak.
Rajas Tamas itu juga merupakan musuh enam dalam badan yang biasa disebut Sad Ripu, yaitu :
1. Kama (keinginan-keinginan)
2. Krodha (kemarahan)
3. Lobha (loba-tamak)
4. Moha (kemabukan)
5. Mada (congkak dan lengah)
6. Matsarya (iri hati)
Sad Ripu ini biasa mengganggu kita sehari-hari sehingga sering dada kita merasa panas karena keinginan-keinginan, karena kemarahan-kemarahan, karena loba tamak, karena kemabukan, karena kecekcokan dan iri hati. Rasa panas dalam dada itu biasa meninggalkan baccil penyakit dan tekanan darah.
Karena atman itu sesungguhnya adalah Brahman yang keadaannya terkurung dalam tiap-tiap mahluk, maka atman itu luput daripada Wisaya (Keadaan lahir, mati sakit dan lain-lainnya), akan tetapi jiwa (sebagai saktinya atman) dapat Kena wisaya karena dapat digelapkan oleh hrdaya/badan rohani (misalnya : mencaci, memfitnah, membohong, dan sebagainya) dan dapat ditekankan oleh angga / badan jasmani (misalnya : sakit, merana, luka-luka dan sebagainya). Jika badan wadag (raga sarira) yang merupakan badan wadag dari atman itu binasa, maka atman akan kembali kepada asalnya atau berpindah kepada badan wadag yang baru. Dalam Bhagavadgita II, 17-25, dikatakan bahwa atman atau roh tidak dapat dihancurkan dan meliputi semesta alam. Yang tidak kekal adalah raga kita, yang kekal adalah yang mengisi raga kita. Atman bersifat abadi. Siapa yang menganggap atman membunuh atau terbunuh, dia sesungguhnya tidak mengerti “sejatining” kebenaran. Dia tidak pernah dilahirkan atau mati, dia tak dapat dibunuh, meskipun raga yang dipakainya terbunuh. Seperti manusia menanggalkan pakaian tua dan mengenakan pakaian yang baru. Demikianpun pendukung raga melepaskan raga yang telah usang dan beralih keraga yang baru. Atman itu kekal, tidak dapat dibakar, dan tak dapat dibasahi, tak dapat dikeringkan. Senantiasa abadi ada dimana-mana, tak berubah sifatnya, tetap tegak, kokoh kuat. Tidak dapat dilihat tak dapat dipikirkan, sifatnya tidak berubah. Maka jika manusia telah mengenal dia, kau tak akan bersedih hati atau berduka bila ada kematian. Atman dan wadag dapat diibaratkan dengan motor dan mesinnya atau laksana matahari dan bumi. Di dalam bisma parwa dikatakan :
Yang artinya :
Sebagai rupa / keadaan Sang Hyang aditya menerangi dunia, demikianlah Sang Hyang atman menerangi badan. Dialah yang menyebabkan kita dapat berbuat.
Kitab suci Veda mengajarkan bahwa atman/Jiwatman, yaitu roh pada tiap-tiap mahluk sama wujud dan sifatnya dengan Nirguna Dharma (Parama Atman = Sanghyang Widhi Wasa). Ajaran tersebut menandaskan “Brahman (N) Atman aikyam” artinya : Brahman dan Atman itu tunggal. Tunggalnya Atman dan Nirguna Brahman bagaikan hawa dalam suatu ruangan dengan hawa di angkasa. Sedangkan ikatan peraasaan terhadap benda-benda duniawi adalah penghalang menunggalnya atman dengan Brahman (Brahman-Atman). Jadi Atman itu tiada lain dari pada percikan Brahman yang terpisah. Perpisahan Atman dengan Brahman disebabkan oleh sifat Avidya (tidak tahu) dan karena avidya itu orang mudah terpengaruh oleh maya (bayangan khayal) yang mengakibatkan kesenangan, akan tetapi orang yang menyadari dan benar-benar mengetahui bahwa apa yang dilihatnya / dialaminya ini hanya maya adanya dan berusaha untuk menghindarkan dirinya dari belenggu maya itu, maka ia akan mencapai kebebasan yang agung dan hidup abadi, seperti ditandaskan dalam kitab Upanisad sebagai berikut :
Angusthamatrah Puruso : Ntaratman
Sada Jananam Hrdaye Samnivisbthah
Hrda Manisi Manasbhiklrto
Ya etad Viduramstaste Bhavanti.
Artinya :
Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusha)
Ia adalah yang paling kecil.
Yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran.
Mereka yang mengetahuinya menjadi abadi.
Dalam kitab Bhagavadgita ada yang ditandaskan sebagai berikut : orang yang jiwanya tidak terikat oleh sentuhan duniawi, akan mendapat kebahagiaan bathin, dan orang yang sukmanya selalu menunggal dengan Brahma itu ia akan mencapai kebahagiaan abadi.
HUKUM KARMA
Karma (adalah bahasa Sansekerta dari urat kata kr = membuat) berarti perbuatan. Menurut Hukum Sebab dan Akibat (causality) maka segala sebab akan membawa akibat. Segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil perbuatan. Segala karma (perbuatan) akan mengakibatkan karma phala (hasil atau phala perbuatan). Hukum rantai sebab dan akibat perbuatan (karma) dan phala perbuatan (karma phala) ini disebut : “Hukum Karma”.
Akaranam katham karyam
samsaretra bhavisyasti
(Dewi Bhagawata 1, 5, 74)
Mungkinkah (suatu) perbuatan tiada sebab (dan akibatnya) di dalam (lingkaran) samsara (lahir dan mati) disini.
Karma phala ngaran ika,
phalaning gawe hala haju.
(Clokantara 68)
Karma phala artinya akibat (pahala), dari buruk (suatu) perbuatan (karma).
Cubhacubha Karma (cubhacubha Prawrtti)
A. SORGA DAN NERAKA
Menurut ajaran agama (dharma) yang diwahyukan ke dunia dengan perantara para Rsi-rsi, maka segala baik buruk perbuatan (cubha karma atau cubhacubha prawrtti) akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga di akhirat (swarga dan neraka) setelah atma (roh) dengan suksma cariranya (badan astral) terpisah dari stula carira (badan wadah) dan membawa akibat pula dalam penjelamaan yang akan datang (Punarjanma) setelah atma (roh) bersama dengan Suksma carira-nya bersenyawa lagi dengan Stula carira (badan wadah yang baru) Tuhan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Tahu) akan menghukumnya, yakni hukum yang bersendikan pada Dharma, dan Dia akan merakhmati Atma (roh) seseorang yang berjasa dan yang melakukan amal saleh serta kebajikan yang suci (cubha karma) dan dia pun akan mengampuni Atma (roh) seseorang yang pernah berbuat dosa, bila ia tobat dan tawakal serta tidak akan melakukan dosa lagi. Tuhan Yang Maha Tahu bergelar Yamadipati (Pelindung Agung Hukum Keadilan) yang selalu menjatuhi hukuman kepada atma (roh) yang tiada henti-hentinya melakukan kejahatan atau dosa (acubha karma) dan memasukkan ke dalam neraka. Adapun penjelmaan Atma (roh) yang semacam ini adalah sangat nista sekali dan derajatnyapun semakin bertambah merosot, jika ia selalu berbuat jahat (acubha karma).
Devanam narakan jaturjantunam narakam pacuh,
Pacunam narakam nrgo mrganam narakam khagah,
Paksinam narakam vyalo vylanam narakam damstri,
Damstrinam narakam visi visinam naramarane.
(Clokantara : 40, 13 – 14)
Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia.
Manusia menjadi ternak.
Ternak neraka menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular yang neraka menjadi taring, (serta) taring yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia.
Demikianlah kenerakaan yang dialami oleh Atma (roh) yang selalu berbuat jahat dan doyan melakukan dosa. Jika telah sampai pada limit penjelmaan, yang terhina akibat dari dosanya maka ia tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah neraka.
Yamadipati juga bergelar Darmadewa, atau Bhatara Dharma, sebagai pelindung dharma yang memberkahi Atma (roh) yang melakukan cubha karma (perbuatan saleh) serta mengampuni orang yang tobat dan tawakal terhadap dosanya.
Asing sagawenya dadi manusa, ya ta iningetaken de
Bhatara Widhi, apan sira pinaka paracaya Bhatara ring
cubhacubha karmaning janma
(Wrhaspati tattwa . 22)
Segala (apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan (menjadi) manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh Bhatara Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) karena dia sebagai saksi (dari) baik-buruk (amal dosa) perbuatan manusia.
Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama, sang kumayatnaken cubhacubha prawrtti nikang sekala janma.
(Agastya Parwa 355, 15).
Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (pelindung keadilan) yang mengamat-amati (mengadili) baik-buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.
Pengaruh Karma itu pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia. Oleh karena itu bermacam-macam jenisnya dan tak terhitung banyaknya, maka watak manusiapun beraneka macam pula ragamnya. Karma yang baik menciptakan watak yang baik dan karma yang jelek akan mewujudkan watak yang jelek dan jahat.
Segala macam karma yang dilakukan oleh mahluk ; terutama manusia, akan tercatat selalu dalam alam pikirannya (Citta-nya) yang kemudian akan menjadi watak dan pengaruh pula terhadap Atma (roh)-nya.
Hukum karma yang mempengaruhi seseorang bukan saja akan diterimanya sendiri, akan tetapi akan diwarisi oleh anak cucu atau keturunannya juga. Banyak kita melihat contoh-contoh di dunia ini bahwa misalnya ada seseorang yang dapat hidup mewah, karena mendapat kekayaan yang banyak dengan jalan yang tidak halal atau jalan kejahatan, misalnya dengan jalan mencuri, mendustai orang lain atau dengan memeras orang lain. Namun setelah orang itu mati dan kekayaannya itu lalu diwarisi oleh anak cucunya, maka anak cucunya ini sering mempunyai watak menghamburkan kekayaan itu dengan tidak semena-menanya, sehingga harta warisan itu bisa habis sehingga yang mewarisi itu menjadi miskin melarat serta selalu menderita tekanan batin. Ini adalah disebabkan oleh pengaruh karma dari leluhurnya yang langsung dapat mempengaruhi keturunannya.
Sarvesam anyatha rupam jnanam ;
anyatprawarttate matur jnana nubhawena ;
praja wai wa cubhacubha.
(Agastya Parwa 382 . 4)
Semua (mahluk) berbeda-beda rupa dan wataknya karena watak dan keadaan hidup ibunya (leluhurnya); maka makhluk itu (menemui) bahagia dan penderitaan (baik dan buruk).
Papam karma krtam kimcid ;
Vadi tasmin na drasyate nrpate tasya putresu ;
Putreswapi ca naptran.
(Cantiparwa 129.21)
Walaupun pahala kejahatan perbuatan seseorang tiada terlihat pada orang itu sendiri; (meskipun) raja, namun (pasti terlihat) pada anak cucu sampai buyutnya juga.
Oleh karena itu ajaran Agama (Dharma) menekankan benar ; hendaknya manusia berlaku tidak menyimpang dari petunjuk kerohanian atau Dharma, karena akibat perbuatan jahat atau dosa itu sangat berat hukumnya dan hukum itu akan dijatuhkan dari suatu pengadilan yang tiada kelihatan, yang amat berkuasa untuk menenggelamkan manusia jahat itu ke dalam api neraka di akhirat dan dalam penderitaan batin atau tekanan hidup yang datangnya tidak didasari dan secara perlahan-lahan, kalau tidak pada waktu hidup, sekarang, mungkin di akhirat dan dalam penjelmaan yang akan datang atau akan diterima oleh anak cucunya. Orang yang mempergunakan Dharma sebagai tujuan hidup yang utama, dan mengabdi terhadap sesama mahluk dan beramal saleh untuk kesejateraan sesama mahluk serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, maka orang itu akan mendapat berkah dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, yakni kebahagiaan akhirat (sorga). Jika roh (Atma) itu akan menjelma kembali maka ia akan dapat mengenyam kebahagiaan hidup di dunia (Swargacyuta).
Banyak terdapat orang yang walaupun hidupnya nampaknya sederhana tetapi ia mempunyai jiwa yang tenang dan bahagia. Di samping itu banyak pula orang yang nampaknya dari pandangan luar sangat bahagia karena ia memiliki timbunan harta kekayaan yang banyak, serta menghambur-hamburkan nafsu duniawinya, namun hatinya penuh dengan penderitaan dan kedukaan yang berjenis-jenis yang selalu mengancam dirinya, misalnya pikirannya tidak tenang, selalu merasa was-was lantaran pernah berbuat kurang baik dalam mencari kepuasan duniawi itu dan sebagainya. Kesemuanya hal tersebut di atas itu adalah disebabkan oleh cubhacubha karmanya masing-masing. Tiap-tiap perbuatan atau gerak yang dilakukan sadar atau tak sadar semuanya akan berbekas di dalam alam pikiran (citta). Oleh karena itu tiap-tiap mahluk terutama manusia tidak dapat menghindari adanya cubhacubha karma phala (pahala dari pada baik buruknya perbuatan).
Ilmu pengetahuan juga mengatakan bahwa walaupun pergerakan tubuh yang tidak disadaripun berpusat pula dalam suatu bagian alam pikiran (psycho) apalagi segala perbuatan (aktiviteit) yang dilakukan dengan sadar dengan sendirinya melekat dalam alam pikiran dan banyak diantaranya yang teringat sampai ajall tiba. Pada saat mahluk / manusia itu meninggal dunia maka yang hancur adalah hanya stula sarira (badan wadah)-nya saja, sedangkan atma tetap ada dan memberi kekuatan hidup kepada suksma carira yang terdiri dari alam pikiran atau citta (yang terdiri dari budhi, manah, ahangkara, panca jnanendria dan panca karmendrya) pancatanmatra dan prana (extra tenaga). Dengan sendirinya pula segala bekas-bekas dari gerak atau perbuatan-perbuatan yang melekat pada alam pikiran semasih manusia (mahluk) itu hidup, turut menjadi suksma cariranya bila manusia (mahluk) itu sudah meninggal. Adapun segala bekas-bekas atau kesan-kesan dari segala gerak atau perbuatan yang tercatat atau melekat pada suksma carira dan extra energy atau alam pikiran itu disebut : Karma Wasana.
Karma berarti perbuatan dan wasana berarti bekas-bekas atau sisa-sisa yang masih melekat. Karma wasana artinya bekas-bekas atau sisa-sisa perbuatan yang masih melekat :
Kadyangganing dyun wawadah ning hinggu, huwus hilang hinggunya pinahalilang, kawekas ta ya ambonya, gandhanya rumaket irikang dyung, ndah yatika wasana ngaranya, samangkana tekang karma wasana hana ring atma rumaket djuga ikang karma wasana ngaranya, ya tika umuparengga irikang atma.
(Wrhaspati tattwa 3 – 35)
Bagaikan tempayan yang menjadi tempat kemenyan, setelah hilang dan habis kemenyannya, berbekaslah baunya itu, melekat pada tempayan, maka itulah yang disebut wasana (bekas-bekas), demikian juga karma wasana (bekas-bekas dari baik-buruk perbuatan) yang terdapat pada Atma (roh) dikatakan melekat juga. Karma wasana (bekas-bekas) perbuatan itulah yang membalut Atma (roh). Oleh karena Atma dalam perwujudannya memberikan kekuatan hidup pada suksma carira, atau badan astral dibalut oleh karma wasana (bekas-bekas baik dan buruk perbuatan) itu, maka dari itulah sebabnya Atma akan mengalami sorga (kebahagiaan akhirat) atau neraka (hukuman akhirat) dan mengalami penjelmaan kembali (punarbhawa) yaitu menjadi mahluknya, sesuai dengan perimbangan dari pada baik buruk atau amal dosa yang telah tercatat dalam karma wasananya dahulu. Jadi karma wasana itulah yang menentukan pahala atau hasil yang akan diterima serta dialami oleh Atma itu.
Yata dumayaken ikang janma mapalenan, hana Dewajoni, hana Widyadharayoni, hana Raksasayoni, hana Daityayoni, hana Nagayoni, akweh prakaraning yoni sangkawan pangjanma, yata matangyan kepwa duduwecanya ……….
(Wrhaspati tattwa 3-35)
(Karma wasana) itulah yang menyebabkan (adanya) penjelmaan yang berbeda-beda, ada penjelmaan Dewa (Roh suci), ada penjelmaan Widyadhara (roh yang bijaksana), ada penjelmaan Raksasa (roh angkara murka), ada penjelmaan Daitya (roh yang keras hati), ada pula penjelmaan Naga (roh yang mempunyai watak yang berbelit-belit, seperti ular) dan banyak (lagi) macamnya yoni (benih-benih penjelmaan atau karma wasana) itu, yang merupakan sumber penjelmaan, oleh karena itu (maka) masing-masing (mahluk) berbeda-beda sifatnya.
Di dalam dongeng di Bali disebutkan bahwa Bhatara Yamadipati (Tuhan sebagai Jaksa Agung Akhirat) mempunyai juru tulis Daitya yang bernama Sang Suratma yang mencatat baik buruk karma dari semua mahluk yang hidup di dunia ini. Kalau dikupas secara filsafat, jelaslah bahwa Sang Suratma adalah : suatu kekuatan Hukum Kodrat Tuhan yang menyebabkan bahwa segala cubha acubha karma (amal perbuatan) mahluk selalu berbekas atau tercatat di dalam alam pikiran (citta) atau di dalam suksma cariranya atau badan astralnya. Jadi jelaslah bahwa Sang Suratma itu tiada lain dari pada alam pikiran itu sendiri.
Di atas telah diuraikan dengan panjang lebar mengenai subha karma (Cubha acubha prawrtti) yaitu baik buruk atau amal dosa dari suatu perbuatan yang merupakan dasar dari pada karma phala (hukum karma). Karma yang baik dan mulia yang berpedoman pada dharma yang juga disebut subha karma akan membuahkan kebahagiaan-kebahagiaan hidup lahir batin dan karma yang jahat hina dan adharma yang juga dinamakan asubha karma akan mendapatkan pahala berupa penderitaan dan kesengsaraan lahir batin.
Tujuan Agama Hindu ialah menghendaki umatnya dapat bebas dari belenggu kesengsaraan lahir batin yakni terlepas dari ikatan samsara dan penjelmaan sehingga ia mendapat kebahagiaan yang kekal abadi lahir batin yang disebut : moksa. Untuk ini disajikan ajaran-ajaran kerohanian berupa dharma kepada umatnya dan umat itu sediri harus melakukan dharma itu dengan konsekwen. Sebagai yang telah tercantum dalam ajaran catur purusartha, maka tujuan hidup yang tertinggi dari pada Umat Hindu ialah Dharma dan Moksa yaitu kebebasan yang terakhir dan kebahagiaan yang kekal serta lepas dari ikatan pengaruh gelombang dan pasang surut dari suka dan duka. Adapun tangga yang patut ditempuh untuk dapat mencapai alam moksa itu ialah kesusilaan, amal saleh, budi luhur, pengabdian yang suci dan kebajikan itu sendiri. Manusia harus menyadari bahwa ia tidak akan luput dari pengaruh Hukum Karma. Oleh karena selama hidupnya manusia itu senantiasa menghidupkan Karma (perbuatan yang baik atau buruk) dan dari karma itu pula akan mendatangkan hasil (pahala) yang bermacam-macam pula sesuai dengan karam yang telah diperbuat. Hasil inilah yang pasti akan dipetik oleh yang bersangkutan itu, kalau tidakk pada waktu sekarang mungkin akan dipetik oleh Atma (dengan suksma carira) di akhirat, atau pada waktu penjelmaan yang akan datang dan mungkin pula akan dipetik oleh anak cucunya sampai tujuh turunan.
Oleh karena Hukum Karma itu tidak akan dapat dihindari oleh setiap mahluk, maka dari itu manusia haruslah berusaha dengan tekun untuk menanam karma yang baik (cubha karma) dengan berpedoman pada dharma sehingga kelak dapat memetik pahalanya yang baik pula.
Kayiko vacikac caiva jnaman eva tatahaiva ca natakanam nimittatvam swarga sapanam eva ca ….
Kalingannya, tiga pratyakan ika manuwuhaken swarga mwang naraka ulah, cabda, ambek, teka ta maka nista madya, mottama. Lewih phala ikang cabda sakeng ulab, luwih phala ikang ambek sakeng cabda. Hana pwawwang samagri denya gumawayaken ikang wuwusnya tan rahayu nguni weh ambeknya tan rahayu ageng ikang kapapah tinemahanya.
(Agastya parwa 351 . 15)
Ada tiga hal yang menimbulkan sorga (kebahagiaan akhirat) dan neraka (kesengsaraan akhirat) pebuatan, perkataan dan pikiran (dan) ketiganya itu (mempunyai tingkat) rendah, menengah dan utama. Lebih tinggi nilai (pahala) perkataan dari pada tingkah laku (perbuatan) (dan) lebih tinggi nilai (pahala) pikiran dari perkataan. Adapun orang yang sengaja olehnya melakukan perbuatan yang jahat (misalnya) perilakunya tidak baik, dan kata-katanya tidak baik, lebih-lebih (jika) pikirannya yang tidak baik, maka besar sekali dosa yang akan ditemuinya.
Sekarang jelasnya bagi kita bahwa yang memegang peranan penting dalam kehidupan ini serta yang akan menentukan kebahagiaan atau penderitaan itu ialah pikiran. Jika pikiran (citta) itu akan melakukan perintah yang kesasar dan akan menyebabkan manusia itu akan menemu hidup yang kesasar pula.
Akan tetapi jika itu dikendalikan oleh Dharma maka segala perbuatan itupun akan penuh dengan kebaikan serta akan dapat mendatangkan kebahagiaan. Maka dari itu haruslah berpikir dengan baik dan menuruti dharma dan berusahalah menyisihkan pengaruh nafsu terhadap pikiran itu.
Ikang manusa dwa yatapisan ingu ya wenang amasahaken manawa lawan cariranya, apa pinaka hulun ing sad warga piswabhawanya.
Duweng tikang tri kaya paramatha ginaweyakennyasakerengi, ikang kayika, wacika, manacika. Tan sah mapunya Kayika ngarannya, ikang tan gumaweyakenang cila, tan panut ring para ya kayika ngaranya. Tan sah mangucarana mantra tan sah madjar amanis ika wacika ngaranya.
Tan sah magawe bhuwana pratipati ring asta Dewata sinagguh manacika ngarannya. Yatika gaweyakenya vatan van tan kakelen ring sengsara-sagara.
(Agastya parwa 377-5)
Manusia ini sungguh sukar baginya untuk dapat memisahkan pikirannya dari badan wadah (nafsunya) oleh karena (badan wadah itu) adalah abdi dari pada sad warga (enam) sifat-sifat yang tidak baik. Tepatilah dengan baik ajaran Tri kaya para martha itu untuk dilaksanakan (mulai) sekarang, yakni (yang disebut) kayika, wacika dan manacika. Tidaklah lupa melakukan amal saleh adalah kayika namanya, (dan) melakukan perbuatan yang tidak menyakiti orang lain (itupun) kayika juga namanya. Tidak lupa mengucapkan mantra-mantra, (dan) berkata manis (lemah lembut) disebut wacika. Selalu melakukan pemujaan terhadap asta Dewata (delapan perwujudan atau manifestasi Tuhan) disebut manacika. Itulah yang patut dilakukan, sehingga tidak tenggelam di dalam lautan samsara.
Sad warga, dapat juga disebut sad ripu yaitu : enam macam musuh yang berupa kegelapan yang sering menjerumus manusia kelembah kesengsaraan yang terdiri dari :
a. Kama (raga) = hawa nafsu
b. Krodha (dwesa) = kemarahan
c. Loba (irsya) = tamak (iri hati)
d. Matsarya = sifat dengki
e. Moha = kemabukan
f. Mada = keangkuhan
Urutan dari sad ripu atau sad warga itu urutannya sering terdapat berbeda-beda yakni dalam nomor a, b, c di atas itu.
Untuk menghindarkan diri dari lautan neraka itu maka manusia ini harus patuh dan taat tekun melakukan ajaran tri kaya paramartha atau tri kaya parisuda itu. Guna dapat melaksanakan ajaran tri paramartha itu dengan sempurna. Guna dapat melaksanakan ajaran tri paramartha itu dengan sempurna, memang sukar, namun demikian ajaran itu harus dapat dilaksanakan, pertama-tama dengan melenyapkan pengaruh dari hawa nafsu dan sar warga atau sad ripu terhadap pikiran sehingga pikiran itu bebas dan cenderung pada sifat-sifat Satwam.
Kvebe karanam tranti samsarah.
Kapana yan-lepasa kari sangsararbawa vakari. Ya kari katon de sang mangabyasa kawairagwan matangnwa tar kasanggraheng wa hya sukha, kewala kumel-kumel sawak nira ri kasantosan, umening Sad warga ya ta mangun ikang dwesa, raga, moha, sari-sari ndatan hana wwit nika aneh, bheda sangke atah karana atah karana ngaranya maweruh pwa siranmanah wwitning cubhacubha prawrtti. Matangnyan prih kahretanva tan Wehen swa Wisayannya.
(Agastyaparwa 375-10).
Inilah yang selalu tampak terlihat oleh (orang) yang mempelajari kesempurnaan rohani, maka (beliau) tidak terpengaruh oleh kenikmatan duniawi itu. Melainkan selalu berusaha mengisi dirinya dengan (Ilmu) kesempurnaan (rohani) (dengan) melenyapkan pengaruh dari warga itu (sad warga) oleh karena sad warga itulah yang menimbulkan sifat-sifat marah, kenafsuan, keangkuhan dan sebagainya setiap hari. Tidak lain (caranya untuk melenyapkan sad warga itu) kecuali dengan jalan antah karana artinya pikiran yang menyadari tentang asal mula dari pada baik buruknya (suatu) perbuatan. Maka dari itu usahakanlah pengendalian (terhadap sad warga itu) dan jangan diberikan pada obyek penguasanya masing-masing. Yang merupakan penghalang dari pelaksanaan dari tri kaya paramartha atau tri kaya parisuda itu ialah sad warga atau sad ripu, maka sad warga (sad ripu) ia harus dihilangkan pengaruhnya terlebih dahulu untuk dapat dengan sempurna melakukan ajaran tri kaya paramarta itu. Meleyapkan pengaruh dari sad warga itu harus dengan keberanian yang kuat tapa, berata yoga, semadi dan bhakti terhadap Tuhan dan dengan keteguhan Iman menumpas segala pengaruh dari nafsu-nafsu itu. Tidak pernah putus asa senantiasa bersemangat dan tekun untuk mencapai tujuannya.
Garvakilita harabat
kadi hira baira pinakawaken ring watu, kadi teguh ika mwang pisan ingun ika molaha, mangkana teguh nikangmanah mwang pagehayu. Ri telasnya enak apageh nika pratisthan ikang manah ring antah hrdaya.
(Agastyaparwa 375 – 25)
Sebagai Hira Bajra (?) yang dibadani oleh batu kekuatannya serta tidak dapat bergerak sama sekali demikianlah (hendaknya) kekuatan dan keteguhan dari pikiran di dalam hati sanubari.
Nihan dening manghilangaken ahangkara ritelasnyan enak kawacan manah dentah, haywa ta wineh masang yoga lawan carira, Hilang ahangkara mapisan lan catur bhuta ri hilang ikang ahangkara sa moksam abhigacchati, kapangguh tang kamoksan.
Beginilah caranya menghilangkan ahangkara setelah pikiran itu dapat dikuasai (pengendaliannya) dengan baik, jangan lagi diberikan bertemu dengan unsur-unsur badan wadah (nafsu) dan sebagainya, maka lenyaplah (pengaruh ahangkara) dan keempat unsur kejasmaniannya itu setelah (pengaruh) ahangkara itu lenyap, maka moksa (kebahagiaan yang abadi) itu akan didapati.
Dengan meneliti beberapa kutipan di atas itu maka dapatlah kita gambarkan yang jelas bahwa yang memegang peranan penting di dalam diri mahluk itu ialah alam pikiran atau citta (yang terdiri dari buddhi, manah, ahangkara, panca jnanedrya dan panca karmendrya itu). Di atas telah dikatakan bahwa segala gerak dan perbuatan itu bersumber pada alam pikiran (citta) dan segala bekas gerak atau perbuatan itu senantiasa akan tercatat di dalam alam pikiran itu.
Bila mahluk atau manusia itu mati, makak yang membalut atma itu ialah alam pikiran itu juga disertai pula dengan unsur-unsur panca tan mantra sehingga disebut suksma carira (badan astral).
Bila segala catatan-catatan di alam pikiran itu lebih banyak adharmanya, maka roh itu akan mendapat neraka dan kesengsaraan. Tetapi jika catatan yang terdapat di dalam alam pikiran itu penuh dengan dharma, maka roh itu akan mendapat kebahagiaan akhirat atau kebahagiaan dalam penjelamaan yang akan datang roh itu akan mendapat kebahagiaan akhirat ini dapat menginjak alam Dewa (Dewa bhawa), akan tetapi bila alam pikiran itu dapat terlepas dari ikatan keduniawian serta penuh dengan sifat-sifat Dharma yang luhur maka alam pikiran dan panca tan matra itu tidak lagi membalut Atma sehingga Atma dapat dengan bebas kembali keasalnya yakni Paramatma inilah yang dinamakan moksa. Sukma carira itu dapat diumpamakan seperti blader sedangkan Atma dapat diumpamakan dengan udara yang menghubungkan blader itu. Sementara udara itu berada di dalam blader dan mengembangkan blader itu maka udara itu tidak dapat berhubungan dengan udara yang berada diluarnya dan udara yang berada di luar blader itu dapat diandaikan dengan paramatma (Hyang Widhi).
Bila blader itu sudah pecah maka barulah udara yang ada di dalam blader itu dapat bertemu dengan udara yang di luar blader itu. Demikianlah halnya atma yang dibalut oleh suksma carira itu. Bila suksma carira itu hancur barullah Atma dapat bersatu dengan Paramatma inilah yang dimaksud dengan moksa. Atma yang telah mendapat moksa mengalami kebahagiaan yang tertinggi yaitu suka tan pawali duhka (nicreyasah) bebas dari pengaruh pasang surut gelombang suka dan duka serta tidak akan mengalami penjelamaan kembali (Punarbhawa) dan kembali pada sifat-sifat aslinya yang sama dengan Paramatma (Brahma) atau Hyang Widhi Parama Ciwa (Parama Nirbhana).
B. PELEBUR DOSA, REDEMKTION
Oleh karena moksa itu sangat sukar akan didapati oleh orang kebanyakan dan hanya dapat dicapai oleh beberapa orang yang benar-benar suci seperti beberapa Para Maha Rsi-rsi saja maka dari itu bagi orang kebanyakan yang ingin akan mendapat kebahagiaan lahir batin kebagahagiaan dunia dan akhirat (berupa sorga) dan kesempurnaan dalam penjelmaan yang akan datang perlu bila diadakan peleburan dosa. Untuk mencapai hal yang semacam ini saja sudah sukar apalagi hendak mencapai moksa. Sebabnya ialah karena manusia ini tidak dapat luput dari pengaruh hukum karma dan paasti akan selalu akan mengalami berbagai-bagai karma phala (hasil daripada perbuatannya) yang tidak terbilang banyaknya dalam penjelmaan yang berulang-ulang pula. Di dalam penjelmaan itupun manusia ini tidak henti-hentinya melakukan perbuatan (Karma) yang baik atau buruk amal atau dosa maka dari itu tidak henti-hentinya pula akan menikmati pahala dari karmanya itu.
Yesem ye yani karmani, prak srstyam pratipedire, tanyawa prati padyante, sryamanah punah punah.
(Mahabharata Canti parwa 231. 48 - 49)
Tiada henti-hentinya (akibat atau pahalanya) Karma yang dilakukan oleh sesuatu mahluk (dimasa penjelmaan) yang lampau akan menimpa dirinya.
Untuk menguraikan dosa-dosa inilah perlu adanya peleburan dosa atau mengurangi dosa, sedikit-dikitnya agar dapat dikurangi sehingga penderitaan yang diakibatkannya itu menjadi kurang pula. Peleburan dosa itu dapat dilakukan dengan beberapa jalan antara lain : 1. dengan jalan berbuat Dharma (termasuk didalamnya cila, jnana, tapa, berata, kirrti dan yoga semadi). 2. Dengan jalan perantara dan bantuan dari orang yang amat suci. 3. Dengan menurunkan keturunan yang berbudi dharma dan suci.
Adapun peleburan dosa yang paling baik ialah dengan jalan melakukan Dharma terutama yoga yang semadi secara baik dan sempurna. Di dalam Dharma itu termasuk pula cila artinya kesusilaan dan budi pekerti yang luhur (jnana) pengorbanan termasuk pula upacara-upacara tapa berata yaitu pengekangan atau pengendalian diri dari hawa nafsu dan kirrti yakni jasa-jasa yang mulia termasuk pula dana, atau amal derma. Cila, jnana, tapa, berata dan kirrti ini hanya dapatmelebur dosa yang ringan saja. Tapi bila disertai dengan yoga semadi (yaitu melakukan hubungan dengan Tuhan dengan jalan karma jnanan dan bhakti yoga, mohon ampun dan kesucian) maka inilah peleburan dosa yang paling mulia dan dapat melebur dosa yang berat dan besar, asal pelaksanaan dengan baik dan sempurna. Di samping itu orang-orang yang benar-benar suci dapat pula akan melebur dosa orang lain tetapi hanya sedikit saja sedangkan bagi dosa yang besar (maha pataka) tidak akan dapat dilebur semuanya.
Wrati bhiksura jitakrodah, sahisnur bhaganishtah, Vidyan tinopi cantacca, yas sarayatu manava
Yan ana sira wiku tuhagana mopawasa sanggelemalwang i wisaya, nitya cucilaktan kapengina ta sira ring sukha wahya, sana, jitakredha ta sira, bhaganibsrtah, sahisnu, tuhafgana anger ing patapan ira, tan para ri umah ning dayaka, yan papatra juga sira yan laku, buddhi canta, upacama ta sira, yadyapi tan wihikana mangadji, sira sang wikumangkana kramanira, tarayati. Wenang ta rakwa siranghilangakena kleca nikang diniksan ira.
(Agastyaparwa 389 – 15).
Adapun untuk melenyapkan dosa yang berat (Maha Pataka) itu tidaklah bisa didapatkan dari orang lain, dan orang suci itupun hanya dapat membantu saja. Demikian pula sesajen yang besar-besarpun tidak akan dapat membantu melebur dosa yang besar itu. Pelebur dosa ini hanya dapat dicapai dengan Dharma (cubha karma) dan yoga semadi melalui tahap demi tahap dan tidak akan bisa sekaligus harus melalui tingkat demi tingkat yang dilakukan pada saat masih hidup sekarang ini.
Yatha cailam samaruhya, mulam gatva yatha kramam, Kalinganya ikang wang mungah ing gunung, sukuning gunung mara, tapak denya tambeyan, utsaha ta pwa kita yan teke sukuning gunung, teka ta ya ri lambung ning gunung, utsaha pwa ya ekaning tekeng agra, tan hana wwang te ning gunung, mangkana ta puwasthiti lambung ning gunung, teka ta ya ri agrakeng agra, yan tan huwus tu mampuh sukuning gunung, tat haivam moksa sadhanam, mangkana ta padhan ikang kamoksah inusir, ta pwa daitya tda kita sakareng, mene ta sira dewata.
(Agastya parwa 387 – 5)
Adapun orang yang mendaki gunung, maka kaki gunung itulah yang pertama diinjaknya berusahalah lagi setelah sampai di kaki gunung itu (sehingga) dapat sampai pada lambung gunung itu. Berusahalah terus setelah sampai di lambung gunung itu, sehingga dapat sampai ke puncak gunung itu, demikian caranya berusaha sehingga dapat sampai kepuncak (dan) tidak ada orang yang akan dapat sampai ke puncak (gunung) itu, jika tidak menginjak kaki gunung itu. Demikian pulalah moksa (peleburan dosa) itu dicari walaupun sekarang menjadi Daitya, (berusahalah lagi) agar dapat menjadi Dewata kemudian.
Jelaslah bahwa moksa (kelepasan) itu hanya dapat dicapai dengan usaha yang tekun dari orang yang bersangkutan itu dengan jalan yang bertingkat-tingkat atau setahap demi setahap, melalui jalan dharma, yoga semadi yang sempurna.
Lain dari pada itu peleburan dosa itu dapat pula diadakan melalui keturunan yang berbudi dharma dan suci, akan tetapi peleburan dosa dengan perantara keturunan yang berbudi dharma dan suci ini hanya dapat sedikit-sedikit saja serta tidak akan dapat melebur semua dari dosa yang besar (Maha Pataka) itu. Tentang hal ini dapat kita pakai bahan perbandingan di dalam ceritra Adi parwa mengenai keadaan Sang Jaratkaru. Perbandingan ini masih agak berbau myothologis. Sang Jaratkaru itu adalah seorang wiku yang mempunyai perasaan belas kasihan yang besar (karuna) dan mahir pula tapa barata, oleh karena itu ia dapat pergi ke sorga, dan setelah sampai ke Sorga ia menjumpai leluhurnya sangat menderita dan sengsara, yakni tergantung di atas kawah neraka, disebabkan karena Jaratkaru melakukan sukla brahmacari, yaitu tidak beristri dan tidak mempunyai keturunan. Maka dari itu Sang Jaratkaru lalu ingin beristri dan membuat keturunan untuk membebaskan dosa dari ayahnya.
Demikianlah secara singkatnya ceritra mythologis dari Sang Jaratkaru itu, sebagai bahan perbandingan bahwa keturunan yang berbudi dharma dan suci itupun dapat sekadar melebur dosa leluhurnya.
PUNARBHAWA TATTWA
Untuk lebih meyakini tentang Punarbhawa itu, maka di bawah ini diuraikan sebagai berikut :
Memang banyaklah orang-orang yang menyangsikan kebenaran dari Punarbhawa itu, bahkan banyak pula yang mencemohkannya, terutama mereka yang pikirannya telah tercekam oleh paham tertentu.
Tapi kalau kita mau meninjau dengan seksama di dalam sejarah-sejarah kehidupan manusia, atau kejadian-kejadian yang aneh-aneh mengenai kelahiran atau bakat-bakat dan keadaaan dari manusia di dalam kehidupan sehari-hari ini, maka dapatlah kita mengambil titik tolak untuk merenungkan adanya Punarbhawa itu.
Sebenarnya tentang filsafat Karma dan Punarbhawa itu kedua-duanya adalah merupakan suatu proses yang terjalin erat satu dengan yang lainnya. Secara singkat dapatlah dikatakan : Karma adalah perbuatan yang meliputi pikiran perkataan dan tingkah laku jasmani sedangkan Punarbhawa adalah perwujudan dari kesimpulan semuanya itu.
Kalau kita meninjau keadaan manusia di sekeliling kita maka akan terlihat oleh kita bermacam-macam keadaan yang besar atau yang kecil antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Apakah kiranya yang menyebabkan perbedaan-perbedaan tersebut ? Bagaimanakah kiranya kita dapat membahas tentang perbedaan-perbedaan kemanusiaan yang sangat menyolok mata di dunia ini ?
Apakah kiranya yang menyebabkan ada orang yang lahir di tempat yang mewah dan tak kurang suatu apa dengan bakat-bakat pribadi yang halus, tata susila yang baik, keadaan jasmani yang sempurna ? Sedangkan yang lainnya lahir di dalam kemiskinan, samsara, menderita atau cacat ? Kenapa orang yang mempunyai kemampuan bathin yang luar biasa sedangkan yang lainnya ada yang bodoh atau idiot ? Kenapa ada orang lahir dengan bakat menjadi orang yang suci atau Yogi ? Resi dan lain-lainnya, sedangkan yang lainnya ada yang menjadi penjahat, pemabuk, penjudi atau perampok. Kenapa ada orang yang sejak kanak-kanak sudah kelihatan mempunyai bakat-bakat seperti akli bahasa, kesenian, ilmu pasti, kesusastraan, musik, pertukangan atau yang lain-lainnya ? Dan kenapa yang lainnya ada yang sejak lahirnya sudah buta atau tuli, cungih atau cacat badannya ? Kenapa ada orang yang mendapat keberkahan, sedangkan yang lainnya ada iyang mendapat kutukan sejak mulai lahirnya ?
1. Berkenaan dengan hal tersebut ada beberapa orang yang mungkin dikiranya sedang buntu, secara acuh tak acuh mengatakan bahwa keadaan-keadaan tuhan adalah terjadi secara kebetulan saja ini adalah tidak tepat karena di dalam dunia ini (menurut Hukum Karma), tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tanpa sebab. Demikian pula mengenai keadaan diri manusia. Pada umumnya sebab-sebab yang penting dari keadaaan-keadaan itu tidak dapat dipikirkan oleh orang-orang yang hanya mempunyai kemampuan berpikir yang biasa karena hal-hal yang tidak selalu terjadi pada kehidupan yang sekarang ini, tetapu ada kalanya (kebanyakan) terletak jauh di dalam kehidupan yang dulu-dulu.
2. Ada pula yang mengatakan bahwa keadaan atau kejadian-kejadian tersebut adalah karena ditakdirkan atau kehendak Tuhan.
Kalau demikian, orang-orang miskin, sengsara, menderita, atau yang lahir buta, tuli, cacad atau menerima keadaan yang tidak menyenangkan baginya tentu berhak mengeluh dan menyesali kepada Tuhan yang Pencipta. Dan dianggapnya tidak adil memberikan takdir yang tidak menyenangkan baginya sedangkan orang-orang lainnya diberi takdir yang baik, sebenarnyalah menurut agam kita sebab dari keadaan yang berbeda-beda pada kemanusiaannya itu, tidaklah terletak di dalam penciptaan, atau tidak terletak di dalam penciptaan atau tidak terletak di tangan sang Pencipta, atau Sanghyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa itu. Karena proses penciptaan itu adalah dikatakan secara umum atau menyeluruh, sangat netra dan universil, yang penuh dengan suasana kesucian dan keadilan cinta kasih serta sayang yang meliputi semesta alam, maka itu tentunya keadaan kemanusiaan yang berbeda-beda itu adalah merupakan proses yang lain dari pada penciptaan itu, hal tersebut adalah disebabkan oleh karma-karmanya yang telah dilakukan di dalam kehidupan-kehidupan yang lalu.
3. Dan apakah yang dikatakan oleh para ahli ilmu pengetahuan pada zaman modern ini mengenai hal tersebut ? Dengan semata-mata membatasi dirinya pada logika dan fakta-fakta yang ada, mereka mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan dari kemanusiaan itu adalah disebabkan oleh faktor-faktor keturunan pengaruh kimia jasmani (chimoco-physical cause) karena pengaruh lingkungan pendidikan dan lain-lainnya. Juliahuxley seorang ahli biologi yang terkemuka menulis sebagai berikut : ………. beberapa genes mengatur warna, yang lainnya lagi mengatur berat atau tinggi, yang lainnya lagi mengatur kesuburan atau umur, yang lainnya lagi mengatur tenaga atau kesehatan, yang lainnya lagi mengatur bentuk atau keadaan. Mungkinkah pula bahwasanya semua sifat-sifat atau perangai keturunan tertentu ( yang penting-penting ) adalah juga diatur oleh genes yang terpisah itu “dari ibu dan dari bapak”, yang telah menyiapkan kita di dalam saat terjadinya perubahan ……………....”
Untuk meneliti tentang sifat-sifat bathin, terutama bagi orang yang keadaannya sangat komplek dan halus, adalah sangat sukar untuk mencari bukti-buktinya, tetapi terdapatlah tanda-tanda bahwa hal itu adalah dapat diwariskan atau menurun dan kalau tidak ada tanda-tanda bahwa hal itu tidak diwariskan (menurun), maka keadaan tersebut adalah dapat karena perbedaan mekanisme dari sifat-sifat kejasmanian. Bahwasanya hal-hal yang diwariskan (menurut) ke dalam sifat-sifat pribadi dan bentuk kejasmanian kita biar bagaimanapun.
Dalam hal ini kita harus mengakui bahwa semua bentuk dari kimia jasmani (chemikophysical) yang serupa itu yang dikemukakan oleh para ahli ilmu pengetahuan tadi adalah menerangkan hanya sebagian saja dari persoalan-persoalan kemanusiaan tersebut. Dan selanjutnya, bagaimanakah kiranya apakah mereka yang teorinya itu saja dapat mempertanggung jawabkan semua perbedaan-perbedaan dari kemanusiaan ini, baikpun perbedaan yang kecil-kecil maupun perbedaan yang besar-besar. Dan kalau berdasarkan teori tersebut, apakah sebabnya orang yang lahir kembar yang badannya serupa yang mewarisi genes yang sama yang mempunyai lingkungan dan pendidikan yang sama, tetapi ternyata masing-masing memiliki sifat-sifat dan tingkah laku kecerdasan otak, kesenangan, bakat-bakat dan sebagainya yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya.
Karena itu, berdasarkan fakta-fakta ini jika dengan teori keturunan itu saja maka tidaklah dapat kita akan membahas dan mencari sebab-sebab dari semua perbedaan-perbedaan pada kemanusiaan tersebut jadi menurut pernyataan, sebab dari perbedaan-perbedaan tersebut, bukannya saja karena pengaruh-pengaruh keturunan, pendidikan dan lingkungan, tetapi juga karena karma atau dengan kata lain, bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah disebabkan oleh karmanya yang dulu-dulu, yang dilakukan dalam kehidupannya yang lalu. Hal ini tentunya kita tidak dapat lihat dengan mata biasa. Tetapi para Resi-resi, para Yogi atau orang-orang Suci lainnya pada jaman dahulu, banyak yang mengembangkan kemampuan bathin yang luar biasa, seperti : clairfayance “pandangan halus”, crairaudience “pendengaran halus” Telepati, telstaesia, retro-cognitife dan lain-lainnya dengan kekuatan-kekuatan bathin itu mereka dapat melihat kehidupan-kehidupan yang telah lalu, persis sebagai orang yang ingat pada kejadian-kejadian yang baru lalu saja pada kehidupannya ini. Tetapi ilmu pengetahuan itu tidak menaruh perhatian terhadap kekuatan-kekuatan seperti itu.
Selain dari pada itu, ada juga beberapa orang yang sejak lahirnya telah mempunyai bakat istimewa, terutama sering terjadi pada anak-anak bahwa bakat-bakat itu ada kalanya berkembang dengan spontan, sehingga mereka dapat mengingat kehidupan-kehidupan yang lalu, dan dapat melihat kejadian-kejadian di dalam kehidupannya yang dulu-dulu itu. Hal yang demikian itu adalah merupakan suatu bukti yang sangat berharga itu menimbulkan keyakinan bagi seseorang yang ingin mempelajari tentang punarbhawa itu.
Pernah dikatakan bahwa Pytagoras “ketika masih kecilnya” ingat dengan jelas suatu kejadian ketika ia membawa sebuah perisai di dalam sebuah kuil di Great yang dilakukan olehnya dalam inkarnasinya yang dulu bersama dengan Pangeran dari Troy. Pada masa belakangan ini sering pula dimuat di surat kabar dan di majalah-majalah tentang kejadian-kejadian mengenai anak-anak yang dapat meningkatkan atau melihat kehidupannya yang dulu-dulu. Tetapi bagaimanapun juga anak-anak yang istimewa itu pada kemudian harinya, setelah mereka dewasa ingat-ingatnya yang luar biasa itu menjadi hilang yang mungkin karena dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan dari badan jasmaninya dan lingkungannya.
Salah satu contoh dari beberapa kejadian tersebut adalah :
1. Sebagaimana ditulis oleh Swami Sivananda dalam majalah “Divine Life” dikatakannya bahwa tumimbal lahir itu ada. Swami mengatakan beberapa tahun yang lalu, telah menggemparkan kota Delhi (India) karena ada kejadian bahwa seorang gadis kecil dapat mengetahui kehidupannya (inkarnasinya) yang telah lalu.
Gadis itu bernama Shanti Devi, lahir pada tanggal 12 Oktober 1926, di Delhi. Shanti Devi dapat menceritrakan segala macam pengalamannya yang dialami pada waktu kehidupannya yang lampau, sampai pada kejadian yang sekecil-kecilnya.
Hidupnya pada jaman dulu, juga di daerah India yang namanya Muttra. Suaminya bernama Pandit Kedar Nath Chauby. Suaminya masih hidup dan tinggal pada tempatnya semula.
Orang tua Shanti Devi tentang apa yang dituturkannya pada waktu kehidupannya yang lampau. Tuturnya itu dianggap obrolan anak-anak belaka oleh orang tuanya. Orang tua Shanti Devi memanggil Oomnya untuk mengirim surat kepada bekas suaminya. Surat itupun dibalas oleh bekas suaminya itu dari Muttra, dan menyarankan supaya Shanti Devi bertemu dengan familinya di Delhi yaitu kepada Pandit Kani Mul untuk mengadakan tanya jawab dan betul juga Shanti Devi dapat mengenalnya dengan tepat.
Lantaran dari pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan itu sungguh-sungguh benar mengenangkan hubungan famili dari hidupnya yang lampau, maka bekas suaminya berkunjung ke rumah Shanti Devi dengan anaknya yang baru berumur 10 tahun beserta istrinya yang baru begitu berhadapan, Shanti Devi dengan mudah dapat mengenal bekas suaminya dan sangat terharu terlihat putranya, hingga akhirnya mereka saling mencucurkan air mata.
Setelah terjadi percakapan antara Shanti Devi dengan bekas suaminya Pandit Kedar Nath maka dapatlah dipastikan bahwa Shanti Devi adalah penjelmaan dari roh bekas istrinya yang pertama, karena segala sesuatu yang dituturkan oleh Shanti Devi tentang kehidupannya pada masa lampu bersama bekas suaminya itu adalah benar. Akhirnya Shanti Devi diajak berkunjung ke Muttra.
Sebelum sampai di Muttra Shanti Devi dapat menceritrakan bagaimana warna rumah yang ditinggalkannya itu serta nama-nama jalan yang menuju ke rumahnya dan tentang bangunan suci (temple) di Dwarakandha. Di samping itu ia mentuturkan bahwa ia menyimpan uang sebanyak 100 rupees dan dikatakan oleh bekas suaminya bahwa uang itu telah diambilnya pada waktu istrinya meninggal.
Setelah Shanti Devi tiba di Muttra, ia dapat mengenali semua bekas familinya dan menunjukkan sebuah sumur yang tak berdinding di rumahnya yang kini telah ditimbun dengan batu oleh bekas suaminya. Pertemuan Shanti Devi dengan seluruh bekas familinya itu adalah suatu pertemuan yang sangat mengharukan, sehingga mengakibatkan tangis sedu sedan yang menyayat hati.
2. Pada kira-kira dua puluh tahun yang lalu di Tuban (100 km) sebelah Barat dari Surabaya juga rtelah ada kejadian seorang Gadis cilik yang baru saja bisa omong tegas, saban kali berkata-kata kepada ibunya bahwa barang-barang yang ada di rumahnya itu, misalnya cetakan-cetakan kue, gelas, cangkir dan sebagainya, itulah dulu miliknya. Bahkan menuturkan bahwa ketika hidupnya yang dulu ia tinggal di rumah di samping pasar. Sifat-sifat yang dikenal oleh ibu ayahnya yang sekarang anak kecil itu memang mirip dengan ibu dari ayahnya. Dan benar juga barang-barang yang dikatakan kepunyaannya itu, dulunya memang untuk dari ibu dan ayahnya. Begitu gadis itu sudah bertambah umur, peringatan-peringatan dari pengalaman hidup yang lampau itu perlahan-lahan hilang. Kini anak gadis itu telah berusia dua puluh tahun lebih dan belajar di salah satu Universitas di Jawa.
3. Meskipun di Indonesia sendiri, kejadian anak-anak yang masih membekal peringatan dari hidupnya (inkarnasinya) yang lalu, sebetulnyapun bukan cuma satu dua. Cuma kejadian-kejadian demikian tidak dimengerti oleh banyak orang, hingga bila ada anak yang menuturkan kejadian-kejadian dari hidupnya yang lewat, bukan diperhatikan lebih jauh, tetapi bahkan dikatakan “anak sempel”, atau pikirannya lagi kesurupan. Bagi orang-orang yang sudah mempelajari kebatinan, anak-anak yang dapat menuturkan pengalaman-pengalamannya yang lampau itu suatu hal yang menarik. Apa yang tertulis di atas ini bukan minta dipercaya atau tidak dipercaya. Tetapi kenyataan, tinggal kenyataan. Dan menurut Sri Swami Sivananda itulah suatu sepiritual fact.
(Dipetik dari majalah Penyedar No. 82)
Disamping itu pengalaman-pengalaman beberapa ahli ilmu jiwa modern mengenai tentang roh-roh, atau tentang hal-hal yang berkenaan dengan spiritisma, atau kejadian-kejadian yang aneh-aneh mengenai diri seseorang, atau orang-orang yang mempunyai bakat yang biasa, dan lain-lainnya itu, adalah merupakan sinar penerangan terhadap persoalan Punarbhawa ini.
Bagaimanakah kiranya hal ini, bahwasanya kita sering kali jumpa dengan seorang yang tidak kenal sebelumnya tetapi secara instingtive kita merasa seperti tidak asing dan merasa kenal baik kepada orang itu ? Dan apakah pula sebabnya, bahwa sering kali terjadi kalau kita mengunjungi sebuah tempat secara instingtive merasa berkesan dalam hati, seolah-olah tempat itu dan sekelilingnya sudah dikenal dengan baik, padahal tempat tersebut baru pertama kali kita lihat ?
Ada kalanya juga terjadi di dunia ini suatu perkembangan pribadi yang sangat menjulang tinggi dan sangat sempurna, seperti adanya para Buddha, para Resi, para Yogi. Apakah beliau-beliau itu dapat menjadi seperti itu dengan sekonyong-konyong ? Atau, apakah beliau itu dibuat oleh Sang Pencipta sudah dengan bentuk dan keadaan seperti itu ?
Bagaimanakah harusnya kita mempertimbangkannya tentang pribadi-pribadi yang luar biasa seperti Homer dan Plato, orang-orang seni yang mengagumkan seperti Shakespeare, anak-anak yang berbakat luar biasa seperti Pascal, Mozhart dan lain-lainnya ?
Anak-anak yang berbakat luar biasa itu rupanya dianggap sebagai persoalan ilmu pengetahuan biasa saja. Beberapa ahli kedokteran berpendapat, bahwa anak-anak yang luar biasa itu adalah akibat dari kelenjar-kelenjarnya yang bekerja secara abnormal atau luar biasa, terutama kelenjar-kelenjar lendir, pincal dan kelenjar adrenal. Hal itu mungkin juga dapat demikian adanya ; tetapi pekerjaannya kelenjar-kelenjar tersebut secara luar biasa itu mungkin juga disebabkan oleh karmanya yang dulu-dulu. Tetapi, bagaimanakah halnya juga hanya berdasarkan bekerja kelenjar-kelenjar itu secara luar biasa, lalu dapat menjadikan orang seperti Christian Heineken yang baru beberapa jam setelah jelahirannya sudah dapat berbicara ? Dan ketika ia berumur satu tahun dapat menyebutkan ayat-ayat dari bybel dengan lancar dan pada umur dua tahun dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu bumi dengan baik ? Dalam umur tiga tahun dapat bicara Perancis dan latin ? Dan pada umur empat tahun sudah menjadi Mahasiswa Philosophy ? Bagaimanakah halnya dengan Stuart dalam umur tiga tahun dapat membaca bahasa Geriek ? Bagaimanakah halnya Macaulay pada umur enam tahun telah dapat menulis Sejarah Dunia ? Bagaimanakah halnya William James Sidis seorang anak luar biasa dari Amerika Serikat yang dalam umur dua tahun telah dapat membaca dan menulis ? Dan pada umur delapan tahun telah dapat berbicara dalam bahasa Perancis, Rusia, Jerman, Latin dan bahasa Geriek ?.
Sungguh-sungguh hal ini tidak dapat dimengerti oleh kita pun oleh para ahli ilmu pengetahuan. Dan juga, kenapa ilmu pengetahuan tidak menerangkan, apa sebabnya hanya beberapa orang saja yang mempunyai kelenjar-kelenjar yang dapat bekerja secara luar biasa itu, dan kenapa tidak semua orang seperti bekerja secara luar biasa itu dan kenapa tidak semua orang seperti mereka itu keadaannya ? Sesungguhnya-lah, bahwa persoalan yang sebenarnya masih tetap belum tersingkap.
Kalau hanya berdasarkan faktor keturunan saja maka tidak mampulah kita untuk membahas tentang anak-anak yang luar biasa itu; karena nenek moyangnya akan menyatakan bahwa sejak leluhurnya yang dulu-dulu tidak ada yang seperti anak-anak itu keadaanya.
Jadi, dengan kenyataan-kenyataan seperti yang diuraikan di atas ini, maka tidaklah ada alasan untuk menolak tentang adanya kehidupan-kehidupan yang telah lalu itu. Dan selanjutnya, kalau orang percaya pada kehidupan yang sekarang dan kehidupan yang akan datang, maka secara logika tentunya juga percaya kepada kehidupan yang telah lalu. Dan sebaliknya, kalau alasan untuk percaya bahwa kita telah (pernah) hidup diwaktu yang lalu, maka tentunya juga tidak ada alasan untuk tidak percaya bahwa kita akan melanjutkan hal itu setelah kehidupan kita yang sekarang ini mencapai batasnya (mati). Jadi proses kelahiran atau penjelmaan dari suatu bentuk kehidupan ke dalam bentuk kehidupan yang lainnya (yang berikutnya), itulah yang dinamai Punarbhawa. Dari rangkaian dari semua Punarbhawa yang telah kita tampung berturut-turut itu, (yang mungkin sudah tidak terhitung banyaknya), itu disebut samsara. Demikianlah tentang Punarbhawa itu yang merupakan salah satu dari kepercayaan di dalam agama kita, yang fakta-faktanya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari.
M O K S H A
BERSATUNYA ATMAN DENGAN BRAHMAN
Di atas telah kami kemukakan bahwa keadaan manusia di dunia ini ditentukan oleh perbuatannya yang lalu. Dan tujuan hidup Umat Hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin, moksartham jagathita. Kebagagiaan bathin yang terdalam ialah bersatunya Atman dengan Brahman, yang disebut Moksha. Moksha atau mukti atau Nirwana, berarti kebebasan, kemerdekaan. Merdeka atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian dan belenggu maya / penderitaan keduniawian.
Moksha adalah tujuan terakhir dari seluruh Umat Agama Hindu. Dengan menjalankan Sembahyangan bathin dengan Dharana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta) dan Semadi (mengheningkan cipta), manusia berangsur-angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi ialah bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk bersatunya Atman dengan Brahman.
Bahunam janmanam ante
jnanavan mam prapadyate
Vasudevah sarvam iti
sa mahatma sudurlabhah
(Bhagawad Gita VII. 19)
Artinya :
Pada akhir dari banyak kelahiran orang yang bijaksana menuju kepada Aku, karena mengetahui bahwa Tuhan adalah semuanya yang ada.
Jiwa yang besar sebagai itu adalah sukar dicarinya. Banyak mahluk akan keluar / lahir dan mati, serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa dikala semua mahluk binasa. Nah, yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuannya yang utama, supaya tak usah mengalami penjelmaan ke dunia. Itulah tempatKu yang tertinggi, oleh karenanya haruslah berusaha demi AKU. Jika engkau selalu ingat kepadaKu, tak usah disangsikan engkau akan kembali kepadaKu.
Untuk mencapai ini orang harus selalu bergulat, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci telah menyediakan bagaimana caraanya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan Maya dan akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman, sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia ini, sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia, sebagai AWATARA.
Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan yaitu Dharma dan Moksha, ialah dengan menghubungkan pemusatan pikiran kepada Ida Hyang Widhi Wasa yang disebut Yoga.
1. Jnana Yoga
2. Bhakti Yoga
3. Karma Yoga
1. JNANA YOGA
Jnana artinyya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga dari urat kata Yuj artinya menghubungkan diri. Jadi Jnana Yoga artinya mempersatukan Jiwatma dengan Paratmatma yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan duniawi.
“Tiada ikatan yang lebih kuat daripada maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh dari pada yoga untuk membasmi ikatan-ikatan maya itu”.
Bahagialah orang yang telah mengakhiri ikatan-ikatannya untuk mencapai ketenangan dan kedamaian Abadi. Inilah Moksha.
Untuk melepaskan ikatan-ikatan ini haruslah kita mengarahkan segala pikiran kita, memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci, akan tetapi bila kita ingin memberi suatu bentuk kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran harus menerimanya, sebaliknya bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala pendidikan yang kita inginkan biasakan itu tidak ada gunanya.
Jadi dalam proses pertumbuhan dalam hal ini merupakan hal yang mutlak. Sebagai jalan pertumbuhan pikiran, perbuatan lahir, pelaksanaan Swadharma dan sikap bathin (wikarma) sangat diperlukan dimana perbuatan lahir adalah penting. Karena jika kita tidak berbuat, maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan kwalitas sebenarnya daripada pikiran kita.
Ada 3 hal yang penting dalam hal ini, yaitu :
a. Kebulatan pikiran.
b. Pembatasan pada kehidupan sendiri.
c. Keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh tentram damai.
Kebulatan pikiran berarti penguasaan dan pengekangan gerak-gerik pikiran itu.
Pembatasan pada kehidupan sendiri berarti melakukan sesuatu setelah menimbang dan mengukur setiap tindakan-tindakan kita.
Keseimbangan pandangan berarti mempunyai kemampuan memikirkan sesuatu dalam hubungan seluruh dunia yang bersumber kepada sifat-sifat keluhuran.
Ketiga hal tersebut di atas merupakan “dhayana Yoga” yang untuk tercapainya perlu dibantu dengan abhyasa yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengikat diri. Adapun kekuatan pikiran kita lakukan di dalam hal kita berbuat apa saja, pikiran harus kita pusatkan kepadanya. Dalam urusan-urusan keduniawianpun pemusatan pikiran ini mutlak diperlukan. Bukanlah sifat yang diperlukan hanya untuk suksesnya di dunia berlainan dengan sifat-sifat yang dibutuhkan untuk kemajuan spirituil atau bathin. Usaha untuk menjernihkan usaha kegiatan kita sehari-hari ialah kehidupan rohaniah. Apapun kita laksanakan, berhasil atau tidaknya tergantung kepada kekuatan pemusatan pikiran kita kepadanya.
Bagaimana mencapai pemusatan pikiran itu ?
Na kechi dapi chintayet
Maksudnya : (Pemusatan pikiran harus ditujukan kepadaNya) tidak boleh pada apapun lain lagi.
Menenangkan pikiran adalah sesuatu yang sukar, lalu bagaimana kita bisa mencapai pemusatan pikiran yang sungguh-sungguh. Kecuali jika kita mampu menghentikan dengan tegas dan pasti roda pikiran yang selalu berputar itu ? Bahkan walaupun roda luar dapat dihentikan roda dalam itu terus berputar.
Yang aneh lagi, semakin lebat usaha kita untuk memusatkan pikiran, semakin pesat roda dalam ini berputar. Kita boleh duduk bersila, tegak, serta memusatkan pandangan ke suatu titik, namun pikiran tidak akan berpusat karenanya. Yang utama ialah kemampuan menghentikan roda pikiran kita.
Sebenarnya pemusatan itu tidak mungkin, kecuali kita dapat menguasai, atau mengendalikan. “Samsara”, yang memenuhi dan meluapi pikiran kita maupun dunia di luar kita. Jangankan kita seperti sekarang, mempergunakan daya pengetahuan jiwa kita yang tidak terbatas itu untuk hal-hal atau barang-barang duniawi yang picik itu.
Demikian pula orang yang mengumpulkan kekayaan dengan susah payah, dengan bekerja keras dan bukan dengan merugikan atau merampok, orang lain, tidak akan memboroskan kekayaannya. Begitu juga janganlah kita membuang-buang daya pengetahuan (jnana) kita dengan memikirkan soal-soal remeh dan picik.
Diskriminasi atau kemampuan membedakan baik / buruk (wiweka) tinggi-rendah, mulia-nista dan sebagainya adalah harta yang tak ternilai mutunya, namun kita mempergunakannya untuk hal-hal yang tidak wajar.
Akibat daripada terus membicarakan hal-hal segala rupa yang remeh dan picik kita tidak bisa memusatkan ciptaan hilangkan kekuatan pikiran yang membawa kita pada Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa), kita hanya puas mempergunakan pikiran itu hanya dalam percakapan bukan-bukan yang nantinya menimbulkan pertengkaran dan sengsara.
Samsara hebat ini mengamuk siang malam di keliling kita, di dalam maupun di luar kita. Dalam do’a sekalipun, yang mendorong kita untuk berdo’a merupakan hasrat duniawi. Tidaklah kita memikirkan penyatuan diri dengan Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), tiada sekejap matapun kita lupakan samsara ini, sehingga demikianlah do’a itu hanya merupakan pameran belaka. Bila jiwa dalam keadaan demikian, sikap do’a, menutup mata dan sebagainya adalah sia-sia belaka. Karena pikiran mengembara di luar, maka seluruh tenaga manusia itu percuma, sia-sia pula.
Demikian tidaklah terdapat displine atau pengekangan padanya. Kita menyaksikan hal ini dari hari ke hari. Sungguh sedih banyak kekhawatiran dan percakapan-percakapan yang remeh dan picik menimbulkan semsaranya ummat manusia, seakan-akan seluruh alam pikiran kita diliputi oleh kepicikan dan keremehan.
Pemusatan pikiran tidaklah mungkin sebelum pikiran itu sendiri berubah. Keadaan pikiran seharusnya murni, dan hal ini tidaklah didapat dengan cara duduk bersila saja, tetapi seluruh kegiatan kita harus murni. Untuk memurnikan kegiatan, pendorongnya, hasratnya harus diubah. Suatu kegiatan itu janganlah hendaknya dilakukan karena justru keuntungan sendiri, atau untuk memuaskan nafsu kita atau untuk tujuan duniawi belaka. Sepanjang hari kita sibuk, apakah tujuan kesibukan ini sehari penuh ?. “Tujuan semua usahaku, tak lain untuk senja hariku nan damai”.
Semua kesibukan ini, usaha dan kerja yang tak putus-putusnya, bukanlah melulu untuk hari tua yang aman damai ?. Guna apa penderitaan hidup yang pahit itu ? Tiada lain untuk menjadi kramat saat kita yang terakhir di dunia, saat kita menghembuskan nafas yang terakhir. Malam tentu tiba sehabis siang.
Bila kita telah menyaksikan tugas hari itu dengan hati yang bersih, alangkah mesra dan manis do’a yang kita panjatkan pada malam harinya. Jika saat terakhir dari hari itu indah, maka usaha kita hari itu telah mendapat upahnya, lalu pikiran mudah dapat memusatkan diri. Kemurnian hidup ini sangat mutlak untuk pemusatan pikiran. Pikiran tentang barang-barang duniawi harus dihindari. Umur manusia itu tidak panjang, namun manusia itu dianugrahi kemampuan dalam hidup yang pendek sekalipun, mengecap kebahagiaan yang berasal dari Tuhan. (Ananda) (Sekitar Gita).
Sarasamuscaya mengatakan :
manusyam durlabham prapya vidyullasitacan calam, bhavaksaye matih karya bhavopakaranesu ca
Iking tang janma wwang, ksamkaswabhawa taya, tan pahi lawan kedapning kilat, durlabha tewi, Matangyan pengakena ya ri kagawayanning dharmasadhana, Sakaraning manacanang sangsara, swargaphla kunang.
Alangkah cepat dan pendeknya kehidupan sebagai manusia ini tak bedanya dengan sinar kilat dan sangat susah pula untuk didapat. Oleh karena itu berusaha benar-benarlah untuk berbuat berdasarkan (sadhana) dharma (kebenaran-kebenaran) untuk menghapuskan sengsara hidup guna mencapai sorga (moksha).
Memang kebulatan atau pemusatan pikiran sukar diketemukan, sehingga ada orang bertanya : “Mengapa ketika melakukan pemusatan, mata harus setengah terbuka dan setengah tertutup ?”.
Jawabnya mudah saja, jika mata tertutup sungguh-sungguh kita akan tertidur. Bila dibuka lebar-lebar, mata itu akan liar, melihat kiri akan dan pemusatan pikiran tidak mungkin. Mata tertutup – tidur adalah “tamas”. Kegiatan yang bermacam-macam akibat mata terbuka lebar-lebar adalah sifat “rajas” sebab itulah keadaan menengah diajukan.
2. BHAKTI YOGA
Bhakti yoga adalah jalan murni yang sewajarnya untuk mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh, suatu usaha pencarian yang dimulai berlangsung dan berakhir dengan Cinta. Dengan hanya satu detik saja keranjingan cinta yang ekstrim terhadap Tuhan akan membawa kita kepada kebebasan yang abadi.
“Bhakti” adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan. Bila orang mencari ini akan mencintai semua dan tidak membenci siapapun, ia akan puas untuk selama-lamanya. Cinta tak dapat dikurangi oleh keuntungan duniawi macam apapun juga, karena selama masih berlangsung keinginan duniawi, cinta serupa itu tidak akan datang.
“Bhakti” lebih besar dari pada Karma, lebih besar dari pada yoga, oleh karena yang terakhir bertujuan mencari sesuatu obyek tujuan terakhir, sedangkan bhakti adalah buahnya sendiri, cara-cara pencapaian sendiri dan tujuan terakhir sendiri. Satu keuntungan besar dari bhakti adalah bahwa ia adalah jalan yang termudah, dan yang paling wajar guna mencapai tujuan Illahi Agung, kerugiannya yang buruk adalah dalam bentuk bhakti yang amat rendah acap kali merosot menjadi seorang Fanatisme yang menjemukan. Golongan Hindu, Islam atau Kristen yang fanatik, boleh dipastikan semuanya datang dari bentuk-bentuk pemujaan (Bhakti) yang sangat rendah dan tarap kesadarannya.
Ikatan yang kukuh pada suatu obyek yang dicintai, yang merupakan bagian penting memungkinkan tumbuhnya cinta yang sejati, juga sering sekali menjadi sebab-sebab percideraan yang lain-lainnya. Semua orang-orang yang lemah dan belum berkembang jiwanya dalam setiap agama atau negara hanya mendapatkan satu acara untuk mencintai cita-citanya sendiri, yakni dengan membenci cita-cita orang lainnya disinilah letak keterangannya apa sebab seseorang yang begitu terikat pada paham Ketuhanan itu sendiri, menjadi demikian fanatik sekali, apabila ia melihat atau mendengar suatu paham orang-orang lain yang mempunyai bentuk cita-cita sesuatu lain dari padanya.
Dalam setiap pikiran manusia arti kegunaan / kepentingan selaras dengan syarat-syarat kebutuhan-kebutuhan khusus dari yang berkepentingan sendiri. Karenanya, bagi mereka yang tak pernah merasakan hidup lebih tinggi dari pada makan minum, mendapat anak, dan mati, maka satu-satunya keuntungan berupa kesenangan indra, mereka harus menunggu dan melampaui lebih banyak lagi kelahiran-kelahiran dan reinkarnasi-reinkarnasi untuk belajar merasakan sekalipun keperluan yang terhalus menikmati sesuatu yang lebih tinggi. Tapi bagi mereka yang merasakan nilai-nilai bathiniah yang kekal sebagai keadaan yang jauh lebih tinggi dari pada kepentingan-kepentingan hidup duniawi yang fana ini, bagi mereka yang melihat kepuasan-kepuasan indra hanya sebagai permainan anak-anak yang tidak punya pikiran dewasa bagi mereka Tuhan dan cinta akan Tuhan merupakan kegunaan atau kepentingan tertinggi dan satu-satunya dari hidup manusia.
Bhakti terdapat juga dalam diri saudara hanya dia tertutup oleh kerudung yang bersifat loba dan kemewahan dan seketika tutup itu terangkat maka Bhakti akan memperlihatkan dirinya.
Suatu jalan untuk mencapai Bhakti, ialah dengan berulang-ulang menyanyikan nama Tuhan. Mantras (Nama-nama Suci dari Tuhan) mempunyai efek yang baik hanya dengan mengulangi kata-kata itu terus menerus ………..
Untuk mencapai bhakti, carilah pergaulan dengan orang-orang yang suci yang mempunyai Bhakti, dan bacalah buku-buku seperti Bhagawad-Gita dan Imitasi Kristus dan lain-lainnya, ingatlah selalu sifat-sifat Ketuhanan.
Dengan hanya berteori tentang Ketuhanan tidak berguna, kita harus mencintai dan bekerja. Lepaskan dunia dan segala kemewahan duniawi terutama sewaktu tanaman masih kecil. Sedapat mungkin siang dan malam, jangan banyak pikir-pikir soal duniawi. Pikiran sehari-hari yang perlu hendaknya menuju pada hal-hal Ketuhanan. Manak untuk beliau, minum untuk beliau, tidur untuk beliu lihatlah beliau dimana-mana. Bicaralah tentang Ketuhanan dengan orang-orang lain, inilah yang paling menguntungkan. Dapatkanlah berkah dari Tuhan dari anak-anakknya yang mulia, ini adalah kedua jalan pokok menuju Tuhan. Hari, bulan, Bintang-bintang, mahluk hidup menjelma dalam bentuk laki-laki dan dari anak-anaknya yang mulia, ini adalah ke dua jalan pokok untuk dapat bergaul dengan mereka akan merobah seluruh kehidupan dan bila anda betul-betul ingin mendapatkan itu, maka sesuatu akan datang kepadamu. Dengan kehadiran mereka Para Suci Agung akan sanggup membikin tempat-tempat itu menjadi suci, begitulah keistimewaan-keistimewaan dari anak-anak Tuhan. Mereka adalah Beliau, dan bila mereka berbicara, kata-kata mereka merupakan kitab suci.
Tempat dimana Beliau-beliau berada, terisi oleh getaran-getaran suci, mereka dan orang-orang yang pergi ke tempat itu dapat merasakan pengaruh-pengaruh mereka dan cenderung menjadi suci pula.
Bhakti Yoga tidak berkata “lepaskan”, (atau hilangkan ikatan), hanya mengatakan “cintailah”, cintai Yang Maha Tinggi, dan sesuatu yang rendah sifatnya akan jatuh terlepas, tujuan cinta mereka adalah sifat-sifat yang mulia dalam diri sendiri. Dalam Bhakti Yoga, syarat pertama ialah hasrat akan Tuhan yang jujur dan sungguh. Kita menginginkan Tuhan dan tiada lain oleh karena keinginan-keinginan kita yang biasa sudah terisi oleh kepentingan dunia lahir.
Segala kebutuhan-kebutuhan yang kita hanya terbatas oleh soal-soal yang bersifat fisik kita tidak akan berasa butuh akan Tuhan, hanyalah bilamana kita menderita tamparan-tamparan keras dalam hidup kita, dan kecewa atas segala-galanya disini maka kita merasakan kebutuhan akan sesuatu yang lebih tinggi, maka barulah kita mencari Tuhan.
Bhakti tidak destruktif, ia mengajukan bahwa semua kemampuan ini dapat menjadi alat untuk mencapai keselamatan. Semua itu harus kita arahkan kepada Tuhan dan kita berikan Cinta itu kepada Tuhan, cinta yang biasanya terbuang sia-sia, untuk benda-benda keindraan yang tiada ketentuannya.
Bhakti berbeda dengan paham agama orang-orang Barat, karena Bhakti tidak memasukkan unsur-unsur yang menakutkan tiada Mahluk di luar dirinya yang dapat mendamaikan atau membikin tenang. Bahkan terdapat Bhakta-bhakta yang mengabdikan diri yang menuju Tuhan dan menganggap Beliau sebagai anaknya sendiri, sehingga tidak akan dipengaruhi oleh perasaan takut dan hormat.
Dalam cinta yang sejati tidak boleh ada orang takut dan selama masih ada rasa takut sedikit pun, Bhakti belum dapat dimulai. Dalam Bhakti pun tidak ada tempat untuk mengemis atau tawar-menawar dengan Tuhan. Faham meminta sesuatu kepada Tuhan mencemarkan nilai-nilai seorang Bhakta (yang membakti). Ia tidak akan bersembahyang untuk minta kesehatan, bahkan untuk tidak naik kesorgapun.
Dalam Agama kecintaan kita harus semua mulai sebagai sebagai dualis Tuhan bagi kita sebagai unsur yang terpisah dan kitapun merasa sebagai mahluk lain yang terpisah.
Maka cinta akan muncul di tengah-tengah dan orang akan mulai mendekati Tuhan, dan Tuhan pun akan datang mendekati dan semakin dekat kepada manusia. Orang mendekatkan dalam berbagai hubungan hidupnya selaku bapak, selaku ibu, selaku anak, sahabat, guru, sebagai kekasih dan menuangkan segenap faham cintanya kepada Tuhan.
Baginya Tuhan ada sebagai kesemuannya ini, dan titik terakhir usahanya itu tercapai bila ia merasa bahwa ia sama sekali dan telah lebur ke dalam obyek yang dipujanya.
Kita semua mulai dengan cinta akan diri sendiri dan tuntutan-tuntutan tidak adil atas kepribadian yang kecil itu bahkan membuat cinta itu bersifat selfish, tetapi akhir-akhirnya datanglah sorotan cahaya yang terdang ke dalam mana kepribadian yang kecil itu tampak lenyap menjadi satu dengan Keabadian. Manusia sendiri berubah perangainya dalam kehadiran cahaya cinta ini dan akhirnya ia menyadari kebenaran yang indah dan merealisir akan cinta yang menyita dan yang dicintai, menjadi satu. Jalan kebhaktian bersifat wajar dan menyenangkan. Ajaran-ajaran filsafat seolah-olah mengirim kembali aliran air dari gunung itu kepada sumbernya dengan jalan kekerasan. Itu cara lebih cepat tetapi lebih sulit. Filsafat mengatakan “periksalah segala-galanya, kebaktian serahkan segalanya kepada aliran air itu, dan menikmati penyerahan diri yang kekal”. Jalannya lebih jauh, tetapi lebih mudah dan menyenangkan. Kesampingkan kesemua pikiran yang bermusuhan, bila anda menghendaki bhakti yang langgeng. Kebencian adalah suatu yang sangat merugikan jalannya bhakti, dan orang yang tidak benci kepada siapapun akan mencapai Tuhan. Bila ornag tidak makan sehari, ia akan bergelisah bila seorang anaknya mati alangkah sedih baginya. Bhakti yang sejati merupakan tamparan-tamparan yang serupa dalam hatinya, bila ia sangat merindukan Tuhan. Mutu yang besar dari Bhakti ialah bahwa ia membersihkan pikiran, dan bhakti yang tersusun dengan teguh untuk Yang Maha Esa saja, sudah cukup untuk membuat suci pikiranNya. Dari semua pelepasan diri yang paling wajar, dapat dikatakan ialah Bhakti Yoga.
Disini tidak terdapat kekerasan, tiada sesuatu untuk dikoyak, semua tergantung dari kita sendiri, tiada sesuatu kita dengan kita harus memisahkan diri secara paksa. Pelepasan Agung bagi seorang bhakti adalah mudah, lancar dan bersifat wajar, seperti halnya dengan benda-benda keliling kita.
“Dalam dunia yang fana ini, dimana segala sesuatu akan jatuh hancur kita harus pergunakan tempo, sebaik-baiknya yang ada pada kita”, kata para Bhakti itu dan sungguh menjalankan penghidupan yang tertinggi adalah cara melayani/membhaktikan pada semua mahluk.
Adalah bentuk-bentuk pikiran dunia yang mengerikan telah memupuk segala ke-Akuan di dunia, justru kepalsuan ini yang membikin kita sebagai badan yang kita miliki, sehingga kita harus dengan segala jalan berusaha sekeras-kerasnya untuk memelihara dan memberi kesenangan-kesenangan. Bila anda tahu bahwa anda betul-betul terpisah lain dari pada badan anda ini maka tiada orang lain yang harus anda lawan atau tentang, anda akan berhenti untuk semua pikiran-pikiran ke-Akuan. Maka kata seorang Bhakta, bahwa kita harus berpegang pada diri sendiri seakan-akan kita sudah mati untuk segala benda-benda keduniaan, itulah memang penyerahan diri yang sungguh-sungguh.
Biarkan sesuatu datang semuanya ia datang. Inilah arti dari pada “Kehendak Tuhan selalu terjadi”. Bukan jangan bertempur, jangan berjuang, dan jangan berpikir, karena kemauan Tuhan itu sudah demikian di atas segalanya dan kita ini manusia yang lemah dan bercita-cita untuk semangat keduniaan. Tuhanku, mereka telah dirikan kuil-kuil tinggi atas namaMu, mereka memberikan dana atas namaMu karena aku miskin, Aku persembahkan badanku ini dan kuletakkan di bawah kakiMu. Jangan tinggalkan saja”. Begitulah do’a yang timbul dari hati seorang Bhakti. Bagi orang yang mengalami ini, pengorbanan suci dari diri sendiri itu kepada Tuhan yang dicintai, adalah jauh lebih mulia daripada segala kemewahan dan kekuasaan, bahkan dari pada segala pikiran yang muluk-muluk seperti kemauan dan kesenangan.
Kebahagiaan dari pelepasan sorang Bhakta yang pikirannya tenang merupakan damai yang di luar batas pengertian indra dan bernilai tanpa bandingannya. Bila seorang Bhakti Yoga sudah mencapai titik ini, ia tidak lagi ingin meminta, apakah Tuhan dapat diperlihatkan atau tidak, apakah Tuhan ada di segala tempat dan mengetahui segalanya atau tidak. Baginya, Beliah hanyalah Tuhan Kecintaan, Beliau adalah cita-cita kecintaan yang tinggi, dan itu sudah cukup untuk semua tujuannya. Beliau sebagai kecintaan sudah menjadi buku sendiri, tidak memerlukan bukti-bukti lainnya untuk didemonstrasikan tentang adanya yang dicintai kepada yang mencintai. Petugas-petugas Tuhan dari bentuk-bentuk agama lain mungkin memerlukan banyak bukti untuk membuktikan kepada mereka, tetapi Bhakta tidak, atau tidak dapat memikirkan sama sekali adanya Tuhan-Tuhan sedemikian itu. Baginya Ketuhanan itu berada seluruhnya sebagai cinta Bhakta yang sudah sempurna tidak lagi melihat Tuhan di kuil-kuil atau gereja-gereja. Ia tidak tahu sesuatu tempat dimana ia tidak menemukannya.
Ia menemukan Beliau di dalam dan di luar rumah-rumah ibadah, Ia menemukan beliau dalam kesucian seseorang suci seperti juga dalam kejahatan manusia yang berdosa, oleh karena ia juga sudah memberikan tempat seluruhnya bagi beliau dalam kemegahan hatinya sebagai Yang Maha Esa, sebagai Cahaya Kecintaan yang tidak dapat dipadamkan, yang selalu bersinar terang selama-lamanya.
Akhirnya Bhakti mencapai tingkat ini, yaitu bahwa cinta itu sendiri adalah Tuhan dan tiada lain. Kemana orang harus pergi untuk membuktikan adanya Tuhan ? Cinta adalah yang paling dapat dilihat dari segala apa yang dapat dilihat. Adalah kekuatan cinta ini yang memutarkan matahari, bulan, bintang-bintang, mahluk hidup menjelma dalam bentuk laki-laki dan perempuan, hewan, dimana-mana dan dalam segala sesuatunya. Ia memperlihatkan dalam bentuk-bentuk kekuatan duniawi, seperti daya tarik, dan seterusnya. Ia berada di segala tempat, ditiap a’oom menjelma dimana-mana. Adalah cinta yang kekal ini, yang merupakan satu-satunya daya-daya penggerak dari alam semesta itu, terlihat dimana-mana dan itulah Tuhan sendiri. Boleh jadi aku menyadari, bahwa Aku adalah Beliau, tetapi Aku harus pisahkan diri dari Beliau, dan menjadi llain, supaya kudapat menikmati “Yang Dicintai” itulah kata Bhakta. Aku kenal seseorang (Sri Rama Krisna) yang oleh orang duniawi-duniawi biasa disebut gila dan inilah jawaban Beliau : “Sahabat-sahabatku, dunia seluruhnya adalah rumah sakit gila”, ada yang gila mengejarkan kecintaan duniawi, mengejar nama, kemasyuran, mengejar harta, ada yang mengejar keselamatan untuk naik ke sorga. Dalam rumah sakit gila yang besar ini Akupun gila, aku gila mengajarkan Tuhan. Saudara gila. Begitulah aku. Aku kira, kegilaan Aku, adalah yang terbaik”. Bhakta yang sejati adalah gila keranjingan cinta ini dan untuk itu semuanya boleh lenyaplah baginya.
Seluruh alam semesta baginya penuh dengan cinta, dan hanya cinta saja, begitulah pandangan bagi si pencinta. Jadi bila orang dihinggapi oleh cinta seperti ini, ia kekal dalam bahagia, kekal dalam berkah, kegilaan akan Keilahian yang diberkahi ini sajalah yang dapat menyembuhkan untuk selama-lamanya Penyakit dunia yang ada di dalam kita.
(Suara Vivekananda)
3. KARMA YOGA
Karma berarti perbuatan. Karma Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai Kesempurnaan (Moksha) dengan perbuatan atau kebajikan tanpa mengikatkan diri untuk amerih sukaning awak, berupa keuntungan, kemasyuhuran dan kewibawaan. Hal yang utama pada Karma Yoga adalah melepaskan segala hasil atau buah dari segala perbuatan.
Tasmadasaktah satatam
karyam karma samacara
asakto hi acaran karma
paran apnoti purusah
(Bhagavadgita 3, 19)
Bekerjalah kamu selalu yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya yang tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya.
Menurut Karma Yoga, kita harus menyerahkan semua buah, sehingga timbul lalu pertanyaan “sampaikah buah itu kepada kita, karena semua itu sudah kita serahkan ?”.
Bahwa seorang Karma Yogi tidak akan kehilangan hasil dengan melepaskannya, bukankah sangat ganjil, jauh lebih banyak mendapat keuntungan karenanya. Dalam hal ini kita ingat cerita tentang Lakshmi (Dewi Kemakmuran). Hari itu adalah hari svayamvara, hari tatkala mana beliau akan memilih suami. Semua Dewa dan para Danava datang berduyun-duyun semua dengan harapan-harapan yang membubung tinggi. Lakshmi belum mengumumkan janjinya. Maka datanglah beliau dihadapan para pelamarnya dan berkata demikian : “Saya akan mengalungkan bunga pria kepada yang tidak menginginkan diri saya”. Tetapi mereka yang datang itu semua loba. Maka mulailah Lakshmi mencari orang yang tiada berkeinginan untuk dikalunginya. Terlihat oleh Dewi Putri ini bentuknya Bhatara Visnhu dengan tenangnya diletakkan di atas ular Sesha yang sedang melingkar. Kalung perkawinan lalu diletakkan pada lehernya dan sampai kini Dewi Lakshmi kita dapat lihat pada kaki Bhatara Visnhu memegang kakinya. Lakshmi datang pada orang yang tidak mengidam-idamkannya. Inilah keajaiban.
Orang biasa dengan asyiknya mengelilingi hasilnya dengan segala daya upaya, tetapi bertindak sedemikian itu ia sudah kehilangan buah yang tak terukur itu yang sebenarnya adalah miliknya. Orang DUNIAWI, setelah bekerja tak putus-putusnya menerima hanya sedikit hasil, tetapi KARMA YOGI, walaupun ia berbuat sedikit, mendapat hasil yang tak terhitung banyak nilainya. Beda ini disebabkan hanya oleh bhavana (sikap bathin).
Pernah Tolstoy berkata :
Orang sering dan banyak membicarakan pengorbanan Yesus Christus, tetapi tak seorang pun mengetahui betapa besar usaha orang duniawi ini dalam hidupnya sehari-hari dan dalam usahanya tersebut jiwanya menjadi kering. Pada pundaknya diangkut beban dua ekor keledai dan demikian ia membawa dirinya seumur hidup. bukankah penderitaan orang ini lebih besar daripada Yesus ataupun keadaannya lebih menyedihkan daripada keadaan Yesus ?
Orang-orang duniawi juga berkorban, tetapi korban ini dipikul untuk mencapai tujuan-tujuan yang rendah dan tidak wajar.
Kita memetik apa yang kita tanam, sebagaimana keinginan, begitu pulalah buahnya. Dunia tidak akan menilai barang-barang kita lebih daripada nilai yang kita berikan kepadanya. Sudama menghadap Tuhan (Krishna) dengan pemberian nasi yang dijadikan kue kecil. Nasinya ini mungkin tak berharga sepeserpun, tetapi bagi Sudama agaknya tak ternilai harganya karena rasa bhaktinya terjalin di dalamnya. Maka kue itu adalah kue yang mengandung kekuatan. Setiap butirnya berisikan rasa kasih, bhaktinya. Betapapun murah harganya sesuatu mantra, yakni kekuatan gaib akan menambah nilainya atau kekuatannya. Akhirnya apakah nilai selempir uang kertas ? Jika itu ditukar dengan pansnya barangkali kita tidak dapat memanaskan setitik air. Tetapi cap yang ada padanya, itulah yang memberikan nilai.
Inilah semua keindahan dari Karma Yoga pula. Perbuatan atau laksana serupa dengan uang kertas nilainya adalah terdapat pada Bhavana atau perasaan hati yang menyertainya, cap yang ada padanya dan bukan Karma tau lahir daripada laksana, yaitu secarik kertas saja.
Sebenarnya apa yang kami jelaskan tentang rahasi dan idial penyembahan patung, sesungguhnya adalah mempunyai nilai kebakhtian yang sangat indah. Pada mulanya Patung hanya merupakan sebuah batu, tetapi kemudian diberikan “bhawa” yaitu perasaan suci di dalamnya. Patung batu mudah dihancurkan tetapi “bhava” atau perasaan yang terdapat di dalamnya tak dapat dihancurkan oleh siapapun. Dengan kata lain bahwa LAKSANA merupakan sebuah batu sebagai contoh di atas.
Contoh lain : Ibuku menggoreskan beberapa baris kalimat pada secarik kertas, lalu mengirimkan kepada saya, orang lain mengirimi saya surat sepanjang 50 halaman. Nah yang manakah yang lebih berharga bagiku ? Perasaan yang tertera pada baris dari ibuku tak dapat diukur, karena keramat. Yang lain tak dapat dibandingkan dengan tulisan ini. Demikianlah lahksana harus dibasahi dengan tetesan air kasih sayang, diisi dengan perasaan “bhavana”.
Kita menilai pekerjaan seorang buruh dengan uang, lalu membayar upahnya. Tetapi pemberian rituil (dakshina) tidaklah dihaturkan secara demikian. Kita memercikkan air pada dakshina sebelum menghaturkannya.
Maka dalam hal ini kita tidak bertanya seberapa banyak diberikan, yang penting ialah apakah pemberian ini dilakukan dengan rela hati atau tidak, apakah terdapat kasih sayang di dalamnya ataukah tidak.
Di dalam Manuskrti ada ayat yang sangat menarik berhubungan dengan hal ini. Seorang siswa tinggal selama 12 tahun di rumah gurunya. Ketika ia pertama kesana ia merupakan binatang dan sekarang keluar sebagai manusia dari rumah itu. Nah bayaran apakah harus dia haturkan kepada gurunya ? Jaman dahulu, pembayaran tidak diberikan sebelumnya. Setelah belajar 12 tahun, orang memberikan gurunya sesuatu yang wajar.
Manu berkata : “haturkanlah kepada guru, satu atau dua helai daun dan bunga, sebuah kipas atau sepasang sandal, atau tempat air”. Ini bukanlah suatu lelucon, karena apapun diberikan, harus diberikan dengan keyakinan bahwa itu adalah simbol atau tanda kepercayaan. Sebenarnya apakah harga barang itu ? Tetapi dipandang dari sudut Bhakti, kembang itu memadai seluruh ciptaan alam semesta. Dengan sehelai daun tulasi, Rukmini menimbang Giridhar, dewa yang dapat mengangkat gunung. Perhiasan Satyabama yang amat berat itu tak berguna, tetapi ketika ibuu Rukmini menaruh daun tulusi penuh dengan rasa bhakti pada neraca maka Giridhar tertolong.
Daun tulusi itu penuh dengan kekuatan, perasaan di dalamnya. Tulasi itu bukan lagi daun biasa. Inilah berlaku bagi laksana seorang Karma Yogi pula. Kita andaikan dua orang yang akan mandi di sungai Gangga. Seorang berkata :
“Apa Gangga ini, yang begitu dipuji-puji ? Ambillah dua bagian hydrogen dan sebagian oxygen, campur kedua gas itu, lalu kita dapat Gangga. Gangga tidak lain daripada proses yang sederhana ini”.
Yang lain berkata : Gangga timbul dari kakinya Bhatara Vishnu yang cantik berupa bunga tunjung itu. Gangga ini berasal dari rambutnya Shiva. Ribuan orang-orang alim pertapa maupun para raja-raja membersihkan diri didekatnya. Perbuatan suci tak terhitung banyaknya dilakukan di dekat Gangga. Demikian khasiat Gangga yang keramat ini penuh dengan “bhavana” atau perasaan. Maka keduanya mandilah di Gangga. Orang yang mendewa-dewakan Oxygen – Hydrogen juga mandi dimana. Keduanya mengalami pembersihan jasmaniah, tetapi seorang bhakta (pengabdian) pula mengalami pembersihan jasmaniah, tetapi seorang bhakta (pengabdi) pula mengalami pemberishan rohani. Bahkan kerbau jika ia mandi di Gangga akan mengalami pembersihan tubuh. Kotoran badan akan hilang. Tetapi bagaimana membersihkan noda dari pikiran kita menikmati kebersihan jasmaniah hanya sekejap, yang lain merasakan pula kenikmatan kebersihan jiwa yang tak ternilai itu.
Bila setelah mandi seseorang menjalankan Suryananaskar (semacam penyembahan matahari yang memerlukan banyak tenaga) tentunya ia akan mendapat keuntungan dari latihan jasmani yang demikian. Pelaksanaan Suryananaskar tidak dilakukan untuk kesehatan jasmaniah melainkan ia semacam penyembahan (Upasana). Di samping dengan sendirinya ia mendapat kesempatan yang baik, Tuhan sebagai sang Surya (Suryanarayana) juga menganugrahinya kesadaran yang lebih dalam dan daya membayangkan sesuatu yang lebih besar.
Perbuatannya sama, tetapi bedanya timbul dari beda “bhavana” (sikap bathin). Perbuatan orang yang mencari kebaikan rohaniah membuka jiwa, sedang perbuatan orang yang bersifat duniawi mengikat dan menyempitkan jiwa.
Jika Karma Yogi itu seorang Petani, ia akan mengerjakan tanahnya dengan pandangan “svadharma”. Tentu perutnya akan berisi, tetapi ia tidak bekerja melalu untuk isi perut. Ia menganggap makanan sebagai jalan untuk memelihara badannya agar segar untuk menunaikan tugasnya mengolah tanah. Tujuannya adalah svadharma dan makanan adalah alat. Tetapi bagi Petani yang bukan seorang Karma Yogi, mengisi perut merupakan tujuan dan svadharmanya, ini adalah dua sikap yang sangat bertentangan. Demikianlah, tatkala orang-orang pada melek, bagi seorang Karma Yogi adalah tidur, sebaliknya tatkala orang-orang pada tidur maka bagi seorang Karma Yogi adalah dalam alam keadaan bangunan.
Kita tetap berusaha agar perut kita tetap berisi, demikianlah bagi seorang Karma Yogi selalu waspada agar jangan bahkan satu detik pun jatuh ke dalam jurang kemalasan, jika ia pun makan, maka hal ini diperbuat demikian karena terpaksa sebab tiada jalan lain ia mengisi perutnya dengan sekedar makanan. Orang duniawi menikmati makannya, seorang Karma Yogi menganggap makanan itu suatu keharusan. Maka diwaktu merasakan makanan bukanlah hal itu merupakan kenikmatan. Ia makan dengan penuh menguasai diri. Apa merupakan malam bagi satu adalah siang bagi yang lain. Dengan lain kata : apa yang menyenangkan bagi yang satu menyusahkan bagi yang lain. Walaupun perbuatan seorang duniawi dan Karma Yogi nampaknya sama, bedanya Karma Yogi ialah bahwa ia telah melepaskan buah laksananya semata-mata karena laksana itu sendiri. Seorang Yogi makan, minum dan tidur sebagai orang duniawi. Tetapi bhavana atau sikap terhadap perbuatan-perbuatan ini berlainan. Itulah sebabnya pengekangan diri sebagai perwujudan sthitaprjna (orang alim dan pagen) tetap digambarkan dihadapan kita.
Persamaan dan perbedaan antara perbuatan dan laksana orang duniawi dan seorang Karma Yogi segera nampak dan dapat dibedakan. Andaikata seorang Karma Yogi sedang sibuk mengurus sapinya, bagaimanakah pekerjaan ini dipandangnya ?
Bhavananya (sikapnya) ialah bahwa dengan memelihara sapinya, masyarakat akan mendapat susunya banyak-banya dan melalui sapi ia akan menempa hubungan kasih dengan tingkatan bawahan dari ciptaan Tuhan bagi dirinya sendiri. Ia tidaklah menjalankan pekerjaan ini semata-mata untuk upah. Upahnya memang akan sampai kepadanya, tetapi kebahagiaan dan kesenangannya yang sejati ialah dalam bhawana yang murni ini, pandangan rohaniah ini.
Perbuatan seorang Karma Yogi akan mempersatukan dirinya dengan seluruh ciptaan Tuhan. Jika kita tidak mau makan tanpa menyirami lebih dahulu sesuatu tanaman di dekat kita maka ini berarti bahwa kita telah menciptakan hubungan kasih dengan alam tanam-tanaman.
Betapa saya dapat makan, sedangkan tanam-tanaman yang ada disekitarku tetap lapar kekeringan. Membiasakan diri secara demikian mempersatukan diri dengan sapi, tanam-tanaman di sekitar dan lain-lain sebagainya, maka akhirnya harus kita mencapai rasa bersatu dengan seluruh alam semesta (TAT EWAM ASI). Dalam peperangan Maha Bharata setiap orang meninggalkan lapangan pertempuran pada waktu matahari terbenam untuk bersembahyang malam, demikian pun Krishna melepaskan kudanya dari keretanya, memberikannya air menggosok-gosok bulunya serta membersihkan debu dan kotoran dari badannya. Alangkah senangnya Krishna melakukan pekerjaan ini. Sang Pujangga tak jemu-jemunya melukiskan ini, Krishna sedang memelihara kudanya. Cobalah dibayangkan, Krishna sebagai manifestasi Tuhan selalu Pathasarati (Tuhan sebagai saisnya Arjuna) memberi makan pada kuda dan sebagainya.
Dengan membayangkan hal ini kita sudah merasa turut menikmati kegembiraan yang timbul dari KARMA YOGA. Pandanglah setiap perbuatan sebagai sesuatu yang keramat dan bersifat spirituil.
Yoga tentang perbuatan yang tidak dinodai dengan keinginan, mengandung kekuatan gaib. Dengan perbuatan yang demikian oknum perseorangan maupun masyarakat mendapat rahmat tak terhingga. Hidupnya seorang yang menjalankan svadharmanya berlangsung tenang laksana sungai yang mengalir menurut jalannya yangsudah ditentukan. Tetapi, karena ia selalu meresapkan diri dalam perbuatan maka badannya tetap bersih, suci dan sehat. Dan sebagai akibat perbuatan ini, masyarakat tempatnya hidup akan makmur pula. Seorang Karma Yogi petani tidak akan menanam candu yaitu sejenis tanaman yang menghasilkan banyak uang ataupun yang lainnya, karena Ia tetap akan menghubungkan pekerjaannya dengan kesejahteraan masyarakatnya. Suatu perbuatan yang dilakukan sebagai svadharma hanya mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Pedagang yang percaya bahwa dagangannya akan untuk perbaikan masyarakat, tidak akan mau menjual barang-barang luxe dari luar negeri. Dagangannya harus memajukan kemakmuran masyarakatnya. Seorang Karma Yogi melupakan dirinya dan hidup mempersatukan diri dengan masyarakat sekitarnya. Masyarakat manapun tempat-tempat seorang Karma Yogi tersebut dilahirkan akan memelihara ketertiban, kemakmuran dan hubungan baik antara penduduknya.
Akibat perbuatan seorang Karma Yogi ialah sementara hidupnya berlangsung dengan aman dan tenang, badan dan pikirannya memancarkan sinar gemilang, masyarakatpun menjadi makmur. Kecuali dua keuntungan ini ia pula akan mendapatkan kemampuan dan kekuatan “citta-suddhi” yakni kesucian pikiran. Ini juga disebut “Kesucian karena perbuatan”.
Perbuatan adalah jalan menuju kesucian bathin, tetapi jangan perbuatan ini dikaburkan dengan perbuatan routine atau karena kebiasaan setiap orang.
Yang menghasilkan kesucian bathin ialah perbuatan “berlistrik” atau yang penuh dengan semangat bertenaga dari seorang Karma Yogi.
Mahabharata memberikan kita contoh yang baik tentang hal ini, yakni ceritranya pedagang Tuladhar (seorang penimbang).
Seorang Brahmana yang bernama Jajali datang kepadanya untuk mencari kebenaran yang sejati. Tuladhar berkata kepadanya “Saudara untuk mengetahui kebenaran perlu sekali tangkai timbangan ini dijaga agar datar selalu”. Dengan senantiasa melakukan perbuatan ini, pikiran Tuladharpun menjadi lurus dan halus. Pekerjaan seorang Karma Yogi ialah membersihkan pikiran, sebab pikiran yang terang saja baru dapat menerima gambaran “JNANA” pengetahuan sejati dengan jelas.
Tugas seorang Karma Yogi adalah sangat berat yaitu membebaskan masyarakat dari kepalsuan, kebohongan dan sebagainya memang suatu usaha yang sangat besar. Karena sifat munafik dan tipuan masyarakat runtuh dan mundur. Jika seorang Jnanin, orang bijaksana, duduk berdiam diri, orang-orang lain pula akan meniru dan duduk dengan sambil mencakupkan tangan. Seorang Jnanin melupakan diri dalam kebahagiaan bathin dengan kepuasan yang langgeng dan terus berdiam diri, tetapi orang lain, walaupun bathinnya menangis menjadi lumpuh, tidak bisa berbuat apa-apa. Yang satu diam dan tenang, karena ia bahagia pada hakekatnya, yang lain pula diam walaupun pikirannya remuk. Keadaan ini mengerikan, dan menganjurkan kesombongan serta sikap munafik. Itulah sebabnya semua orang-orang suci walaupun sudah mencapai tempat tertinggi, menganggap perlu menempuh jalan perbuatan (KARMA) dan terus menerus melakukan Karmanya sampai saat terakhir, justru untuk menghindari godaan kesombongan dan sikap munafik ini. Seorang ibu dengan suka ria menyertai permainan anak-anaknya dengan boneka, walaupun ia tahu bahwa ini khayalan belaka, ia turut serta dan membangkitkan perhatian pada anak-anak itu. Jika ia tidak turut, anak-anaknya tidak menikmati permainan itu.
Jika seorang Karma Yogi berhenti berbuat karena ia puas dan bahagia, orang-orang lain, walaupun mereka sesungguhnya perlu terus bekerja, akan melepaskan pekerjaannya pula dan karenanya hati mereka ini akan tetap kosong dan tidak puas.
Itulah sebabnya seorang Karma Yogi harus bekerja seperti orang biasa. Dia tidak merasa dirinya dalam apapun lain daripada orang lain. Sebaliknya ia lebih berusaha dan giat daripada orang lain. Tidaklah perlu memberi cap kepada perbuatan dan menyebutnya sesuatu spirituil. Tidaklah usah menonjolkan perbuatan kita. Jika kita seorang Brahmacari sejati (orang yang mencari kenyataan mutlak) marilah agar perbuatan kita 100 kali lebih bersemangat dari pada perbuatan orang lain. Walaupun terima kurang daripada orang lain, marilah kita bekerja lebih banyak, biar masyarakat mendapat lebih banyak dari pada kita. Perlihatkan Brahmacari kita dalam tingkah laku dan perbuatan belaka, laksana baunya cendana yang mengharumkan sekitarnya sampai demikian jauh.
Pada hakekatnya seorang Karma Yogi dengan menyerahkan keinginan buah, ia menerima pahala berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang. Ia akan memancarkan sinar dari tubuhnya, maupun dari pikirannya. Masyarakat tempatnya bergaul akan bahagia. Ia akan mencapai kesucian bathin dan pula Jnana (kebijaksanaan).
Demikianlah jika masyarakat telah bersih dari sifat-sifat munafik dan kepalsuan, cita-cita hidup yang sempurna akan dapat dicapai oleh penduduk masyarakat itu. Inilah sebagai sudah dibuktikan oleh pengalaman kebesaran seorang KARMA YOGI.
(Sekitar Gita)
Bahan bacaan :
1. Sraddha (Pokok-pokok Keimanan Agama Hindu) oleh Gde Pudja, MA., SH.
2. Pancha Sraddha oleh Drs. IB. Oka Punyatmadja
3. Pengantar Tattwa Darsana (Filsafat) oleh G. Sura, BA., IB. Kade Sndhu, BA., dan IB. G. Agastya, BA.
4. Upadeca, oleh Parisada Hindu Dharma
5. Dharma Sastra oleh Dr. IB. Oka Punyatmadja
6. Dan lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar